“Jika dahulu para Kiai berjihad mengorbankan darah dan air mata melawan penjajah dan mempertahankan kemerdekaan menggunakan bambu runcing, maka sudah saatnya sekarang, santri berjihad meramaikan media sosial.” (hal.120)
Petikan dari tulisan Abdullah Hamid dalam buku yang berjudul ‘Literasi Digital Santri Milenial.’ Memasuki era disrupsi yang identik dengan masuknya budaya baru, tantangan demi tantangan harus dihadapi dengan ilmu dan skil yang mumpuni. Maka bangsa Indonesia harus memiliki basis kemampuan dan pengetahuan. Tujuannya adalah siap untuk berkompetisi dengan memiliki kompetensi.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia menjadi lembaga pendidikan tempat pembelajaran agama Islam dan keilmuan lainnya dengan berbentuk asrama, dimana santri melakukan semua aktivitas di dalamnya (hal.9).
Eksistensi dan kontribusi pesantren bagi bangsa ini hadir sebagai wadah tempat berproses menjadi pribadi yang berakhlak luhur sebagaimana ajaran Islam. Oleh karena itu Pesantren sudah semestinya eksis dengan tiga peranan penting, yaitu peranan instrumental, keagamaan, mobilisasi masyarakat, dan pembinaan mental dan keterampilan (hal.18).
Buku ini menyajikan serangkaian pembahasan tentang pesantren di era saat ini. Dimulai di bagian pertama mengenai pengenalan ‘Santri’ dan definisi karakteristiknya. Secara definitif dari berbagai pandangan bahwa santri merupakan pribadi yang mendalami ilmu agama Islam di lembaga pesantren (mencakup yang mukim dan yang tinggal di pondok). Biasanya santri identik dengan kesederhanaan dan memiliki akhlak yang luhur dengan sifat-sifat seperti teguh dalam aqidah, toleransi dalam hal syariah, memiliki sikap menerima terhadap perbedaan pandangan, dan menjaga moralitas.
Bagian kedua, membahas tentang ‘Santri Milenial.’ Usaha menghadapi globalisasi yang cenderung menuntut pesantren ikut merespons hal tersebut, lalu didirikanlah ‘Pesantren Modern.’ Membentuk santri milenial harus dibarengi dengan sarana yang memadai, dengan menyediakan beberapa fasilitas, seperti pembaharuan kurikulum dan pendidikan alternatif.
Bagian ketiga menyajikan pembahasan ‘Literasi Digital.’ Pada bab ini dijelaskan juga terkait posisi dan strategi pesantren dalam menyiapkan beberapa langkah menghadapi era digitalisasi. Disajikan pula panduan khusus literasi digital untuk santri, sebelum berdakwah di media sosial.
Bagian keempat ‘Tradisi Pesantren.’ Dengan melihat sejarah pesantren dan tradisinya dari generasi ke generasi, mencakup tradisi baca tulis, tradisi bahtsul masail, dan tradisi ekonomi pesantren.
Keseluruhan pembahasan tersebut menjadi penting dikonsumsi bagi generasi milenial saat ini, khususnya kalangan santri. Menghadapi era saat ini butuh wawasan dan mental yang sehat, jika tidak maka taruhannya adalah mental diri menjadi lemah oleh serangan netizen, khususnya.
Peran Santri di Era Digital
Bagaimana peran santri di era disrupsi? Penulis memberi pandangan menyeluruh bahwa hal utama yang perlu dilakukan ialah melestarikan tradisi membaca dan menulis. Sebagaimana peran santri yakni belajar. Jika dahulu santri wajib memiliki kemampuan baca tulis kitab kuning, berbeda dengan saat ini. Santri harus mampu berdakwah, lebih-lebih di media sosial. Keilmuan santri dibutuhkan sebagai penyampai keilmuan dari keilmuan yang didapatkan di pesantren.
Begitu juga dengan pesantren, sebagai wadah tempat santri berproses. Merespons tantangan zaman era saat ini, kini pesantren bertransformasi menjadi pesantren modern. Keilmuan yang diajarkan kepada santri tidak lagi hanya terbatas pada pengajaran kitab kuning atau kitab klasik. Ilmu-ilmu sains, IT, dan kebahasaan (ilmu umum) mulai diajarkan supaya santri memiliki kemampuan yang beragam. Tujuannya yaitu mencetak generasi santri intelektual yang bermoral.
Mengapa santri harus eksis? Di era disrupsi ini, perkembangan informasi dan teknologi semakin pesat, informasi yang dikonsumsi juga beragam ada yang valid ada pula yang hoax. Dengan berbekal keilmuan dan memiliki sanad keilmuan yang tersambung sampai Nabi Muhammad SAW., secara otomatis keilmuan santri otoritatif (hal.54).
Santri milenial yang identik dengan beberapa ciri sikap dan sifat, salah satunya cenderung menyukai kebebasan (tidak mau diatur), terbuka terhadap perbedaan perspektif, senang belajar, suka berselancar di media sosial, kritis, penuh percaya diri, suka berkolaborasi tanpa mementingkan latar belakang perbedaan, dan tergantung pada internet (hal.50).
Penulis memandang ciri-ciri tersebut secara mayoritas atau sebagian besar dipraktikkan oleh generasi muda pada umumnya. Peran pesantren tampak jelas merespons, memberi solusi dan memberikan langkah preventif. Pembentukan karakter dengan aturan budaya yang tersistem rapi yang sengaja dibuat untuk mewujudkan kebiasaan perilaku luhur bagi santri, mulai dari ia berbicara, berjalan, dan seluruh aktivitas dengan tata tertib yang lengkap disertai sanksi yang ketat.
Kesengajaan ini menurut penulis dapat berimplikasi baik terutama melestarikan budaya dan tradisi di Pesantren. Sudah saatnya santri ikut berkontribusi menyumbangkan keilmuan sebagai jalan dakwah menyampaikan kebenaran dengan merujuk pada sumber yang otentik. Dakwah santri kini bisa melalui tulisan kemudian dikirim ke berbagai media, baik lokal maupun non lokal. Pesantren pada dasarnya memiliki tiga fungsi utama, yaitu pembelajaran,dakwah dan pemberdayaan.
Pemberdayaan santri dengan membangun sistem dan menciptakan kultur yang positif, misal kultur literasi Pesantren. Dalam cakupannya tidak berbatas hanya baca dan tulis. Literasi digital saat ini menjadi penting untuk santri sebagai bekal berkiprah di era disrupsi ini. Dengan santri ikut andil meramaikan dunia media sosial, menyampaikan kebenaran sesuai basis dan rujukan keilmuan maka informasi hoax dapat terfilter.
Urgensi Literasi Digital di Pesantren
Era disrupsi atau lebih dikenal dengan era 4.0 yang identik dengan modernisasi menuntut kita tidak punya pilihan untuk harus ikut terlibat. Dampaknya jika diri tidak memiliki kapasitas akan tenggelam oleh zaman, bahkan sebelum dirinya wafat. Hal terpenting adalah terus belajar membaca keadaan dan ikut andil atau eksis bagaimanapun lingkungan mulai berkemban.
Buku ini ibarat buku penggerak pesantren-pesantren yang masih tradisional untuk terus berproses ke arah lebih baik dan peka terhadap perkembangan zaman. Menjadi santri bukan tidak mungkin tidak mendapat informasi perkembangan saat ini. Sudah semestinya pesantren bangun dan menjadi wadah santri sebagai lembaga tempat mereka berproses.
Penerapan tentang hidup yang sederhana memang perlu, sebagai alat pengontrol santri. Namun jika membatasinya dalam belajar ilmu sains dengan tujuan mengetahui perkembangan dunia, mengapa tidak? Sudah saatnya pesantren mencetak generasi santri milenial yang memiliki sifat luhur sesuai syariat islam.
Literasi digital di Pesantren harusnya disosialisasikan kepada santri, pentingnya berselancar dan menguasai berbagai keilmuan. Bukankah hal ini sudah dipraktikkan oleh Ulama terdahulu, seperti Ibnu Sina, Al-Farabi, dan lainnya. Jika para Ulama terdahulu sudah memiliki penguasaan terhadap ilmu sains lalu atas dasar apa santri tidak mengikuti jejak mereka?
Buku ini menjadi jawaban bagi kita semua sebagai bekal seraya mengemban amanah sebagai ‘Generasi Milenial’ dimana peran dan beban generasi saat ini tidak mudah jika tidak dibarengi dengan motivasi dan keilmuan yang mumpuni.
Buku ini tepat untuk dibaca oleh para santri, membuka wawasan keilmuan dan supaya melek digital. Hal yang disayangkan yakni desain cover yang terlihat ramai. Namun hal itu tidak mengurangi kandungan bacaan yang cukup segar dan jarang disinggung dalam kajian pesantren secara umum. []
[…] melalui cerita-cerita yang disampaikan. Sekitar sepuluh tahun kebelakang tepatnya pada generasi millenial ruang publik ini diwujudkan dengan bentuk warung-warung kopi, angkringan dan café yang bisa […]