Merasa Benar itu Tidak Benar: Belajar dari Sosok Diogenes

Manusia memiliki keunikan dari berbagai segi dan khasnya, wajar saja saat manusia dikatakan sebagai makhluk yang suka mengkonsep dan mencipta. Bahkan kecamuk perdebatan tentang manusia terus bergulir sejak perjalanan manusia itu sendiri dimulai. Dan manusia sendirilah yang terus mempertanyakan serta memikirkan dirinya sendiri. Sadar tidaknya manusia aktif mencari jawaban, melampaui batasannya sendiri, hingga kini definisi manusia secara utuh nan komprehensif belum juga ditemukan kepakeman yang baku.

Mari sejenak melihat dalam lingkaran diskusi, setiap kepala memiliki argument tersendiri, dan ini tidak dapat dipungkiri lagi bahwa setiap kepala beda isinya. Jika melihat dari pepatah yang kerapkali menjadi kunci setiap pembicaaran “jika mau dihargai orang lain, maka hargailah orang lain terdahulu.” Kalimat itu menjadi acuan agar bisa menerima pandangan lainnya.

Terkadang orang hanya ingin menang sendiri dan ingin benar sendiri, tanpa memikirkan hak orang lain. Sebut saja dalam perkumpulan, terdapat beberapa jenis manusia yang cenderung mendominasi dalam pembicaraan seakan menguasai meja bundar perdiskusian, mungkin bagi yang tidak paham ihwal temannnya hanya mendengarkan dengan baik, dan menjadi pendengar setia. Tapi ini tidak berlaku bagi orang yang paham dan punya landasan memahami orang seperti itu, yang hanya ingin benar sendiri dalam berbicara.

Kalau meminjam dari kisah alexander dan diogenes yang fenomenal, “Hanya orang kerdil yang mengaku-ngaku diri sebagai orang hebat. Semakin besar rasa diri sesesorang maka semakin mulai ia memproyekkan diri semakin rendah dan semakin besar.”

Pernyataan di atas tidak hanya menjadi tamparan agar manusia tidak menjadi sosok yang merasa “sok” benar, terkadang orang yang rendah hanya menerima apa maunya dengan diam membisu, diam bukan berarti bodoh, diam pun bukan pula suatu hal yang hina, sebab simbol diam seseorang boleh jadi sebagai bentuk pemahaman dia terhadap karakter orang yang dihadapinya itu. Namun, ketika diam diinjak, bolehlah sesekali untuk bersuara atas ketidakbenaran yang dialami terhadap orang yang sok benar tersebut baik berupa suguhan sindiran ataupun wejangan nasehat baik.

Baca Juga:  Ketika Halal-Haram Bercampur

Jangan heran jika misal banyak orang yang rendah lebih memilih diam dalam sebuah perkumpulan selama itu memang tidak perlu. Kembali memetik kisah dari sosok Diogenes bagaimana ia memilih dipandang rendah daripada dipandang mulia dan dielu-elukan orang-orang, bahkan diogenes lebih menyukai dipanggil dengan sebutan “si anjing”. Dengan demikian ia lebih berani menyatakan pandangannya seperti halnya seekor anjing, selagi itu benar ia tidak takut karena jabatan turun, atau pun takut karena dianggap hina-dina di hadapan orang.

Diogenes memang memiliki sisi keunikan dalam hidupnya, bayangkan coba ia lebih senang dilihat dengan rendah. Ia juga termasuk ke dalam madhab Sinis, yang mana salah satu madhab yang berakar dari ajaran Sokrates. Sebab itulah Diogenes memandang bahwa manusia memiliki rasa puas diri dan mengabaikan berbagai hal yang ada di dunia.

Hal itu tidak jauh berbeda dengan kisah dalam buku cak Rusdi “ Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya” yang menceritakan salah satu judul dari bukunya bahwa mengaku anjing, pemerannya adalah cak Dlahom yang mengaku dirinya sebagai anjing, padahal baginya ada maksud tersendiri yang terkadang orang sekitar tidak sadar akan hal tersebut dan justru cenderung merendahkan daripada menganggapnya mulia.

Sebagai manusia yang arif nan bijak janganlah cepat menghakimi dan mengecap seorang sebaik dan seburuk apapun itu. Sebab semua hanya sebatas titipan. Terlupakan jika diingatkan sesama manusia, itulah manusia lebih suka dengan kebanggaannya, lebih suka dengan apa yang ia punya. Sebetulnya hal-hal sederhana itu, sering dijumpai dalam perjalanan hidup, namun manusia tetap dengan kekhasannya yang mana cenderung merasa benar.

Merasa selalu benar, sulit untuk menerima kekurangan diri dan kebenaran yang dihadirkan orang lain, padahal bagi diogenes belum tentu yang merasa benar ia terlihat istimewa dalam sekitar, justru yang rendah terkadang memiliki sisi benarnya. Semakin manusia merasa dirinya benar, maka semakin melonjak pula rasa benar yang meliputinya hingga menegasikan kebenaran yang dihadirkan orang lain.

Baca Juga:  Belajar Pada Konflik (Islam-Kristen) di Aceh: Bagaimana Hakikat Beragama?

Padahal di dunia ini manusia yang tidak lepas dari pujian dan pamer. Jika rasa benar telah menguasai, maka kekurangan ia dipunya seolah tertutup oleh rasa “sok” benar tadi. Jelas saja, Diogenes memegang prinsip hidupnya yang lebih memilih dianggap hina oleh sekitar tapi menerima dengan segala bentuk kebenaran yang hadir dari segala sisi.

Apapun masalah yang dihadapi, merasa benar bukanlah solusi, dan bukan pula ajang kontestasi agar terlihat sebagai orang besar. Justru terkadang kita dapat memetik pelajaran dari  orang-orang yang merasa rendah dan dihinakan sekitar tapi mengandung sisi-sisi kebenaran. Pesan yang tidak lupa dari sosok Diogenes bahwa apa yang dimiliki di dunia itu hanya sebagai titipan dan tidak akan dibawa mati. Nikmati setiap kisah dan peran yang terjadi, dengan qonaa’h dan Ridho, maka semua akan terlihat istimewa.

Wallahu a’lam bi al-shawab. []

Yusrolana Nor Haqiqi
Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN SUNAN AMPEL SURABAYA, dan santriwati Pesantren Mahasiswa An Nur Surabaya.

Rekomendasi

1 Comment

Tinggalkan Komentar

More in Opini