Kedua ayat tersebut, melegalisasikan tentang adanya kebebasan beragama dalam sebuah negara. Setiap orang diberi hak kebebasan untuk memilih agama yang dikehendakinya. Artinya, Islam sejak kedatangannya telah mengundangkan toleransi dan kebebasan beragama, dan Nabi saw sendiri telah mempraktekkan ketika ia membangun negara Madinah. Masalah kebebasan beragama termaktub pula dalam Piagam Madinah.
Bahwa salah satu item terpenting dalam Piagam Madinah, adalah memberi jaminan kebebasan beragama bagi orang-orang Yahudi sebagai suatu komunitas dan mewujudkan kerja sama seerat mungkin dengan sesama kaum muslimin. Kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia yang harus dijunjung tinggi. Bahkan, hak asasi manusia adalah hak-hak dasar dan kebebasan fundamental manusia baik laki-laki maupun perempuan yang diakui di dunia, tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama.
Kebebasan mengkritik juga dijamin dalam Islam misalnya prinsip amar ma’ruf nahi munkar (QS. Ali Imran: 104). Dalam hadits riwayat Ibnu Majah dikatakan bahwa jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran pada penguasa yang zalim. Disamping itu terdapat jaminan kebebasan berpendapat (QS. As-Syura: 38, An-nisa’: 59 dan 83; kebebasan berserikat dalam al-Maidah ayat 2, al-Mujadilah: 22 dan kebebasan beragama dalam QS. al-Baqarah ayat 256 dan Yunus ayat 99.
Disamping kebebasan beragama, masyarakat juga diberikan kebebasan berpendapat sesuai koridor hukum dan prosedur yang berlaku, yaitu melalui musyawarah atau syura. Di dalam forum musyawarah, mereka dengan sebebasnya mengeluarkan pendapat. Ayat yang terkait dengan musyawarah adalah antara lain QS. Ali Imran (3): 159: “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orangorang yang bertawakkal kepada-Nya”.
Dari sini Ibnu Athiyyah menyatakan sebagaimana dinukil al-Qurthubi bahwa salah satu kaidah syariat dan ketentuan hukum yang harus ditegakkan adalah musyawarah. Barang siapa yang menjabat kepala negara, tetapi tidak mau bermusyawarah dengan ahli ilmu dan agama haruslah ia dipecat. Tak hanya itu, dalam musyawarah, setiap orang yang ikut bermusyawarah akan berusaha mengemukakan pendapat yang baik, sehingga diperoleh pendapat yang dapat menyelesaikan problem yang dihadapi. Pelaksanaan musyawarah merupakan penghargaan kepada tokoh-tokoh dan para pemimpin masyarakat, sehingga mereka dapat berpartisipasi dalam berbagai urusan dan kepentingan bersama.
Dengan demikian, pelaksanaan musyawarah merupakan penghargaan kepada hak kebebasan mengemukakan pendapat, hak persamaan, dan hak memperoleh keadilan setiap individu. Inilah inti demokrasi dalam perspektif Islam. Bahkan, demokrasi yang telah diterapkan oleh Nabi saw di negara Madinah, mendapat pengakuan dari segenap pakar, termasuk Rober N. Bellah, seorang pemikir sosiologi agama.
Syahdan, sifat dan ciri khas demokrasi seperti ini, yang egaliter dan partisipatif itu telah tampak dalam berbagai keteladanan Nabi saw sendiri. Demikian pula dalam keteladanan para khalifah yang bijaksana (khulafa’ al-rssyidin). Menurut Nurcholis Madjid, demokrasi sebagai suatu ideologi tidak hanya karena pertimbangan-pertimbangan prinsipil yaitu karena nilai-nilai demokrasi itu dibenarkan dan didukung semangat ajaran Islam, tetapi juga karena fungsinya sebagai aturan permainan politik yang terbuka. Argumen yang menunjukkan kesesuaian Islam dan demokrasi adalah penolakan Islam terhadap kediktatoran Namrudz dan Firaun (QS.al-Baqarah: 258 dan ad-Dukhan: 31), pengecaman terhadap rakyat yang hanya membebek saja (QS. Al-Qashash: 8, 24), negara Islam menjunjung tinggi toleransi dan pluralitas sebagai sunnatullah (QS. Al-Baqarah 256, Huud: 118 Yunus: 99).
