Berlomba-Lomba dalam Kebaikan, Bukan Kebenaran

Manusia tercipta sebagai manusia yang paling sempurna dan mempunyai anugerah dapat bersosial dengan yang lainnya. Gunakan waktu sebaik mungkin untuk bersosial baik dengan yang lainnya. Karena pada dasarnya, hamparan kebaikan sangatlah terhampar begitu luas, sampai luasnya bahkan kebaikan sekecil biji atau debu sekalipun. Maka apapun jika dilakukan dengan ikhlas akan menjadi kebaikan yang sangat berarti dan bernilai pahala.

Namun, kesempurnaan yang dimiliki manusia sudah seharusnya kita memiliki sifat simbiosis mutualisme. Maksudnya sifat yang mampu memberikan kemanfaatan untuk orang lain. Terhitung sejak pertama kali manusia terlahir ke dunia, kita pasti membutuhkan bantuan dari orang lain. Begitu juga dengan orang lain, pasti suatu saat akan membutuhkan uluran tangan kita. Sedini mungkin kita harus membiasakan diri untuk menebar kebaikan, karena ketika seseorang melakukan kebaikan, maka dapat merasakan bagaimana rasanya berbagi kebahagiaan dan tentunya membawa hal yang bermanfaat bagi dirinya maupun orang lain.

Allah SWT berfirman:

فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُۥ (7) وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُۥ (8)

Artinya: “Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula”. (QS. Az Zalzalah: 7-8)

Perbuatan baik kecil yang sering luput dari perhatian kita dan seringkali dianggap tidak bernilai yakni membuang duri di tengah jalan menjadi hal yang tampaknya remeh, tapi jika itu duri tidak disingkirkan, nantinya aka nada orang yang terluka. Jika perbuatan baik yang tampak sepele sering dilakukan, maka insyallah menjadi tumpukan kebaikan yang besar.

Sebaliknya, jika kita sering mengunjing keburukan orang, mungkin bagi kebanyakan dianggap sepele, tapi perbuatan kecil itu akan berdampak negatif secara luas. Bayangkan saja, betapa banyak kepanikan sosial, isu-isu, berita hoax, stigma, pembentukan opini, bahkan akan berdampak besar di masyarakat. Tak hanya perbuatan baik yang kecil, melainkan perbuatan jahat yang jika rutin dilakukan, akan berdampak besar. Tidak ada dosa besar, melainkan dosa-dosa kecil yang selalu dilakukan. Walhasil pahala kita akan terkikis dan digerogoti secara perlahan oleh perbuatan yang tergolong sebagai kerugian bagi dirinya sendiri.

Baca Juga:  Mengukuhkan Keberanian dalam Kebenaran

Dalam hal kebaikan yang dilakukan, Muhammad al-Amin al-Syinqîthî dalam Adhwâ` al-Bayân mengklasifikasi level perbuatan baik menjadi tiga level. Pertama, level terendah (al-hadd al-adnâ) yaitu berbuat baik atau melaksanakan kewajiban hanya sekadar melepaskan kewajiban, seperti membayar zakat. Termasuk dalam pengertian ini adalah bersedekah (sunnah), meski dengan sebiji kurma, sebagaimana dianjurkan dalam QS. al-Zalzalah: 7-8.

Kedua, level tengah atau sedang (al-hadd al-awsath) yaitu berbuat baik atau melaksanakan kewajiban dengan kadar secukupnya (kadar yang bisa sekadar menggugurkan kewajiban) dan berbagi dengan kepentingan diri sendiri, seperti tergambar dari anjuran al-Qur`an agar bersikap moderasi (tidak berlebihan), termasuk dalam bersedekah.

Ketiga, level tinggi (al-hadd al-aqshâ) yaitu berbuat baik atau melaksanakan kewajiban untuk orang lain, walaupun dirinya sendiri memerlukannya, seperti yang dilakukan oleh kaum Anshâr untuk kepentingan kaum Muhâjirîn.

Menurut budayawan Emha Ainun Nadjib atau lebih dikenal Cak Nun. beliau mengatakan, terminologi Nandur yang merupakan bahasa Jawa membuat Mbah Nun  teringat kata waltandhur yang adalah bahasa Arab dan termaktub di dalam al-Qur’an surat al-Hasyr ayat 18. Allah berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ

Artinya: ‘’Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah SWT dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah SWT. Sungguh, Allah Maha teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.’’ (QS. Al-Hasyr:18)

Kedua kata itu memiliki kemiripan bunyi dan sesuatu yang dapat dikorelasikan di antara keduanya. Mbah Nun menyampaikan bahwa di dalam nandur (menanam, menginvestasikan) segala sesuatu hendaknya disertai dengan kesadaran waktu. Waltandhur punya arti ‘dan lihatlah’. Selengkapnya, kalimat di alam al-Qur’an itu berbunyi: waltandhur nafsun ma qaddamat lighad, yang artinya “hendaknya setiap diri melihat ke belakang untuk proyeksi ke masa depan”. []

A’isy Hanif Firdaus
Anggota Gusdurian UIN Walisongo Anggota Relawan lindungihutan.com Semarang Anggota Pelita Semarang

Rekomendasi

1 Comment

Tinggalkan Komentar

More in Opini