Mendekatkan diri (taqarrub) kepada Tuhan, adalah suatu impian paling diminati seluruh insan (manusia) di muka bumi ini. Banyak jalan untuk sampai kepada-Nya, di antaranya melalui tasawuf. Namun, mengarungi lautan tasawuf bagi sebagian orang teramat sangat berat dan sulit. Sehingga, tak jarang seseorang yang kadung ‘mabuk’ ajaran tasawuf (ngebet untuk sesegera mungkin bertemu dengan Allah) ‘terlempar’ pada jurang kesesatan, bahkan orang tersebut menjadi gila.
Fenomena demikian, kerap kali kita temui di tengah-tengah masyarakat (khususnya bagi masyarakat awam yang baru belajar ilmu tasawuf). Alih-alih mereka mempelajari ilmu tasawuf dengan bersungguh-sungguh, namun kenyataannya ia belajar ilmu tersebut hanya berdasarkan tren yang berkembang atau sekadar mencari popularitas di masyarakat. Padahal, untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah harus dengan cara yang layak (baik), seperti: menunaikan ibadah sebaik-baiknya dan melipatgandakan amalan yang baik pula dalam kehidupan sehari-harinya.
Selain dengan cara yang layak (baik), yang tak kalah urgennya dalam mempelajari ilmu tasawuf adalah dengan berguru. Dalam hal ini, guru (mursyid dalam istilah tasawuf) menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan seorang hamba mengarungi lautan tasawuf. Dengan kata lain, seseorang yang mempelajari ilmu tasawuf secara otodidak, maka hasilnya nihil (tidak akan pernah mencapai puncak dari tasawuf), sebab tasawuf adalah suatu bidang kajian ilmu yang sifatnya “transendental”. Sehingga, untuk menyelaminya pun membutuhkan wasilah (mursyid) tarekat pula. Hal ini diperkuat oleh ungkapan Syekh Abu Yazid Al-Busthomi, salah seorang sufi kesohor bermazhab Hanafi, mengatakan:
من لم يكن له شيخ فشيخه الشيطان
“Barang siapa tidak memiliki guru, maka yang menjadi gurunya adalah setan”. (Tafsir Ruhul Bayan [5] : 264)
Melihat sosio-kondisi yang terjadi di tengah masyarakat perihal cara seseorang menempuh jalan tasawuf (proses menjadi seorang sufi), patut kiranya melirik pada konsep tasawuf Al-Ghazali. Di mana konsep tasawuf yang ditawarkan oleh Al-Ghazali terbilang cukup mudah, karena nuansa tasawufnya adalah tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip Al-Qur’an dan Al-Hadis. Artinya, di samping seseorang melakoni ajaran tasawufnya, dia juga harus tetap menjalankan syariat Islam yang telah diperintahkan Allah Swt.
Dalam konsep tasawufnya, Al-Ghazali, memberikan rambu-rambu atau pedoman bagi seseorang yang hendak mengarungi lautan tasawuf (menjadi seorang sufi), yang nantinya bisa mengantarkan dirinya untuk dapat melihat serta mendekatkan diri kepada Allah. Pedoman atau rambu-rambu yang ditawarkan Al-Ghazali tersebut, sekurang-kurangnya meliputi tiga hal: Pertama, Takhalli (pengkosongan diri terhadap sifat-sifat tercela). Menurutnya, pada tahapan ini seorang hamba harus berusaha untuk melepaskan jiwanya dari dorongan hawa nafsu jahat (sifat-sifat buruk), seperti: sombong, dengki, iri hati, cinta pada dunia dan kedudukan (tidak berlebihan), riya’ dan lain sebagainya.
Kedua, Tahalli (menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji). Artinya, membiasakan diri dengan sifat dan sikap serta perbuatan yang baik. Pun juga, berusaha agar dalam setiap perilakunya sesuai dengan ketentuan agama, seperti: kejujuran, kasih sayang, tolong menolong, kedermawanan, sabar, keikhlasan, tawakal, kerelaan, cinta kepada Allah Swt. dan sebagainya, termasuk di dalamnya adalah banyak beribadah, berzikir, dan muraqabah kepada Allah Swt.
Ketiga, setelah seseorang melalui dua tahap tersebut, maka sampailah pada sesuatu yang dinamakan Tajalli. Di mana Tajalli berarti penampakan (manifestasi) tentang sesuatu yang gaib. Dengan kata lain, terbukanya tabir penghalang (kasyful-hijab) antara seorang hamba dengan Tuhan-Nya yang dapat menghalangi seorang hamba (sufi) untuk menyaksikan secara konkret tanda-tanda kekuasaan, kebesaran, dan keagungan-Nya. Seorang hamba yang tengah mencapai puncak ini (tajalli atau makrifat), akan meraih kemuliaan di sisi Allah dan keluruhan. Inilah puncak yang hendak dicapai oleh seluruh insan (umat manusia) di muka bumi ini melalui tasawuf.
Kendati seorang hamba telah mencapai puncak dari tasawuf (makrifat atau tajalli Tuhan dalam dirinya), bagi Al-Ghazali, ia tetap berkewajiban menjalankan ajaran-ajaran syariat Islam sebagaimana mestinya (beribadah kepada Allah dan berinteraksi dengan sesama manusia) di samping melakoni ajaran tasawufnya. Hal ini mengindikasikan bahwa konstruksi ajaran tasawuf yang digagas oleh Al-Ghazali, berbeda dengan ajaran tasawuf para pendahulunya, Al-Hallaj dan Al-Busthomi misalnya, yang dianggap telah meninggalkan ajaran-ajaran syariat. []