Islam mengenal sistem penerimaan rakyat yang disebut baiat. Kata Nabi, ada tiga orang yang shalatnya tidak terangkat sejengkalpun diatas kepalanya, salah satunya orang yang mengimami shalat suatu kaum, sedang mereka membencinya. Dari hadits ini, salah satu ukuran demokrasi adalah pada tingkat aspiratifnya. Suatu Negara dikatakan demokrasi sejauh ia mencerminkan aspirasi rakyatnya, termasuk di dalamnya tidak bertentangan dengan sistem kepercayaan (agama) yang dianutnya sebagaimana yang berlaku di Amerika Serikat dengan konsep WASP (White, Anglo Saxon, and Protestan).
Demokrasi ditolak oleh elit di negara muslim karena efektivitas demokrasi terhadap keutuhan bangsa. Demokrasi dianggap melahirkan kekacauan sosial, yang tidak kunjung tiba sebab maraknya praktik politik uang (korupsi), dan kolonisme akibat balas budi terhadap mereka yang berjasa dalam pemilihan presiden atau pilkada langsung. Penolakan ini disebabkan karena demokrasi tidak membawa pada peningkatan kesejahteraan ekonomi.
Dari argumen di atas dapat dikemukakan, bahwa pemikiran tentang hubungan Islam dengan demokrasi, terletak pada adanya gagasan dalam Islam tentang persamaan derajat (almusawah)(equality before of the law) yakni suatu perlakuan yang sama di hadapan hukum, penegakan keadilan dengan tanpa pandang bulu (al-adhalah), serta kebebasan berekspresi (alhurriyah) melalui musyawarah. Gagasan dan sistem demokrasi yang demikian, tidak terlepas dari akomodir nilai-nilai agama. Bahwa, manusia mengakui dan meneguhkan kepercayaan kepada Tuhan pemilik alam semesta. Manusia sebagai ciptaan (makhluk-Nya) berkewajiban mengabdi dan menyembah kepada-Nya secara murni dan tulus.
Relasi ini sekaligus mengikis praktek perbudakan di muka bumi, sebegai ekses dari penegakan prinsip-prinisp persamaan hak dan kewajiban setiap pribadi manusia di hadapan-Nya. Penegakan keadilan, persamaan hak dan pertanggung jawaban pemerintahan kepada rakyat sebagai pilar-pilar demokrasi merupakan interpretasi real dari nilai-nilai Islam. Nilai-nilai demokratisasi dalam aplikatifnya harus ditopang oleh realisasi penerapan HAM, guna memanusiakan manusia di hadapan Tuhan. Pola seperti ini sangat relevan dengan esensi Islam yang menginginkan terwujudnya cinta-kasih sesama manusia di sisi-Nya. Pemerintahan yang demokratis, akan menghapus strata sosial masyarakat, mengubur sikap arogansi penguasa, serta mendudukkan hukum di atas segalanya.
Proses semacam ini, pada hakikatnya juga bagian dari aplikasi nilai-nilai Islam. Yang jelas sudah menunjukkan, bahwa proses demokratisasi di muka bumi ini merupakan konsekuensi logis dari upaya pembumian nilai-nilai Islam. hakikat demokrasi merupakan aktualisasi interpretasi yang benar atas nilai-nilai pokok Islam. Pemberdayaan atas nilai-nilai demokratisasi sama halnya dengan pengukuhan relasi manusia dengan Tuhan. Karena itu, usaha keras untuk membangun masyarakat yang demokratis tidak kalah urgensinya dengan nilai ibadah semacam shalat dan puasa. Sungguh sangat disayangkan bila ulama dan umara (pemerintah) justru meninggalkan gagasan demokrasi yang ditawarkan oleh agama. Wallahu A’lam. []