Seiring dengan perkembangan zaman yang kerap melahirkan banyak fenomena baru tentu menjadi tantangan bagi kita sebagai umat Islam. Seperti saat ini di masa pandemi, umat Islam dalam kebingungan saat menjalani rutinitas ibadahnya.

Hari-hari ini tentu kita sering di suguhkan dengan edaran-edaran fatwa baik di medsos, masjid-masjid, majelis talim atau tempat lainnya, namun sayangnya tidak banyak umat Islam yang mengerti bagaimana sebenarnya sebuah fatwa itu di proses sehingga menghasilkan sebuah solusi bagi keresahan umat.

Fatwa menurut bahasa berarti jawaban mengenai suatu kejadian atau peristiwa (memberikan jawaban yang tegas terhadap segala peristiwa yang terjadi dalam masyarakat).” Menurut Zamakhysri dalam bukunya al-Kasyaf pengertian fatwa adalah suatu jalan yang lempeng atau lurus.” Dalam penelusuran kebahasaan dan praktiknya, fatwa pada dasarnya telah diungkap dalam Alquran dengan dua istilah yang menunjukkan keberadaannya, yaitu yas alunaka (mereka bertanya kepada kamu) dan yastaftunaka (mereka meminta pendapatmu). Dalam beberapa kasus, kata jadian lainnya dari akar kata aftina (berikan kepada kami atau berikan pemecahan kepada kami tentang masalah ini dan itu). Istilah yas alunaka atau variasinya disebut dalam Alquran tidak kurang dari 126 kali, dalam surat surat Makiyah dan Madaniyah.

Satu di antara sekian banyak metode dalam menghasilkan sebuah fatwa adalah dengan melakukan sebuah ijtihad, yang berarti mengerahkan dan mencurahkan segala kemampuan,

Ad-Duwalibi, sebagaimana dikatakan oleh Wahbah Zuhaili membagi macam ijtihad kepada tiga macam (sebagian diantaranya juga di tunjuk oleh Al-Syātibi di dalam al-Muwāfaqot-nya) yaitu: al-ijtihad al-bayani, al-ijtihad al-qiyasi, dan al-ijtihad al-Istislahi.

Mari kita simak satu persatu, al-ijtihad al-bayani, Metode penalaran bayani adalah metode ijtihad yang digunakan untuuk menjelaskan hukum-hukum syarak yang terkandung dalam nas namun sifatnya masih zhonni baik dari segi penetapan maupun dari segi penunjukannya. Ijtihad ini hanya memberikan penjelasan hukum yang pasti dari dalil nas lebih jelasnya pola ijtihad bayani adalah upaya penemuan hukum melalui kajian kebahasaan (semantik). Konsentrasi metode ini lebih berkutat pada sekitar penggalian pengertian makna teks: kapan suatu lafaz diartikan secara majaz, bagaimana memilih salah satu arti dari lafaz musytarak (ambigu), mana ayat yang umum dan mana pula ayat yang khusus, kapan suatu perintah dianggap wajib dan kapan pula sunnah, kapan larangan itu haram dan kapan pula makruh dan seterusnya.

Baca Juga:  Fatwa Ulama Al Azhar Menyikapi Corona

Pola yang kedua ijtihad al-qiyasi metode ijtihad ini di sebut juga dengan ta’lili (kausasi). Pola ini berusaha meluaskan proses berlakunya hukum dari kasus nash ke kasus cabang yang memiliki persamaan ‘illah (Keadaan atau sifat yang menjadi tambatan hukum) atau suatu pola yang dimaksukkan semua penalaran yang menjadikan ‘illah sebagai titik tolaknya. Dalam sebuah hadis misalnya ketika terjadi hujan deras Ibnu ‘Abbas pernah meminta kepada juru azan untuk mengganti kalimat hayya ‘ala al-shalat (mari menunaikan salat) menjadi shallu fi rihalikum (salatlah di rumah-rumah kalian). Orang-orang pada saat itu tidak mau menerima permintaan Ibnu ‘Abbas. Lalu Ibnu ‘Abbas, menyatakan kepada mereka, “Jangan kaget, orang yang lebih baik dari saya, yaitu Nabi Muhammad SAW telah melakukan hal ini”. Salat Jumat adalah wajib, tetapi aku khawatir jika memaksakan kalian keluar rumah, sehingga kalian berjalan di tengah jalanan yang becek dan berlumpur, menyebabkan kalian tergelincir. Lantas bagaimana jika saat ini ada kejadian yang serupa, Jika hujan saja bisa menjadikan seseorang mendapatkan keringanan dan kemudahan untuk tidak melaksanakan salat Jumat ,apalagi dengan sebuah wabah yang bahayanya sudah sampai mematikan jiwa.

Dalam hal ini, ketika wabah virus corona menjadi ‘illah dari adanya suatu fatwa yang menganjurkan untuk melaksanakan ibadah di rumah saja, dengan mengganti salat jumat dengan salat zuhur di rumah, salat tarawih, idulfitri dan ritual. Jika berhubungan dengan kerumunan masa, maka dalam epistimologi hukum Islam dasar aplikasi pola ini adalah karena adanya keyakinan kuat seorang mujtahid yang melakukan qiyas karena adanya suatu atribut (wasf) pada kasus pokok yang menjadi alasan di tetapkannya sebuah hukum.

Tentu semua itu di takar dengan takaran yang disebut al-maslahah, sebagai tahapan akhir dari metode ijtihad ini yang mendasarkan pengkajian dan penetapan (istinbat) hukum pada kemaslahatan umat manusia yang sejalan dengan tujuan Allah mensyariatkan hukum untuk manusia.

Baca Juga:  Kepemimpinan Orang Jawa Ketika Menghadapi Pagebluk

Maka penulis meyakini para ulama tidak sembarangan dalam mencetuskan sebuah fatwa, tidak perlu di pungkiri bahwasanya kita sangat membutuhkan para ulama untuk membimbing keterbatasan kita dalam menjawab fenomena fenomena baru yang saat ini terjadi.

Alexandre Caeiro dalam bukunya The Shifting Moral Universes of the Islamic Tradition of Ifta’: A Diachronic Study of Four Adab al-Fatwā Manuals (Leiden: The Muslim Word, Vol 96, Oktober 2006), menyatakan bahwa fatwa merupakan titik temu antara teori hukum dengan praktik sosial. Selanjutnya ia menjabarkan  dalam fungsinya sebagai instrumen sosial fatwa memiliki kontribusi dalam menjaga stabilitas sosial. Wallahu a’lam bish-shawab. [HW]

Muhammad Iqbal
Rais Syuriah PCINU Maroko dan S3 Teologi dan Perbandingan Agama Universitas Hassan II Maroko.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini