Filsuf muslim kedua di belahan Barat ini hidup pada masa pemerintahan Daulah Muwahhidun (phillip k. Hitti, History of The Arabs, cetakan kesepuluh, hlm 546). Nama lengkapnya adalah Abu Bakr Muhammad Ibn Abd Al-Malik Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibnu Thufail, pemuka besar pertama pemikiran filsuf Muwahhid dari Spanyol, lahir pada dekade pertama abad ke-6 H/ ke- 12 M di Ouadix, di provinsi Granada.
Ibnu Thufail memulai karirnya sebagai dokter peraktek di Granada. Kemudian, pada tahun 549 H /1154 M, ia menjadi sekretaris pribadi Gubernur Ceuta dan Tangier, putra Abdul Al-Mu’min, penguasa Muwahhid Spayol pertama yang merebut Maroko pada tahun 542 H/1147 M. Hingga akhirnya, Ibn Thufail menduduki jabatan dokter tinggi dan menjadi Hakim di pengadilan, serta Wazir Khalifah Muwahhid Abu Ya’qub Yusuf (558 H /1163 M-580H / 1184 M).
Saat itu, Khalifah berminat pada filsafat dan memberi kebebasan ruang untuk berfilsafat. hal ini menjadikan pemerintahanya sebagai pemuka pemikiran filosofis. Bersama Abu Ya’qub Yusuf, Ibnu Thufail menjadi pengaruh besar, dan dia yang memperkenalkannya dengan Ibnu Rusyd. Selanjutnya, Ibnu Thufail menyarankan kepada Ibn Rusyd agar berupaya mengulas karangan-karangan Aristoteles, sebagaimana yang diharapkan oleh Abu Ya’qub Yusuf.
Walaupun sibuk di pemerintahan, Ibnu Thufail juga memiliki sejumlah karya-karya. Ia menulis beberapa risalah tentang Kedokteran, Astronomi, dan Filsafat. Tetapi hanya satu saja karya tulis yang dapat di jumpai, Risalah Hayy Ibn Yaqzan fi Arsrar Al-Hikmah al-Masyriqiyyah, yang dikenal dengan Risalah Hayy Ibn Yaqzan. Karya tulis ini di ubah dalam bentuk kisah (Roman) yang mencerminkan pemikiran Ibn Thufail dalam lapangan filsafat.
Filsafat Ibn Thufail
Secara folosofis, karya Ibnu Thufail, Hayy Ibnu Yaqzan merupakan suatu pemaparan yang hebat tentang teori Ibn Thufail mengenai pengetahuan, yang berupaya menyeralaskan Aristoteles dengan Neoplatonis di satu pihak, dan Al-Ghazali dan Ibnu Bajjah dipihak lain. Al-Ghazali sangat kritis dan dogmatis terhadap rasionalismenya Aristoteles, tetapi Ibnu Bajjah adalah pengikut sejati Aristoteles. Sementara itu, Ibnu Thufail, mengikuti jalan tengah menjembatani jurang pemisah.
Ibnu Thufail sendiri juga mengkritik Ibnu Bajjah sebagai orang yang berfikir singkat, dan tidak berpandangan jauh. Baginya, Ibnu Bajjah hanya membangun fikiran filsafatnya atas kaidah-kaidah akal dan logika, seraya meremehkan dasar pengalaman lain yang bersifat kasyf rohani. Ia juga mengkritik Al-Farabi sebagai filsof yang ragu-ragu, dan tidak memberikan kepastian dalam masalah filsafat. Demikian juga Ibnu Sina, sebagai seorang yang menulis kitab as-syifa’, dimana dia mengatakan kitab itu ditulis berdasarkan mazhab Aristoteles, sedangkan orang yang membaca kitab itu tidak menemukan dalam dalam Aristoteles, juga mendapat kritik pedas dari Ibnu Thufail.
Hakikatnya, inti pemikiran Ibnu Thufail termuat dalam karyanya, yaitu Hayy Ibn Yaqzan. Dalam muqaddimahnya, Ibnu Thufail menjelaskan, bahwa tujuan penulisan buku itu untuk menyaksikan kebenaran (al-haq) menurut cara yang di tempuh oleh para Ahl Al-zauq dan musyahadah (para ahli tasawuf) yang telah mencapai tingkatan kewalian. Tak mudah untuk menjelaskan buku itu, isinya yang rumit padat dan penuh tamtsil. Tetapi hanya bisa di kemukakan dengan lambang Ibnu Thufail, yang menyajikan hakikat Hayy Ibn Yaqzan untuk membangkitkan minat semangat dan anjuran agar manusia bersedia menempuh jalan itu.
Roman Hayy Ibn Yaqzan adalah, cara Ibn Thufail menjelaskan tentang Al-Hikmah al-Masyriqiyah (pengalaman mistik) sebagai kebenaran dan kebahagiaan tertinggi yang bisa dicapai melalui refleksi filosofis murni atau dengan interpretasi metaforis atas simbol-simbol keagamaaan. Menurut Ibn Thufail, filsafat adalah suluk untuk mencapai kebahagiaan tertinggi. Untuk mencapainya, seseorang harus menyepi dari kehidupan yang praktis sehari. Mereka harus mengasingkan diri dari hiruk- pikuk kehidupan sosial, karena akan mencemari fikirannya.
Untuk mengetahui garis besar kandungan filsafatnya, kita bisa melihat karangka dasarnya, yang mengisahkan dua jenis kehidupan manusia di dua pulau. Pulau pertama berisi kehidupan individu manusia. Sedangkan pulau kedua berisi kehidupan masyarakat manusia. Dua jenis kehidupan tersebut dicoba dipertemukan, tapi tidak berhasil, hanya sebatas saling mengerti. Masing-masing kehidupan itu terkait dengan proses, alat, tingkat pengetahuan (makrifat), dan rumusan kebahagiaan yang dapat di capai.
Ada dua versi tentang kehidupan Hayy Ibn Yaqzan. Versi pertama, ia di lahirkan oleh saudari raja yang di kawini Yaqzan secara rahasia. Karena Ibunya Hayy takut perkawinannya di ketahui raja, maka setelah lahir, Hayy dimasukkan kedalam peti lalu di hanyutkan ke laut. Kemudian Hayy terdampar pada suatu pulau yang tidak di huni oleh Manusia, dikepulauan Hindia yang di lewati khatulistiwa, yaitu Pulau Waq-waq.
Versi kedua, Hayy adalah anak alam. Satu kisah menyebutkan, Hayy di buahkan dari suatu perpohonan yang tidak disebutkan jenisnya. Kisah lain menceritakan bahwa, Hayy berasal dari tanah yang merah dari perut bumi, kemudian berproses menjadi seorang bayi. Hayy bayi dipelihara seekor Kijang betina yang kematian anak, sampai Hayy dapat mengenal lingkungan sekitarnya, lalu Allah mengaruniai kecerdasan yang luar biasa. Karnanya, Ia dapat menemukan api, memuat berbagai alat, perisai dan senjata. Bahkan, Ia sanggup mengenal hakikat tertinggi di alam wujud dan di alam metafisik,
Tak hanya itu, Ia juga dapat mengenal semuanya melalui jalan filsafat. Jalan itulah yang mendorongnya. Berusaha melalui cahaya yang filosofis untuk mencapai kesatuan dengan tuhan. Bersatu dan berhubungan dengan tuhan adalah pengetahuan sempurna dan kebahagiaan tertinggi yang abadi. Untuk mencapai tujuannya, Hayy masuk kedalam Gua, berpuasa terus-menerus selama empat puluh hari, dan juga berusaha sekuat-kuatnya untuk memisahkan akal fikirannya dari dunia luar dan dari badannya sendiri dengan jalan merenung memikirkan dzat Tuhan agar dapat berhubungan dengannya.
Tujuh Fase Kehidupan Hayy Ibnu Yaqzan
Fase pertama: Hayy dipelihara seekor Kijang, hingga ia dapat belajar tidak tunduk, dan bahasa hewan sekelilingnya. Ia mulai menutupi tubuhnya membuat tempat berteduh dan mempersenjatai dirinya. Bahkan ia mulai menyimpan bahan makanan untuk persiapan.
Fase kedua: Kijang yang memeliharanya mati. Hayy berusaha untuk mengetahui penyebab kematian Kijang itu, dan kematian binatang-binatang lainnya. Hasil penyelidikannya menyimpulklan adanya jiwa yang merupakan daya sentral dan bersifat immateri. Jiwa tersebut berfungsi sebagai penggerak jasad binatang-binatang. Hayy menemukan hal itu setelah melakukan pembedahan teradap mayat-mayat binatang. Pada tahap ini pula ia mengetahui fungsi setiap anggota badan dan daya yang menggerakkanya.
Fase ketiga: Hayy mulai mengetahui api, kagunaaan dan sumbernya. Dari pemikirannya tentang itu, ia sampai kepada kesimpulan tentang adanya kausalitas yang menyebabkan adanya tertib alam dan akal budi.
Fase keempat: Hayy mulai mengetahui kesatuan dan keberagaman pada jasad dan jiwa yang telah di amatinya. Pada tahap ini, ia telah sampai kepada generalisasi dan klasifikasi berdasarkan kesatuan dan keberagaman itu.
Fase kelima: Hayy melihat keatas dan memperhatikan benda-benda langit. Dari pengamatannya itu ia mengetahui astronomi. Namun yang lebih penting, dengan melihat ketertiban dan keteraturan serta pergerakan dan perubahan, ia memikirkan kesamaan dengan bumi atau makhluk bumi dan menyimpulkan kepastian adanya penggerak tertentu yang sama untuk semuanya.
Fase keenam: Hayy menegaskan bahwa, perbedaan perjalanan antara jasad yang materi dengan jiwa yang immateri, di samping menemukan kepastian adanya penggerak yang disebut wajib al-wujud. Menurutnya, asal alam materi itu tidak memungkinkan materi lagi. Karena jika demikian, tentulah ada rangkaian materi yang tidak pernah berunjung (tasalsul). Jadi asal pertama ini haruslah immateri dan wajib al-wujud. Jasad itu berbeda perjalanannya dengan jiwa. Jiwa yang immateri itulah yang dapat mengetahui wajib al-wujud, dan selalu tunduk kepadanya, dengan begitu jiwa tersebut akan abadi. Sebaliknya, ada yang tidak mengenal dan tunduk kepadanya akan hancur.
Fase ketujuh: Hayy membuat kesimpulan bahwa Tuhan itu pasti baik dan bijaksana, sempurna, penuh rahmat, dan menjadi tujuan setiap Manusia. Karena itu, puncak kebahagiaan menurutnya hanya dapat dicapai bila seseorang selalu berhubungan dengan jiwanya, juga dengan tuhan tanpa henti. Selalu merenungkan dan memikirkannya serta melepaskan diri dari dunia materi. Dengan perenungan yang demikian, seseorang akan sampai kepada obyek pengetahuan yang paling tinggi, yaitu wajib al-wujud. Dan itulah puncak yang senantiasa didambakan oleh setiap Manusia (Faruq Sa’ad, (ed), Hayy Ibn Yaqzan (beirut: dar al-faq al-jadidah, 1978), hlm: 6-9).
Akhirnya, Pada usia lima puluh tahun, ketujuh tahap tersebut dapat di lalui dengan tuntas, sehingga Hayy sampai ke puncak tafrid, yakni kondisi jiwa yang tenang dan tidak bisa di ungkapkan dengan kata-kata, fana’ bi al-Allah. Seperti yang dinyatakan oleh Ibn Thufail sendiri bahwa, kisah Hayy Ibn Yaqzan yang ia tulis adalah untuk memenuhi permintaan temannya yang menginginkan penjelasan tentang rahasia Al-Hikmah al-Masyriqiyah (filsafat Timur). Al-Hikmah al-Masyriqiyah ini pada dirinya sendiri tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata, karena ia merupakan suatu tingkatan di atas tingkatan bahasa, dan suatu alam di atas alam perumpamaan dan kata-kata. [HW]