We are citizens of the world
Apa itu kehidupan dalam arti hidup?

Banyak dari kita berpendapat bahwa hidup adalah sebuah anugerah, ada pula yang berpendapat bahwa hidup adalah pilihan, ada pula yang berkata bahwa hidup bagaikan sandiwara, ada pula yang mengatakan bahwa hidup adalah perjalanan skenario dari atas “sana” dan ada pula yang mengatakan bahwa hidup adalah sebuah penderitaan. Dari banyaknya pendapat dapat disimpulkan bahwa Kehidupan dalam hidup adalah tentang sebuah perjalanan dari banyaknya pengalaman-pengalaman.

Disini tentang prasangka diri sendiri yang mana seringkali kita berfikir bahwa orang lain tidak akan sesuai dengan ekspektasi. Maka “Berlakulah seperti Socrates. Tidak pernah membalas pertanyaan daerah asalnya dengan ‘saya orang Athena’, atau ‘saya dari korintus’, tetapi selalu menjawab, ‘saya adalah warga dunia.’ “Epictetus (Enchiridion). Dari sini kita dapat memetik arti siratan bahwa semua manusia adalah bagian dari dunia dan semesta yang sama, dan karenanya tidak semestinya kita membedakan orang, apalagi sampai mendiskriminasi dan menyakiti orang yang berbeda.

Kita terbentuk dari sebuah relasi sosial kasih sayang yang dapat digambarkan dengan lingkaran mulai dari yang kecil hingga yang besar, dimana diri kita berada di tengahnya. Dimulai dari lingkaran terdekat kita yaitu Keluarga (ayah, ibu, istri, anak, saudara), kemudian lingkaran di luarnya lagi ada lingkungan orang-orang di desa, di kelurahan, dan kota. Lebih besar lagi adalah orang sebangsa kita, kemudian yang lebih besar lagi adalah umat manusia.

Hierocles mengajarkan untuk menyapa siapapun sebagai “sahabat” atau “saudara”, sesuatu yang rasanya sudah lumrah kita praktekkan dengan sapaan “Mas, mbak, kak, bang, dan lain-lain. Dengan ini dapat diartikan mengakui semua manusia adalah bagian dari dunia dan semesta yang sama, dan karenanya kewajiban bagi kita untuk berbuat baik kepada orang lain yaitu untuk meninggalkan prasangka yang membuat kita berfikir negatif terhadap orang lain.

Baca Juga:  Menemukan Sumber Kebahagiaan dalam Hidup

Jika kita berlatih dengan membayangkan diri kita terus terbang ke atas, sampai ke planet, bahkan keluar tata surya, sampai diluar galaksi, maka barulah kita merasa planet ini sungguh kesepian di alam semesta, dan seharusnya kitab isa hidup rukun bersama-sama. “Sayyidina Ali bin Thalib pernah berkata “yang bukan saudaramu dalam iman, adalah saudaramu dalam kemanusiaan.” Lalu, apalagi yang lebih tinggi dari pada sebuah persaudaraan dalam kemanusiaan?  Kecuali mungkin jika kita bertemu dengan makhluk asing alien ataupun barang ghoib itu pun kalau itu baik hati.

Ketika saat ini ada banyak begitu pihak yang berusaha memisahkan dan membedakan kita _ baik dalam lingkup tetangga sekitar, kota kita, sampai negara kita. Coba kita gabungkan dengan kata-kata Marcus Aurelius bahwa “kita datang ke dunia ini demi satu sama lain,” maka prinsip “warga dunia” akan jauh diatas dari sekedar mentoleransi atau menerima mereka yang berbeda. Tetapi kewajiban kita sebagai warga dunia adalah berbuat baik secara aktif tanpa membedakan siapa pun itu.

Apakah kita bisa menghadapi masalah dunia?

Jika semua manusia adalah “warga dunia”, maka masalah dunia bisa dihadapi kita bersama sebagai warga dunia juga. Dari sini sejarah sebagai pengalaman juga dapat membuktikan bahwa banyak hal besar dapat diraih Ketika kita menyisihkan perbedaan dan mulai bekerja sama. Jika jutaan tahun lalu dinosaurus punah diduga karena tumbukan meteor ke bumi, maka manusiapun akan hancur karena ulahnya sendiri. Sepanjang kita tidak dapat mampu untuk secara sadar mengesampingkan label-label pemisah diantara kita, rasanya para “warga dunia”  tidak akan bisa menggabungkan pikiran dan tenaga untuk mencegah diri kita dari sebuah kepunahan. Kita akan terus sibuk mempertengkarkan perbedaan di antara kita sampai akhirnya sama-sama kita hapuskan oleh cuaca ekstrem atau senjata nuklir.

Baca Juga:  Prinsip Kesempurnaan Hidup dalam Lagu “Ngelmu Pring” yang Dipopulerkan Rap Rotra Group

Begitupun menjadi warga dunia artinya kita juga harus menerapkan prinsip keadilan, keberanian,  kebijaksanaan dan menahan diri juga kepada mereka yang memiliki agama, keyakinan, suku, ras,  bahkan kebangsaan yang berbeda dari kita, itulah kemanusiaan yang sejati. Kita semua adalah “kosmopolit” warga dunia yang berasal dari akar yang sama yang mana tidak ada alasan untuk membeda-bedakan suku, agama, ras, kebangsaan untuk bisa bersikap manusiawi.

Haruskah kita turut serta mengatasi permasalahan dunia dan isinya?

Jika kita diharapkan hidup selaras dengan alam, menyayangi seluruh umat manusia dan hidup dengan bijak bisa disimpulkan bahwa kita diharapkan untuk tidak hanya berpangku tangan. Tetapi  Jika dihadapi sendirian akan banyak masalah yang berada di luar kendali kita, namun jika dihadapi bersama maka banyak masalah yang bisa berubah menjadi di bawah kendali kita. Dari kata-kata “Sejarah juga membuktikan bahwa banyak hal besar bisa diraih ketika kita menyisihkan perbedaan dan mulai bekerja sama”  dari sini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa kita sebagai warga dunia harus bisa mengesampingkan pikiran negatif menjadi pikiran positif yaitu seperti yang dikatakan oleh sayyidina Ali bin Thalib “yang bukan saudaramu dalam iman adalah saudaramu dalam kemanusiaan” tidak ada alasan untuk kita membeda-bedakan perbedaan suku, agama, ras, kebangsaan untuk seluruh umat manusia. []

Anggi Zahrotul Uliyah
Mahasiswi IPMAFA

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini