Tafsir Al-Ijaz Fi Taisir Al-I'jaz

Al-Anbiyā’: 25

وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا نُوْحِيْٓ اِلَيْهِ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّآ اَنَا۠ فَاعْبُدُوْنِ

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku.”

Beberapa poin penting dalam ayat ini, antara lain:

Pertama: Dalam Lathāif al-Isyārāt ditegaskan bahwa seluruh utusan pasti membawa risalah tauhid (keesaan Allah), sekalipun terdapat syariat yang berbeda, namun tidak demikian dengan persoalan ketauhidan. Apa sebab? Jika kita renungi, sebagaimana rumus dalam logika bahwa A kontradiksi dengan non-A; tathbiq (aplikasi) dalam kasus ini adalah jika Allah Esa atau tunggal, maka selain tunggal—apapun bentuknya, entah dua, tiga dan seterusnya—akan menyelingkuhi keesaan-Nya. Dengan demikian tak diperkenankan adanya perubahan dalam risalah ketauhidan ini.

Karena ketunggalan risalah yang dibawa oleh para rasul, tak heran manakala kaum nabi Nuh As mengingkarinya, al-Quran menyebut mereka telah mengingkari seluruh utusan. Sebagaimana tersebut dalam Asy-Syuarā: 105,

كَذَّبَتْ قَوْمُ نُوْحِ ِۨالْمُرْسَلِيْنَ ۚ

Kaum Nuh telah mendustakan para rasul.

Berbeda halnya dengan persoalan hukum atau syariat yang berbeda untuk setiap umat, sebab hal itu berhubungan dengan bentuk kepatuhan (ta’abbud) dan kebaikan (mashlahat) bagi mereka sendiri. Hal ini sebagaimana disinggung dalam al-Ma`idah: 49,

…لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَّمِنْهَاجًا…

“…Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan syir’ah (aturan) dan minhaj (jalan yang terang)…”

Imam al-Baghawi menjelaskan tentang hal ini bahwa apapun yang diberlakukan pada suatu umat akan menjadi syariat bagi mereka, dengan demikian syariat berbeda untuk tiap umat. Lebih lanjut, beliau mengutip pandangan Imam Qatadah, ayat ini diobjektivikasi kepada tiga umat, yaitu umat nabi Musa As, umat nabi Isa As dan umat nabi Muhammad Saw; bahwa kitab Taurat, Injil dan al-Quran memiliki syariat yang berbeda sementara agama itu satu: ajaran tauhid!

Kedua: Kata nụī (kami wahyukan) menggunakan fi’l mudhari’, demikian tulis Syaikh Ibn ‘Ajibah, sekalipun untuk menceritakan masa lalu, hal ini untuk mendatangkan suatu gambaran (istihdzār) dalam benak kita tentang proses pewahyuan yang luar biasa.

Ketiga: Kata perintah fa’budụn (maka sembahlah Aku!), boleh jadi mengandung dua pemaknaan: (a) Perintahkan untuk mengesakan Allah. Sehingga kalimat tersebut seakan berbunyi “Esakanlah Aku! Jangan sematkan status ketuhanan (uluhiyyah) kepada selain DiriKu; jangan pula kalian menyekutukanKu dengan yang lain!”. (b) Perintah untuk menyerahkan seluruh bentuk ibadah hanya kepada Allah semata, “Jadikanlah ibadah kalian bagiKu semata, jangan peruntukkan kepada yang lain!”. Demikianlah tulis Imam al-Maturidi dalam tafsirnya.

Keempat: Salah satu keunikan surat al-Anbiya` ialah karena ayat-ayatnya tidak satu pun menyebut kata “anbiya’” sama sekali, sebagaimana surah al-Fatihah dan al-Ikhlas; tiga surat ini tidak menyertakan nama surat pada seluruh ayatnya. Selain itu, ayat ke 25 ini justru menceritakan hakikat para rasul—sesuai dengan jumlah 25 utusan yang wajib kita ketahui—tentang pewahyuan mereka (nụī ilaihi) dengan paket lengkap berupa aqidah (lā ilāha illā ana) dan syariah (fa’budụn).

Kelima: Sekalipun memiliki redaksi awal yang serupa dengan surah al-Anbiya: 7 (wa mā arsalnā qablaka illā rijālan nụī ilaihim), namun pada ayat ini (wa mā arsalnā ming qablika mir rasụlin illā nụī ilaihi) lebih menitik tekankan tentang risalah (ajaran yang dibawa oleh para utusan), sementara di ayat ke 7 untuk menjelaskan tentang basyariah (sisi manusiawi) para utusan. Sebab itu di ayat ke 8 para rasul dicirikan dengan wa mā ja’alnāhum jasadal lā ya`kulụnaa’āma wa mā kān khālidīn (Dan Kami tidak menjadikan mereka [rasul-rasul] suatu tubuh yang tidak memakan makanan dan mereka tidak [pula] hidup kekal).

Baca Juga:  Tafsīr Al-Ijāz Fi Taisīr Al-I’jāz Al-Anbiya': 38-39

Bahkan di surah Ibrahim: 11, para rasul itu mengakui kemanusiaannya, qālat lahum rusuluhum in nanu illā basyarum milukum wa lākinnallāha yamunnu ‘alā may yasyā`u min ‘ibādih (Rasul-rasul mereka berkata kepada mereka, “Kami hanyalah manusia seperti kamu, tetapi Allah memberi karunia kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya…). Sekalipun begitu, bukan berarti mereka dianggap sama dengan manusia lainnya, karena pengakuan kemanusiaan para rasul untuk menunjukkan sikap rendah hati yang mereka miliki. Tetapi, bagi kita, tak layak menganggap mereka setara dengan kita, sebagaimana ejekan yang dilakukan kepada mereka, seperti yang direkam dalam surah Yasin: 15, qālụ mā antum illā basyarum milunā (Mereka [penduduk negeri] menjawab, “Kamu ini hanyalah manusia seperti kami…”).

Al-Anbiyā’: 26

وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمٰنُ وَلَدًا سُبْحٰنَهٗ بَلْ عِبَادٌ مُّكْرَمُوْنَ

 “Dan mereka berkata, “Tuhan Yang Maha Pengasih telah menjadikan (malaikat) sebagai anak.” Mahasuci Dia. Sebenarnya mereka (para malaikat itu) adalah hamba-hamba yang dimuliakan

Terdapat beberapa pembahasan seputar ayat di atas, antara lain:

Pertama: Setelah Allah menjelaskan bahwa tiada kawan atau lawan dalam persoalan uluhiyyah (ketuhanan), Dia juga menepis tuduhan-tuduhan tak bertanggung jawab dari keyakinan kosong orang-orang musyrik pada waktu itu. Para ahli tafsir menyatakan bahwa ayat ini diturunkan bertepatan dengan asumsi yang menjangkar secara liar dalam pikiran orang-orang Arab bahwa malaikat adalah putri-putri Allah. Bahkan, lebih parah lagi, tulis Imam ar-Razi, Allah dianggap sebagai leluhur para jin. Seperti direkam dalam ash-Shaffat: 158,

وَجَعَلُوْا بَيْنَهٗ وَبَيْنَ الْجِنَّةِ نَسَبًا

Dan mereka mengadakan (hubungan) nasab (keluarga) antara Dia (Allah) dan jin..

Maha Suci Allah dari apa yang mereka katakan. Sebab, bilamana Allah memiliki anak, tentu ada yang serupa dengan-Nya. Jika ada yang serupa dengan Allah, katakanlah anak-Nya, misalnya, maka terdapat keserupaan di satu sisi dan perbedaan di sisi lain, dengan demikian pasti Allah memiliki zat yang tersusun (tarkīb); padahal sesuatu yang tersusun pasti berstatus mungkin-ada (mumkin al-wujud); sudah barang tentu Dia keluar dari definisi sebagai Tuhan yang niscaya-ada (wajib al-wujud). Ini tentu mustahil, sebagaimana telah ditetapkan dalam kajian-kajian sebelumnya mengenai status niscaya-ada yang dimiliki oleh Allah.

Lantas, bagaimana status malaikat tersebut? Al-Quran menyebutkan bal ‘ibādum mukramn (Sebenarnya mereka [para malaikat itu] adalah hamba-hamba yang dimuliakan). Saat hal-ihwal para malaikat tak lepas dari predikat “hamba” (al-‘budiyyah), maka tak ada alasan menganggap mereka sebagai sanak famili (al-waladah) dari Allah; sekalipun mereka juga tak serupa dengan makhluk lainnya, karena Allah memberikan kemuliaan khusus untuk mereka.

Kedua: Mungkin Anda akan menyoal, “Apakah Tuhan sanggup, dengan kekuasan-Nya, menciptakan anak bagi-Nya? Jika tidak mungkin, di manakah letak kemustahilannya?”

Menciptakan anak bagi Tuhan, pasti mengandaikan hal berikut: (a) Anak tersebut niscaya (wajib aqli) bagi Tuhan. Jika demikian, tanpa anak, Tuhan memiliki kelemahan atau kekurangan; jadi status ketuhanannya malah tidak sempurna secara dzatiyah, dan sempurna karena faktor lain (anak); dengan lain kata, Tuhan menjadi sempurna manakala ada hal lain yang melengkapi kesempurnaan-Nya. Jika itu terjadi, justru sebab yang menjadikan Tuhan sempurna lebih pantas dianggap sebagai tuhan, dibanding yang memiliki kekurangan. Jadi anak Tuhan tentu lebih layak dijadikan tuhan, daripada Tuhan itu sendiri. Tapi, apakah hal ini mungkin? Tentu mustahil, sebab keberadaan anak Tuhan saja diciptakan oleh Tuhan, bagaimana mungkin anak Tuhan itu memiliki status “lebih sempurna”? Tentu pengandaian ini membuat keduanya (Tuhan dan anak Tuhan) menjadi lemah.

Baca Juga:  Tafsir Al-Ijaz Fi Taisir Al-I'jaz Al-Anbiya': 28-29

(b) Keberadaan anak bagi-Nya adalah hal yang boleh-boleh saja (ja`iz aqli). Jika demikian, maka statusnya tak lebih dari sekedar mungkin-ada (mumkin al-wujud), lalu apa bedanya dengan makhluk yang lain? Jika ia adalah anak Tuhan, bukankah seharusnya ia—sebagaimana Tuhan—memiliki status niscaya-ada (wajib al-wujud)? Maka ia tetap tak layak menyandang gelar sebagai “anak Tuhan”. Jika Anda tetap bersikukuh bahwa ia juga niscaya-ada (wajib al-wujud), maka pengandaiannya akan kembali pada poin “a”. Di sisi lain, bukankah sudah ditetapkan bahwa anak Tuhan ini “diciptakan”, dan sesuatu yang diciptakan pasti tidak niscaya-ada. Dengan demikian, pengandaian ini juga mustahil.

Tersisa satu pengandaian terakhir, (c) Keberadaan anak bagi Tuhan merupakan hal mustahil. Inilah yang hendak kita pastikan, dan kita sudah berada pada posisi yang sama: memustahilkan keberadaan anak bagi Tuhan.

Karena memiliki anak bagi Tuhan merupakan hal mustahil, maka ketiadaan anak bagi-Nya tidak lantas dijadikan dalil bahwa Dia “tidak berkuasa” mencipta! Apa sebab? Karena hubungan kuasa (ta’alluq qudrah) hanyalah dengan sesuatu yang boleh (jaiz/ mumkin) saja, kuasa Tuhan tidak berhubungan dengan sesuatu yang niscaya (wajib) maupun mustahil. Hal ini sama dengan indera penglihatan kita yang hanya bisa menangkap “gambar” atau “warna”, apakah ketika indera penglihatan tidak bisa menangkap “aroma” atau “bunyi” lantas kita anggap bahwa indera penglihatan kita buta? Tentu tidak. Sebab, hubungan (ta’alluq) indera penglihatan bukan pada aroma maupun suara. Demikianlah!

Ketiga: Ayat ini hanya mengutip sedikit dari perkataan orang-orang musyrik, tentang penyifatan tak layak yang dituduhkan kepada Allah. Dalam ayat yang berbeda, Allah menegaskan bahwa,

وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمٰنُ وَلَدًا ۗ  لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْـًٔا اِدًّا ۙ تَكَادُ السَّمٰوٰتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْاَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا ۙ اَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمٰنِ وَلَدًا ۚ وَمَا يَنْۢبَغِيْ لِلرَّحْمٰنِ اَنْ يَّتَّخِذَ وَلَدًا ۗ  اِنْ كُلُّ مَنْ فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ اِلَّآ اٰتِى الرَّحْمٰنِ عَبْدًا ۗ

Dan mereka berkata, “(Allah) Yang Maha Pengasih mempunyai anak.” Sungguh, kamu telah membawa sesuatu yang sangat mungkar, hampir saja langit pecah, dan bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh, (karena ucapan itu), karena mereka menganggap (Allah) Yang Maha Pengasih mempunyai anak. Dan tidak mungkin bagi (Allah) Yang Maha Pengasih mempunyai anak. Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, melainkan akan datang kepada (Allah) Yang Maha Pengasih sebagai seorang hamba.” (QS. Maryam: 88-93)

Imam ath-Thibi dalam Futuh al-Ghaibnya memberi alasan tentang perkataan orang musyrik yang seakan merontokkan langit dan mengundang bencana bagi semesta; hal ini karena Sang Maha Pengasih adalah satu-satunya pemberi nikmat terhadap semua makhluk ciptaan-Nya, beragam anugerah yang ada merupakan petunjuk bahwa Dia Esa, lalu mereka malah ingkar dan mengatakan Dia memiliki anak, menjadikan Dia yang Esa seperti makhluk lainnya; alih-alih semua pemberian membuat beriman, mereka justru menyekutukan Dia dengan yang bukan-bukan. Sungguh ini adalah kekurangajaran yang memuakkan. Bagi seorang yang beriman, apapun tentang-Nya, tentu tak layak disepelekan, baik dalam bentuk perkataan dan lebih-lebih masalah keimanan. Mari renungi penggalan ayat dalam surah an-Nur: 15,

وَّتَحْسَبُوْنَهٗ هَيِّنًاۙ وَّهُوَ عِنْدَ اللّٰهِ عَظِيْمٌ ۚ

“…dan kamu menganggapnya remeh, padahal dalam pandangan Allah itu hal besar.”

Baca Juga:  Tafsīr Al-Ijāz Fi Taisīr Al-I’jāz Al-Anbiya: 36-37

Semoga kita senantiasa diberi taufik dan hidayah oleh-Nya.

Al-Anbiyā’: 27

لَا يَسْبِقُوْنَهٗ بِالْقَوْلِ وَهُمْ بِاَمْرِهٖ يَعْمَلُوْنَ

 “Mereka tidak berbicara mendahului-Nya dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya.”

Alasan di ayat yang lalu, malaikat mendapat keistimewaan dengan gelar mukramn (hamba-hamba yang dimuliakan) ialah karena mereka lā yasbiqụnahụ bil-qauli wa hum bi`amrihī ya’malụn (mereka tidak berbicara mendahului-Nya dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya). Ayat ini memiliki beberapa beberapa topik pembahasan, antara lain:

Pertama: Imam ar-Razi memaknai ayat ini bahwa para malaikat tidak mengatakan sesuatu sama sekali kecuali atas perintah-Nya, apalagi dalam masalah perbuatan, mereka senantiasa patuh terhadap seluruh yang diperintah oleh Allah.

Tak jauh berbeda dengan Imam ar-Razi, Syaikh Thabathaba’i menulis dalam tafsir al-Mizan, ayat ini menunjukkan kesempurnaan ubudiyyah para malaikat. Bahkan kemuliaan mereka di sisi Allah disebabkan oleh ubudiyyah tersebut, bukan karena yang lain. Karenanya, takwil dari ayat ini ialah para malaikat itu disebut sebagai hamba-hamba (‘ibād) yang sebenarnya, dengan ciri kepatuhan yang muncul dari diri mereka. Karena mereka tidak pernah menyaksikan diri mereka kecuali sebagai hamba Allah semata. Hanya saja, sekalipun malaikat dan sebagian manusia dimuliakan oleh Allah, ada perbedaan mendasar di antara keduanya: kemuliaan manusia berdasarkan usaha (iktisāby), sementara yang dimiliki oleh malaikat adalah anugerah langsung dari Allah (mauhiby).

Kedua: Tentang kemuliaan para malaikat ini, Imam az-Zamakhsyari menyebutkan di dalam al-Kasysyāfnya bahwa malaikat makhluk paling mulia di antara seluruh mahluk ciptaan Allah. Namun Ibn al-Munir dalam al-Intishāf bi Hasyiyah al-Kasysyāf menolak pandangan ini, beliau mengatakan Imam az-Zamakhsayari terlalu memaksakan al-Quran mengikuti pandangannya sendiri, padahal kata mukramn hanya menunjukkan kemuliaan saja, tanpa perlu memberi tafsir bahwa mereka lebih mulia daripada seluruh ataupun sebagian hamba Allah yang lain.

Ketiga: Di dalam al-Quran, salah satu sebab kemuliaan makhluk di sisi Allah ialah berdasarkan kepatuhan atau takwa, sebagaimana disebutkan dalam al-Hujurat: 13,

اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

“… Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.

Sekalipun objek yang dimaksud dalam surat al-Hujurat ini adalah manusia, tapi yang bisa digarisbawahi ialah ciri utama kemuliaan seorang di sisi Allah ialah ketakwaan mereka; dan kita dapat saksikan pada ayat ini, bagaimana al-Quran memberikan profil tentang malaikat sebagai lā yasbiqụnahụ bil-qauli wa hum bi`amrihī ya’malụn (mereka tidak berbicara mendahului-Nya dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya).

Kita tentu boleh bertanya, kenapa sketsa kepatuhan malaikat yang mula-mula ditampilkan adalah “perkataan” yang tidak pernah mendahului-Nya, lalu “tindakan” mereka yang selalu sesuai dengan apa yang diperintah-Nya? Apa hikmah yang dapat dipetik hal tersebut?

Dalam kaidah tafsir, ini termasuk  taqdim al-ahamm ‘ala al-muhim (mendahulukan yang lebih penting daripada yang perlu); sebab menjaga “perkataan” adalah hal sulit, bahkan ketika kita mendengar suatu berita, tentu tidak mudah menyampaikan berita itu tanpa merubah tajuk dan sisi tertentu dari sebuah kejadian kepada orang yang kita ajak bicara; namun demikian, malaikat malah sanggup melakukannya, apalagi melaksanakan seluruh perintah.

Dari sudut pandang yang berbeda, ayat ini juga sebuah anjuran agar kata-kata yang terloncat keluar dari mulut kita, tidak melebihi perbuatan. Bukankah ada ujar-ujar lama begini, “tentu lebih mudah mengatakan apa yang dilakukan dibanding bercerita sesuatu yang kita belum perbuat”. [HW]

Ach. Khoiron Nafis
Mantan Lurah PP Baitul Hikmah & Alumnus STF Alfarabi

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini