Sayyidina Umar Ibn al-Khaththab radhiyallahu anhu dawuh :
لاَعِبْ اِبْنَكَ سَبْعاً، وَأَدِّبْهُ سَبْعًاً، وَآخِهِ سَبْعاً، ثُمَّ أَلْقِ حَبْلَهُ عَلَى غَارِبِهِ
“Ajaklah anakmu bermain selama tujuh tahun, didiklah selama tujuh tahun, dan jadikanlah dia layaknya saudara/sahabatmu selama tujuh tahun, kemudian lemparkanlah tali kekang anakmu pada punggungnya (bebaskan ia).”
7 tahun pertama: DOLANAN: fase bermain. Usia 0-7 tahun. Ini fase pertumbuhan awal. Ortu sering mengajak anak bermain. Permainan edukatif, permainan yang membuat tumbuh kembang fisik dan perasaannya maksimal. Ini juga fase pengarahan dan pengenalan. Di tahap ini, tidak perlu mendidiknya secara keras. Juga belum saatnya pakai penalaran.
7 tahun kedua (usia 8-14 tahun): DIDIK. Mendidiknya dengan dasar-dasar agama, akhlak, penguatan karakter, penalaran/logika dasar. Rasulullah memerintahkan usia ini untuk dididik shalat.
Kudu sabar mendidik dan mengajarkan shalat kepada buah hati. Pelan-pelan. Tahap awal perkenalan gerakan, kemudian diajari wudlu dan deteksi najis, lantas dikenalkan bacaan disertai syarat dan rukun shalat.
عَلِّمُوا الصَّبِيَّ الصَّلَاةَ لِسَبْع سِنِينَ
“Ajarkan anak-anak shalat sedangkan dia berumur tujuh tahun.”
Meminjam istilah Gus Baha’, jangan katakan kepada anakmu, pergilah shalat, kalau tidak nanti masuk neraka. Melainkan katakan kepadanya, ayo kita shalat agar kita masuk surga bersama-sama.
Di fase ini, anak bukan saja mendengar, melainkan melihat apa yang dilakukan orang tua maupun guru. Apa yang konsisten dilakukan orang tua, juga akan ditiru anak. Anak adalah peniru ulung. Anak adalah miniatur jiwa ayah ibunya.
Pada usia ini, orang tua kudu berpikir, bukan tentang apa yang kita tinggalkan untuk anak-anak, melainkan apa yang kamu tinggalkan DALAM DIRI anak-anak kita.
Usia ini tepat jika ada diajari tanggungjawab. Diberi amanah/tugas kerumahan A, B, C dan D. Agar dia mulai mengenali tanggungjawab atas tugasnya.
Luqman al-Hakim, dalam QS Luqman 13-18, mendidik dasar-dasar ketauhidan, mentalitas dan karakteristik buah hatinya pada fase usia ini. Di sini peranan penting ayah dalam memahat jiwa buah hatinya.
Fase dimana mulai diberlakukan tahapan reward and punishment. Pendekatan Attarghib wat Tarhib (motivasi/apresiasi dan intimidasi). Orang tua mulai tegas, bukan keras.
7 tahun ketiga (usia 15-21). Fase DULUR. Jadikan dia layaknya saudara/sahabat. Orang tua menjadi sahabat terbaik bagi anak. Sebab fase ini ditandai dengan pubertas, jiwa petualang/pemberontak, sisi nalar/kritisisme yang semakin kuat. Orang tua bisa menjadi teman curhat anak, menjadi pelabuhan jiwa bagi anak-anaknya, serta mendukung serta mengarahkan bakat/minatnya. Rasulullah menempa potensi para sahabat remaja beliau pada era usia ini. Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Amr, Anas bin Malik, Zaid bin Tsabit, dll, dimatangkan jiwanya di usia remaja oleh Rasulullah pada usia ini.
Bisa kita cek di berbagai hadits, jika Rasulullah menghadapi para sahabat cilik, sifat dawuh beliau instruktif. Kalau menghadapi sahabat remaja/pemuda, sifatnya dialogis dan memancing nalar lawan bicaranya. Komunikasi dua arah yang apresiatif. Yang berujung pada “penemuan jawaban” dari diri sahabat beliau.
7 tahun keempat (usia 21 ke atas). DEWASA. Beri dia kemandirian karena sudah dewasa. Jangan terlalu dikekang karena anak sudah bertanggungjawab atas dirinya dan masa depannya. Ibarat “tali kekang”, ortu bisa meluweskan talinya, bisa juga mengencangkannya untuk menghela apabila anak tidak segera mandiri.
Hadiah terindah dari orang tua ketika anak sudah mencapai usia ini adalah dua sayap: kemandirian dan tanggungjawab.
****
Imam Malik bin Anas pernah mengucapkan kata-kata inspiratif:
لَنْ يُصْلِحَ آخِرَ هَذِهِ الْأُمَّةِ إلَّا مَا أَصْلَحَ أَوَّلَهَا
“Generasi akhir umat ini tidak akan pernah jaya kecuali dengan apa yang membuat jaya generasi awalnya.”