Press ESC to close

Zaid bin Tsabit: Mutarjim Rasulullah yang Ahli Ilmu dan Ahli Al Qur’an

Pada tahun ke-2 Hijriyah kota Madinah semakin sesak dipenuhi oleh manusia yang bersiap-siap untuk menyambut Perang Badar. Rasulullah melakukan pemeriksaan akhir pada pasukan pertama yg akan berangkat di bawah komandonya sendiri. Terlihat di sana, ada seorang anak kecil yang belum genap berusia 12 tahun. 

Di tangannya terdapat sebilah pedang yg sama panjangnya dengan tubuhnya. Ia mendekat ke arah Rasulullah lalu berkata, “Aku akan menjadi pelindungmu, ya Rasulullah. Izinkanlah aku turut serta bersamamu dan berperang melawan musuh-musuh Allah di bawah panjimu.”

Lalu Rasulullah melihat anak ini dengan perasaan senang dan kagum, kemudian beliau menepuk pundak anak ini dengan lembut dan penuh perasaan sayang. Beliau menghibur anak ini, kemudian menyuruhnya pulang karena ia masih berusia dini.

Pulanglah anak kecil tadi dengan menyeret pedangnya ke tanah dengan perasaan kesal dan sedih, sebab ia dilarang untuk menemani Rasulullah dalam peperangan.

Di belakang langkahnya juga turut pulang ibunya yg bernama An Nawar binti Malik yg juga tidak kalah bersedih. Ibunya telah berharap bahwa matanya akan berbinar-binar saat melihat anaknya berjalan bersama rombongan pria dewasa untuk berjihad di bawah komando Rasulullah.

Saat anak Anshar ini tidak berhasil mendekatkan diri kepada Rasulullah dalam bidang ini (jihad perang) karena usianya yg masih kecil, tapi kecerdasannya yg tidak berhubungan dengan umur membuat dirinya dapat berhubungan dengan Nabi. Bidang itu adalah ilmu pengetahuan dan hafalan.

Lalu si anak tadi menceritakan ide ini kepada ibunya. Maka senang dan gembiralah ibunya dan ia semangat untuk mewujudkan ide anaknya. An-Nawar menceritakan keinginan anaknya kepada para pria dari kaumnya. 

Maka beberapa pria tadi berangkat untuk menemui Rasulullah dan berkata kepada beliau, “Ya Nabi Allah, ini adalah seorang dari anak kami yg bernama Zaid bin Tsabit yg mampu menghafal 17 surah dari kitab Allah. Ia membacanya dengan benar persis seperti yang diturunkan kepada hatimu. Lebih dari itu ia adalah anak yang cerdas yang pandai menulis dan membaca. Ia ingin sekali dengan potensi yg ada dapat mendekatkan diri kepadamu dan mendampingi jika engkau berkenan silakan dengarkan penuturannya.

Lalu Rasulullah mendengarkan dari Zaid bin Tsabit beberapa ayat Al Qur'an yang ia hafalkan. Rupanya anak ini mampu membacanya dengan begitu baik, dan pelafalannya pun sempurna. Bacaannya begitu memberikan ilustrasi akan apa yang sedang ia baca. 

Setiap tanda "waqaf" di mana ia berhenti, menandakan bahwa ia amat mengerti akan hal yang dibacanya, maka gembiralah hati Rasulullah karena mendapati bahwa anak ini memiliki potensi yang lebih dari apa yang mereka katakan. Hal yang membuat Rasul lebih gembira adalah karena anak ini amat pandai menulis.

 

Maka Rasulullah melihat ke arah Zaid dan bersabda : “Wahai Zaid, pelajarilah untukku tulisan Bangsa Yahudi, sebab aku tidak mempercayai mereka atas apa yang aku katakan.

Maka Zaid menjawab, “Baik, ya Rasulullah!.”

Maka mulailah Zaid mempelajari bahasa Ibrani sehingga ia menguasai bahasa tersebut dalam waktu yang singkat. Kemudian ia menuliskan bahasa tersebut kepada Rasulullah jika ia berkeinginan untuk menulis surat untuk bangsa Yahudi. Dan Zaid akan membacakan kepada Rasul jika mereka mengirimkan surat kepada beliau.

Ia juga mempelajari bahasa Suryani (bahasa suriah ortodok) atas perintah Rasul, sebagaimana ia mempelajari bahasa Ibrani. "Maka sejak saat itu pemuda yang bernama Zaid bin Tsabit menjadi penerjemah Rasulullah".

Begitu Rasulullah merasa percaya akan kecerdasan dan sifat amanah Zaid, ketelitian dan pemahamannya, maka Rasulullah mempercayakan dia untuk menuliskan risalah langit yang turun ke bumi.

Zaid bin Tsabit menerima langsung ayat - ayat Al Qur'an dari Rasulullah waktu demi waktu, sehingga ia tumbuh dewasa bersama ayat - ayat Al Qu'ran. Ia menerima al Quran yang baru saja turun langsung dari lisan Rasulullah yg berkenaan dengan asbabun nuzul tertentu". Hal itu membuat jiwa Zaid semakin terang dengan sinar cahaya al Quran, dan menjadikan akal Zaid bercahaya dengan sinar syariatnya.

Pemuda yang beruntung ini semakin mendalamkan kemampuannya dalam bidang Al Qur'an. Ia menjadi sumber referensi pertama dalam bidang Al Qur'an bagi umat Islam setelah wafatnya Rasulullah. Ia menjadi "salah satu tokoh" (di samping sahabat yg lain) yg berhasil menyatukan mushaf-mushaf Al Qur'an pada masa Utsman bin Affan (dijilid seperti kitab).

