hak belajar perempuan

Saya pernah ditanya, bagaimana menghadapi orang yang berpendapat untuk apa perempuan belajar tinggi-tinggi kalau toh kembali ke dapur juga? Mungkin teman-teman juga banyak yang masih mendapatkan keraguan beberapa orang tentang pentingnya perempuan menuntut ilmu setinggi mungkin.

Belajar tidak hanya menjadi kewajiban, tapi ia juga kebutuhan akal manusia. Seorang muslimah, meski ia kelak hanya berkiprah di rumah misalnya, ia tetap butuh ilmu. Semakin ia memahami ilmu Islam khususnya, semakin bijak ia dalam membawa pribadi dan emosinya. Memasak, mengurus suami, saat hamil melahirkan, mendidik anak, semua butuh ilmu. Bahkan Dr. Wahbah Zuhaili seorang ulama besar zaman ini, menulis dalam kitabnya,

كما أن مبادئ الاسلام لا تعارض العلم الصحيح في ذرة منه, والتقدم العلمي يزيد الإيمان, ويغرس الطمأنينة, ويمنح الثقة بأحكام الشرع

Bahwa dasar agama Islam sama sekali tidak menolak ilmu yang shahih, sekecil apapun itu. Karena kemajuan dalam bidang ilmu akan menambah iman, menumbuhkan ketenangan, dan memberikan kepercayaan terhadap hukum-hukum syariah.

Lalu beliau melanjutkan, “Dan hendaknya tiap remaja muslimah meyakini validitas syariah untuk tiap zaman dan tempat. Maka belajarlah setinggi mungkin, lalu mengabdilah kepada umat dengan segenap manfaat, serta tetap menjaga takwa dan rasa takut kepada Allah di dalam hati.” Jadi dengan semakin kita menambah ilmu, semakin tambah iman kita, tambah kecakapan kita dalam mengelola emosi. Teman-teman perempuan di sini pasti mengerti bagaimana perempuan dalam menjalankan peran sebagai istri dan ibu harus sangat pintar mengelola emosinya untuk tetap memberikan yang terbaik dalam melayani suami dan mendidik anak-anak.

Selaras dengan beliau, Syekh Ali Jum’ah seorang mufti dari Mesir menyebutkan bahwa belajar dan mengajar adalah kewajiban tiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Sebab banyaknya nash-nash baik dari Al-Quran maupun hadis yang menyebutkan perintah untuk menuntut ilmu dan tingginya kedudukan ilmu. Selama tidak ada dalil yang mengkhususkan laki-laki atau perempuan, maka perempuan masuk kepada khitab nash syariah tersebut. Beliau juga menyebutkan, dalam sejarah bahkan Rasulullah saw menyediakan waktu satu hari khusus untuk mengajarkan ilmu-ilmu syariat kepada para shahabiyah. Dan di hari lainnya, para shahabiyah tetap ikut majelis ilmu Rasulullah saw bersama sahabat laki-laki.

Baca Juga:  Sifat Guru yang Baik

Selain itu, sejarah juga mencatat banyak dari perempuan yang memiliki keilmuan luar biasa bahkan melebihi keilmuan yang dimiliki laki-laki. Salah satunya adalah ummul mukminin Sayyidah Aisyah ra, yang bahkan dijelaskan oleh seorang sahabat,

كانت عائشة أفقه الناس وأعلم الناس وأحسن الناس رأياً

Sayyidah Aisyah ra ialah orang yang paling pintar fikih, paling alim, dan paling baik pendapatnya.

Para ulama besar pun tidak sedikit yang memiliki guru perempuan. Catat saja seorang dari golongan tabiin perempuan ada Ummu al-Darda’ al-Shughra yang juga sorang faqih dan mufti. Di masjid jamik Umawi, beliau memiliki majelis taklim yang ikut dihadiri oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan dan Raja’ bin Hayawah, guru dari Umar bin Abdul Aziz. Lalu Sayyidah Nafisah yang merupakan guru dari Imam Syafii. Imam al-Hafidz Ibnu Hajar juga memiliki 50 lebih guru perempuan dan Imam al-Hafidz Ibnu Asakir bahkan memiliki 80 lebih guru perempuan. Para ulama ini tidak merasa berdosa bila mengatakan, “Guru perempuan ini telah menceritakan kepadaku…” atau “Aku mendengar dari guru perempuan ini…”

Logikanya juga, bagaimana mungkin Islam mencegah perempuan untuk belajar atau mengajar, sedangkan perempuan lah pendidik generasi? Bagaimana mungkin Islam membiarkan generasi umat dididik oleh seseorang yang bodoh? Sebuah syair arab mengungkapkan,

فكيف نظن بالأبناء خيرا *  إذا نشئوا بحضن الجاهلات

Bagaimana mungkin kita bisa mengharapkan kebaikan dari anak-anak, jika mereka dibesarkan di pangkuan perempuan yang bodoh?

Maka teruslah menuntut ilmu. Kalau nanti kita dibutuhkan di masyarakat, kita bisa berperan maksimal dengan bekal ilmu kita. Jangan malu kalau sudah sekolah tinggi, tapi hanya mengurus rumah kerjanya. Ingatlah pesan kanjeng Nabi Muhammad saw kepada sayyidah Fatimah ra, “Sebaik-baiknya perempuan adalah yang memberi manfaat kepada keluarganya.” Karena walaupun ternyata kita hanya berkutat di rumah, ilmu kita akan sangat berguna untuk membuat rumah kita layaknya surga yang dirindukan.

Baca Juga:  Zainab al-Kubra

Penting untuk mengetahui dukungan syariat atas belajarnya muslimah. Agar saat seorang muslimah memutuskan untuk belajar, ia pun kembali pada tuntunan syariah dan tidak melewati batas-batas yang diharamkannya. Ia juga tidak menjadikan proses belajar maupun mengajarnya hanya sekedar ingin unggul dari kaum laki-laki, untuk membuktikan kesetaraan misalnya. Karena sungguh Islam tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan kecuali yang berkaitan degan fitrah keduanya.

Belajarlah karena itu kebutuhan akal kita. belajarlah karena kita menanggung amanah besar mendidik putra putri kita, yang tak hanya belajar dari nasihat kita. Tapi lebih dari itu, mereka belajar langsung dari segala tingkah laku dan gaya hidup kita. dan tanpa ilmu – juga pertolongan Allah swt – mustahil kita bisa menjalaninya dengan baik. [HW]

Atina Balqis Izzah Bcs, M.Ag
Penulis Buku Bias Cinta dari Mukalla, Tentang Muslimah, Alumnus PP Ashiddiqiyah Jakarta, PP Manbaul Ulum Banyuwangi, PPQ Nurul Huda Singosari, PP Al Asy'ariyah Wonosobo, Universitas Al-Ahgaff Yaman, PTIQ Jakarta dan Pengasuh PP Ashiddiqiyah Bogor

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini