Feminisme pada dirinya memiliki ruh kritik, oleh karena itu kritik atas dirinya sendiri tak terelakkan. Pengantar ini disampaikan oleh mba Lies Marcoes mengawali diskusi daring dalam Seri Diskusi Dekolonisasi Ilmu-ilmu Sosial yang secara khusus mengangkat tema tentang “Dekolonisasi Feminisme: Kritik Intelektual dan Aktivis Musim”, yang dikelola mas Dr Moch Nur Ichwan pada 14 Desember 2021 malam.
Tulisan ini tentu saja tidak seutuhnya rekaman diskusi tersebut, namun terurai melalui pembacaan ulang atas pemahaman yang diperoleh dari diskusi tersebut yang telah mengendap, yang juga bercampur dengan beragam informasi yang telah lebih dahulu ada dalam pikiran saya.
Semoga tidak terlalu jauh dari fokus yang dimaksud dalam diskusi tersebut.
Diksi ‘dekolonisasi feminisme’ sungguh menarik sebagaimana semua perbincangan tentang dekolonisasi ilmu-ilmu sosial lain, terutama terkait praksis.
Sangat mungkin banyak kalangan terpelajar termasuk para feminis yang lupa –atau mengabaikan sejarah konstruksi ilmu pengetahuan– yang membentuk kerangka berfikir mereka dan menghasilkan sebuah cara baca, atau ‘frame’, bahkan teori. Ketika ilmu pengetahuan akan digunakan untuk membaca sebuah situasi, –apalagi untuk mencari solusi dari masalah–, maka penting diingat dan dihadirkan kembali bagaimana dan dalam konteks apa pengetahuan tersebut dibangun. Dalam hal ini Mba Lies mengingatkan bahwa feminisme lahir dalam konteks masyarakat Barat, yang telah mengalami revolusi industri, yang memunculkan perubahan tatanan sosial khususnya memunculkan kelompok-kelompok yang termarginaslisi. Sebagai sebuah faham yang menghasilkan cara berfikir, tentu ia memiliki akar dalam bangunan ilmu-ilmu sosial saat itu.
Keragaman situasi dan keunikan manusia terlalu kaya untuk diseragamkan dan dibaca dengan suatu ‘frame’ yang dibentuk dalam suatu konteks sosial-poitik-budaya tertentu. Dalam sebuah frame juga terkandung kepentingan-kepentingan yang tidak tunggal. Bayangkan ketika kita menggunakan kaca mata dengan lensa merah, maka semua yang kita lihat akan kemerah-merahan. Sebuah frame akan menentukan data mana yang diperhatikan dan data mana yang dianggap tidak penting, yang kemudian akan dianalisa untuk menghasilkan suatu pemahaman atau kesimpulan.
Dari ilustrasi tadi, semangat yang diambil dalam terma dekolonisasi ilmu ini
dapat diungkapkan dalam narasi ini; peneliti atau perumus pengetahuan hendaklah menjelaskan posisinya –bagaimana latarbelakang budaya, posisi sosial-akademisnnya dan seterusnya— sebagai sebuah pernyataan yang adil bahwa bias dalam merumuskan pengetahuan si peneliti atau si perumus dapat saja terjadi. Dengan adanya penjelasan tentang posisi ini, pembaca dapat mengambil jarak dari kontstruksi pengetahuan yang dibentuk dan turut terlibat menilai dan menganalisa data tanpa merasa didikte, dan tidak terjadi memaksakan cara pikir atau dalam diksi yang lebih lugas; penjajahan pikiran.
Kiranya cukup jelas, penjajahan pikiran pun dapat dilakukan oleh siapa saja termasuk oleh masyarakat yang pernah terjajah sendiri ketika tidak krisis, tidak mengambil jarak dengan ‘frame’ yang menyeragamkan perbedaan konteks sosial- politik -budaya peneliti atau per0umus pengetahuan.
Terkait dekolonisasi feminisme, Mba Lies mengingatkan ada beberapa faktor pembeda. Perbedaan tersebut terkait konteks kelahiran feminisme yang adalah budaya Eropa atau kulit putih, dalam masyarakat yang mengalami industrialisasi, bangsa yang menjajah dan sekuler. Ketika feminisme akan digunakan untuk membaca –atau diandaikan dapat memberi solusi masalah untuk masyarakat Indonesia katakanlah–, perlu diingat masyarakat ini belum mengalami industrialisasi, korban penjajahan dan lebih dari itu menganut alam pikir keagamaan. Tentu konteks yang tidak sama ini harus mendapat perhatian. Memaksakan sebuah frame untuk sebuah konteks yang berbeda bukan hanya pasti terjadi bias, karena memaksakan cara berfikir, tidak lain adalah penundukkan pada yang berbeda. Penjajahan pikiran, adalah sesuatu yang bertentangan dengan nilai kesetaraan yang diperjuangkan oleh feminisme sendiri.
Pada diskusi ini Mba Lies menggariskan beberapa kesadaran yang penting sebagai kerangka kritiknya, yang intinya adalah menyadari keragaman yang tidak mungkin dinafikan.
1. Kesadaran Keragaman Epistemologi
Hampir setiap budaya memiliki alam pikir yang unik. Dalam masyarakat modern yang mengunakan alam pikir filsafat positivistik, (memisahan urusan ‘dunia dan agama” karena yang metafisika dianggap nonsense, menjauhkan dari nilai-nilai, spiritualitas maupun semua hal yang tidak dapat dicerna pancaindera). Cara pikir positivistik ini, satu sisi menyukseskan industrialisasi dan di sisi lain menjauhkan manusia dari kesadaran relasional dengan sesama maupun alam semesta secara umum.
Sementara banyak masyarakat Asia, diantaranya Indonesia, Tuhan, nilai-nilai dan spiritualitas adalah hal yang dianggap penting dalam kehidupan. Ini terhubung dengan bagaimana memandang manusia yang dalam masyarakt Eropa modern, manusia lebih dipandang pada aspek ketubuhannya dan diposisikan sebagai pusat kehidupan. Sementara dalam alam pikir budaya di Asia, manusia tidak sekedar aspek ketubuhan, melainkan seimbang jasmani dan ruhani, yang terhubung langsung dengan alam semesta, bukan pusat.
Ketika ‘frame’ dari masyarakat Eropa ini digunakan dalam masyarakat Asia atau dunia selatan atau dunia yang belum mengalami industrialisasi (namun justru menjadi korban penjajahan negara-negara indutri Eropa) tentu tidak dapat digunakan seutuhnya dan tidak dapat untuk membaca berbagai realitas yang tidak dikenali dalam frame tersebut. Tidak sambungnya kerangka berfikir dan realitas yang dipikirkan, menunjukkan perlunya keterbukaan dan pengakuan pada keragaman. Oleh karena itu kemudian muncul beberapa aliran feminisme baru yang berkembang dari tuntutan konteks wilayah dan budaya yang berbeda.
Perbedaan budaya sangat terasa dalam komunikasi, misalnya dalam proses edukasi, adakalanya muncul kesalahpahaman, atau anggapan bahwa feminisme adalah paham yang cocok hanya untuk dunia Eropa-Amerika saja. Sangat mungkin di sini terjadi ketidaksinkronan antara referensi makna dengan bahasa, simbol, imajinasi yang digunakan oleh publik setempat. Sesungguhnya simbol, bahasa, dapat saja dipertukaran sepanjang dapat menyampaikan makna yang menjadi substansi dari suatu proses edukasi, sesuai kebutuhan lokal. Masalahnya suatu makna belum tentu ditemukan dalam budaya yang berbeda. Dialog Kartini, seorang bangsawan Jawa muslim dengan Abendanon, feminis berlatar partai buru di Belanda memperlihatkan ada makna-makna yang penting dalam suatu budaya yang tidak ditemukan dalam budaya lain
2. Kesadaran Sejarah Pra Kolonisasi
Pada kesempatan ini Mba Lies juga mengangkat data-data sejarah yang dapat mematahkan kemutlakan hasil sebuah pembacaan. Sebagian feminis dengan ‘frame’ Amerika-Eropa modern menilai, dunia Islam secara umum memiliki praktik penindasan akut terhadap perempuan, dengan bukti-bukti tradisi yang berjalan, cara berpakaian maupun ajaran-ajaran yang disakralkan. Data-data sejarah dari kawasan yang berbeda dari asal ‘frame ‘ terbentuk, ini membuat hasil pembacaannya perlu diperiksa ulang.
Mba Lies menyebutkan tokoh Fatimah al Fihri, pendiri universitas pertama dan tertua di dunia, yaitu universitas al Qawariyyin di kota Fez Maroko pada awal abad 9. Pada masa itu, seorang perempuan muslim dengan semua tradisi dan penampilannya, ternyata dapat mengelola hartanya sendiri untuk tujuan mengembangkan peradaban yang dilakukan dengan strategis. Sebagai pembanding, hukum positif Belanda di wilayah jajahan hingga abad 19 (seribu tahun kemudian dari masa Fatimah al Fihri ) perempuan bahkan masih diwakilkan ketika mendapatkan warisan. Mba Nursyahbani Kacasungkana yang turut memberi komentar dalam diskusi itu, menambahkan, dalam Hukum Keluarga di masa kolonial, untuk urusan perdata, perempuan belum mempunyai posisi sebagai subyek hukum, sementara Khatijah istri nabi kala itu sudah aktif berdagang.
Berkaitan dengan kepemimpinan politik, di nusantara pun sudah ada sultanah-sultanah atau raja perempuan di kerajaan Aceh Darussalam, pada saat para perempuan Eropa dan Amerika baru memiliki hak memilih di abad 20.