Salah satu keistimewaan Al Qur'an yang dimiliki oleh Zaid bin Tsabit adalah selalu menerangi jalan kebenaran baginya pada beberapa kondisi di mana orang - orang yang pintar pun sering merasa bingung. Di hari Saqifah (semacam pendopo), kaum Muslimin bersilang pendapat tentang orang yang tepat untuk menggantikan Rasulullah.

Kaum Muhajirin berkata : “Di kelompok kamilah seharusnya terdapat khalifah Rasulullah, sebab kamilah yg lebih pantas.”

Sebagian orang Anshar berkata, “Malah khilafah tersebut sepantasnya berasal dari kami.”

Ada juga yang mengatakan, “Malah khilafah itu dapat berasal dari kami dan kalian secara bersama-sama. Sebab Rasulullah jika hendak menyuruh seseorang dari kalian untuk mengerjakan sesuatu, beliau pasti menyuruh salah seorang dari kami untuk sama - sama mengerjakannya.”

Hampir saja terjadi fitnah yang amat besar. Di saat itulah kalimat tegas dan cerdas yang muncul dari petunjuk Al Qur'an amat dibutuhkan sehingga dapat membuat tentang fitnah yang akan bergejolak dan memberikan cahaya bagi orang-orang  bingung yang mencari jalan kebenaran.

Maka meluncurlah kalimat ini dari mulut Zaid bin Tsabit al Anshari tatkala ia melihat ke arah kaumnya, lalu berkata :“Wahai, para kaum Anshar, Rasulullah berasal dari kaum Muhajirin, maka orang yang menjadi khalifah beliau adalah seorang dari suku Muhajirin yang sama seperti beliau dan kita dulunya adalah Anshar (Penolong) Rasulullah, maka sebaiknya kita tetap menjadi Ansar (Penolong) bagi Khalifah setelahnya dan pembantunya dalam kebenaran.

Kemudian Zaid bin Tsabit mengulurkan tangannya kepada Abu Bakar ash-Shiddiq dan berkata : "Inilah Khilafah kalian baiatlah dia oleh kalian!”.

Para Khalifah (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali) sering meminta pendapatnya dalam masalah-masalah yang pelik, dan orang-orang Muslimin juga kerap meminta fatwa kepadanya dalam berbagai permasalahan.

Khalifah Umar bin Khattab pernah berkhotbah di hadapan kaum Muslimin pada hari Al Jabiyah: 

“Wahai manusia, siapa yg ingin bertanya tentang Al Quran, hendaknya ia mendatangi Zaid bin Tsabit. Siapa yang hendak menanyakan tentang masalah fiqih silahkan datang kepada Mu’adz bin Jabal. Siapa yg hendak menanyakan tentang harta, maka datanglah kepadaku. Sebab Allah telah menjadikan aku wali (orang yg mengurus) harta tersebut, dan aku juga yg berhak untuk membagikannya.”

Para penuntut ilmu dari kalangan sahabat dan tabi’in mengetahui dengan amat baik kedudukan Zaid bin Tsabit yang hingga membuat mereka memuliakan dirinya karena ilmu yang ia kuasai dalam dadanya.

 Seorang yang dikenal dengan lautan ilmu yang bernama Ibnu bin Abbas mendapati Zaid bin Tsabit yg hendak menaiki kendaraannya, Ibnu Abbas berdiri di hadapan Zaid lalu memegangi hewan kendaraannya dan ia sendiri yang memegang tali kekang hewan tunggangan tersebut seraya menariknya.

Lalu Zaid bin Tsabit berkata kepadanya : "Tidak usah engkau lakukan itu, wahai sepupu Rasulullah!”.

Kemudian Ibnu Abbas menyahut: “Beginilah kami diperintahkan untuk berlaku kepada para ulama kami!”

Lalu Zaid berkata kepadanya: “Perlihatkan tanganmu kepadaku!”.

Maka Ibnu Abbas menjulurkan tangannya ke arah Zaid. 

Lalu menunduklah Zaid ke arah tangan tersebut, dan ia menciumnya sambil berkata: “Beginilah kami diperintahkan untuk berlaku kepada Ahli Bait Nabi kami!”

Begitu Zaid bin Tsabit telah kembali ke pangkuan Tuhannya, maka kaum Muslimin menangisi ilmu karena kematiannya yang turut dikuburkan bersama jasadnya. Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu wafat pada tahun 45 H di masa pemerintahan Muawiyah bin Abu Sufyan.

Di hari wafatnya Zaid, Abu Hurairah berkata: 

"Pada hari ini telah wafat "tintanya umat ini". Semoga Allah menjadikan Ibnu Abbas sebagai penggantinya".

Doa Abu Hurairah sangat relevan ketika dia mendengar Ibnu Mas'ud, berkata bahwa Rasulullah mendoakan Ibnu Abbas sambil mengusap kepalanya :

اللهم فقهه في الدين ، وعلمه التأويل

Allahumma Faqqihu fid diin wa 'allimhut ta'wiil

"Ya Allah, Pahamkanlah dia (Ibnu Abbas) dengan agama dan ajarkan kepadanya dalam urusan takwil.

Doa tersebut diijabah oleh Allah hingga akhirnya sahabat Ibnu Abbas ra pada zamannya dikenal sebagai ahli takwil yang paling paham dalam urusan kitab Allah sepeninggal Zaid bin Tsabit.

والله اعلم

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

@PesantrenID on Instagram