Setelah tamat Madrasah Aliyah (setingkat SMA) di Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo, meski hanya sebentar-sebentar, saya menjadi santri kelana tabarrukan (berharap keberkahan ilmu) di belasan Pesantren, salah satunya Pesantren Maslakul Huda. Nyantri dan mengkaji pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh (1937-2014), saya melihat dua sosok pendiri Nahdlatul Ulama (NU) dalam diri beliau, yakni Mbah Wahab yang pakar ushul fiqh dan Mbah Bisyri yang sangat ahli fikih. Nah, dua kedigdayaan ini sungguh-sungguh menyatu dan benderang dalam diri Mbah Sahal sebagai mercusuar ilmu khas Pesantren. Kami para santrinya bersaksi atas kepiawaian beliau.
Mbah Sahal—yang asli produk Pesantren—adalah mujtahid, mujaddid (pembaharu), pemikir yang visioner dan begawan ilmu, beliau sering berkoresponden dengan berbagai ilmuwan dunia dari berbagai latar belakang, di Timur dan Barat, termasuk syaikh Yasin Padang yang kelak menjadi gurunya di Mekah. Karena kepakarannya dalam berbagai disiplin ilmu dan pemberdayaan masyarakat, sampai-sampai beberapa perguruan tinggi negeri merasa perlu dan berebut memberinya gelar doktor kehormatan.
Pernah suatu pagi saya ngaji kepada beliau, sore harinya saya sengaja ngaji kitab yang sama, dan yang istimewa adalah, kitab kuning yang dibaca sama, makna dalam bahasa Jawa juga sama, tapi penjelasan beliau selalu beda dan ada yang baru. Artinya, beliau tidak pernah mengulang pendapatnya, terus berijtihad dan memperbaharui gagasan-gagasannya. Ciri pemikir orisinal-rasional-transendental yang visioner khas abad ke-3 hijriyah.
Setelah belajar tasawuf di Pesantren Bendo Pare Kediri (1953-1957) kepada KH. Muhajir, dan sebelum belajar kepada Syaikh Yasin Padang di Mekah, secara khusus Kiai Sahal muda ngaji kitab Al-Asybah wan Nazhair karya Imam Jakaluddin As-Suyuthi kepada KH. Zubair Dahlan di Sarang. Kelak, Mbah Sahal menulis komentar dan penjelasan berjudul Anwarul Bashair fi Syarhil Asybah wan Nazhair. Satu lagi, magnum opus Mbah Sahal yang menunjukkan kepakarannya dalam bidang ushul dan qawaidul fiqh, yakni Thariqatul Husul penjelasan dari kitab Lubbul Ushul. Bahkan, pandangan Mbah Sahal tentang aplikasi mazhab Manhaji sebagai peralihan dari mazhab Qauli diterima dan menjadi keputusan Munas NU di Lampung tahun 1992.
Adalah fikih sosial, sebuah mahakarya dan lompatan pemikiran Mbah Sahal yang melampaui zamannya. Di tangan beliau, fikih menjadi lebih responsif, akomodatif dan solutif terhadap segala polemik di masyarakat yang semakin maju dan problematika kebangsaan yang berjalin-jemalin dengan persoalan sosial-budaya, khususnya kemiskinan dan pengangguran.
Dalam pandangan Mbah Sahal, sependek saya mengikuti kajian dan melakukan penelitian terhadap karya-karya beliau, Kiai ibarat seorang dokter, harus punya racikan yang pas dalam mengobati penyakit-penyakit sosial, berapa persen kadar tauhid, seberapa banyak takaran fikih, dan seberapa kental adonan tasawuf tentu bagi tiap persoalan sosial berbeda-beda.
Namun demikian, sebelum mengobati penyakit-penyakit dan wabah sosial, terlebih dahulu Mbah Sahal mendiagnosis dan jika perlu membedah segala problematika kontemporer yang berkembang di masyarakat dengan lima alat bedah yang memang menjadi ciri utama fikih sosial beliau, yakni: (1) kontekstualisasi teks-teks fikih agar lebih pas dengan kondisi kekinian di Indonesia, (2) beralih dari mazhab Qauli ke mazhab Manhaji agar fikih lebih solutif terhadap persoalan sosial, (3) verifikasi mendasar dan cermat yang mana ajaran ushul serta yang mana furu’ atau derivasinya, (4) menghadirkan fikih sebagai etika sosial, bukan sebagai hukum positif Negara dan (5) penerapan metode pemikiran filosofis, terutama dalam problematika sosial-budaya.