Sebagai catatan, ada 4 Sultanah yang berkuasa di Aceh Darusalam. Sultanah Safiatudin (memerintah tahun 1641-1675) memiliki gelar Paduka Sri Sultanah Ratu Safiatuddin Tajul ‘alam Syah Johan berdaulan Zillu llahi fil ‘alam binti al marhum Sri Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam Syah. Kedua, Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah (memerintah 1675-1677), Ketiga, Sultanah Inayah Zakiyatuddin (memerintah tahun 1677-1688) dan Keempat, Sultanah Kamal Zakiyatuddin Syah (1688-1699). Kerajaan ini juga pernah memiliki panglima armada laut perempuan Malahayati dan pejuang penggerak Cut Nyak Dien, Cut Meutia dll.
Data-data sejarah ini mempertegas keragaman sosial-budaya di dunia yang mengingatkan pentingnya masyarakat dalam tiap kebudayaan untuk mengkostruksi pengetahuannya sendiri secara merdeka dan menggunakan cara pikir yang paling relevan dengan konteks mereka tersebut saat menanggapi suatu masalah, agar substansi kesetaraan, keadilan dan keadamaian dalam tiap masyarakat yang beragam tersebut tercapai.
3. Kesadaran pentingnya mengonstruksi pengetahuan secara merdeka.
Mengkonstruksi pengetahuan berdasarkan pengalaman dan budaya masyarakat sendiri adalah bagian penting dari pemerdekaan berfikir, realisasi nilai kesetaraan untuk keadilan dan perdamaian. Mengapa pengetahuan yang dikonstruksi sendiri dan tidak memaksakan menggunakan pengetahuan dari budaya yang berbeda sangat penting, ada 6 hal yang menurut Mba Lies penting diperhatikan;
a. Konsep pembebasan dalam feminis Barat, adalah pembebasan dari ketertindasan semata antarmanusia, sehingga yang disorot pada pola relasinya. Pada feminisme Islam, pembebasan bersifat holistik, tidak berhenti pada pembebasan dalam relasi antarmanusia yang timpang, namun pembebasan atas kondisi yang ditimpulkan oleh adanya praktik mempertuhan dari selain Allah; baik mempertuhan harta, kedudukan sosial, anak suami, penguasa dsb.
b. Kesetaraan dalam feminisme adalah kesetaraan antara laki-laki dan perempuan saja. Sementara feminisme dalam Islam, Hindu, Buddha maupun teologi oikomene di dunia Kristiani, adalah kesetaraan sebagai buah dari sikap hidup hanya mempertuhan Tuhan, sementara semua ciptaan adalah setara. Karena itu eksploitasi sumberdaya yang merusak lingkungan misalnya, juga menjadi bagian dari perjuangan para feminis di negara-negara Selatan.
c. Konsep adil dalam Islam bersifat diskursif atau berada dalam proses. Misalnya soal poligami, waris, saksi, yang tertera dalam teks-teks suci harus dipahami secara utuh, tidak dibaca sepotong-sepotong. Teks-teks tersebut menggambarkan proses yang beranjak dari pernyataan yang mengacu pada konteks situasi masyarakat, kemudian didorong secara gradual menuju perubahan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan sebagai hal yang paling dekat dengan takwa.
d. Dalam Islam (dan banyak budaya di Timur lainnya) tidak ada pembagian ruang publik dan privat untuk laki-laki dan perempuan yang ketat. Para penjajahlah yang telah membuat aturan aturan merumahkan para perempuan, termasuk untuk masyarakat jajahan mereka .
e. Dalam hal seksualitas, para penjajah juga menanamkan konsep binner. Di Islam dan beberapa agama dikenal ada jenis kelamin ketiga. Ini terkait dengan pandangan tentang manusia yang bukan sekedar mahluk ketubuhan, melainkan juga mahluk ruhani.
f. Demikian pula dalam soal pembagian kerja produksi dan reproduksi, dalam Islam terdapat kelenturan di mana para laki-laki muslim dalam masyarakat Islam sebagaimana di bayak tradisi di Timur juga melakukan pekerjaan belanja, memasak dan pekerjaan-pekerjaan lain yang dapat dipertukarkan dengan perempuan.
Kritik ini sangat berguna dalam dinamika pembaharuan gerakan yang perlu terus dilakukan seiring mekarnya kesadaran tentang keragaman budaya dan perubahan yang juga makin memperkaya keragaman manusiawi. Agar tidak cara pikir yang bertentangan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh feminisme sendiri, maka dekolonisasi feminisme ini menjadi kebutuhan. []
_____-
Tullisan kecil semoga bisa mewakilii hadiah ulang tahun Mba Lies 17 Februari lalu, semoga sehat selalu, panjang umur dan terus menginspirasi.
(Mohon koreksi bila ada yang keliru).