Sementara itu, dalam setiap dakwahnya, karena memang terjun langsung ke masyarakat arus bawah (wong cilik), yandzurul ummah bi ‘aynir rahmah (memandang dan lantas menyikapi umat drngan cinta-kasih), Mbah Sahal banyak menyoroti pentingnya pengentasan kemiskinan, menyelamatkan pengangguran, dan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai akar dari kesenjangan sosial dan maraknya kejahatan. Mbah Sahal juga berperan aktif dalam menjaga lingkungan hidup dan ekosistem hayati, keluarga berencana, demokrasi, Pancasila, toleransi, Islam moderat, pendidikan dan tentu saja keterlibatan pesantren bagi masyarakat dan Negara.
Apakah yang menjadi core value dari fikih sosial Mbah Sahal? Maslahat, titik! Kemaslahatan, kita tahu, ada yang primer (dharuri), misalnya: menjaga agama, jiwa, akal, harta dan generasi. Ada pula yang sekunder (tarakhi), misalnya mencanangkan kesejahteraan sosial, pengembangan SDM berkesinambungan, demokrasi dan multikulturalisme, toleransi dan penerapan paham Ahlus-Sunnah wal Jamaah yang moderat dalam bernegara. Serta kemaslahatan komplementar (takmili), misalnya, peranan santri bagi perdamaian dunia, keterlibatan pesantren dalam Milenium Development Goals (MDGs), Sustainable Development Goals (SDGs) dan kabar baiknya, baru-baru ini beberapa negara mulai belajar Islam Nusantara dan toleransi ke Indonesia.
Kajen. Di tanah ini saya tidak henya menghirup nafas para ulama, mulai Mbah Mutamakkin hingga Mbah Sahal, tapi juga bagaimana Pesantren Maslakul Huda tidak hanya menjadi tempat ngaji bagi para santri, tapi juga dijadikan sebagai tempat penelitian, pelatihan, pembekalan, pengembangan dan pemberdayaan masyarakat oleh Mbah Sahal sendiri malalui Biro Pengembangan Masyarakat dan Pesantren (BP2M). Tentu saja ini pioneer dan terobosan berani seorang Kiai dan pesantren.
Tak hanya memberikan keterampilan pertanian dan pemberdayaan ekonomi pedesaan, Mbah Sahal juga mendirikan bank untuk menunjang kebutuhan modal masyarakat Kajen dan sekitarnya, yakni BPR Artha Huda Abadi, justru ketika sebagian ulama masih berdebat soal bunga bank halal, haram atau syubhat.
Meski banyak dikritik oleh para Kiai yang sebagian masih muhafizh (konservatif) lantaran Mbah Sahal terlalu mujaddid (modernis), bahkan dituduh sebagai agen Yahudi, antek Barat, liberal dll, khususnya di Kajen dan Pati, Mbah Sahal tetap bersikukuh dengan perjuangannya sebab tujuan beliau adalah kesejahteraan ekonomi dan kemaslahatan sosial. Malah, beliau juga mendirikan Rumah Sakit Islam (RSI) Pati bersama KH. Abdullah Zein Salam untuk menunjang kesejahteraan sosial di bidang kesehatan. Tak tanggung-tanggung, beliau juga mendirikan perguruan tinggi, terus berkarya, menjadi Rais Am NU, sekaligus ketua Majelis Ulama Indonesia selama tiga periode.
Dan memang, hukum pergaulan dan perubahan menyatakan bahwa semakin sesuatu ditolak pada gilirannya ia akan semakin diterima, demikianlah Mbah Sahal memulai dan meneladankan perjuangan. Pesantren tidak menjadi lembaga pendidikan menara gading yang justru jauh dari masyarakat, sebagaimana lazimnya kampus dan sekolah formal lainnya. Dengan pendekatan cinta-kasih khas Kiai NU, fikih justru menjadi solusi bagi segala persoalan sosial. Alfatehah untuk Mbah Sahal dan para ulama NUsantara.