Ikhlas ketika dilihat dari segi katanya sepertinya gampang dalam melakukannya, tapi dalam kenyataanya itu sulit jika tidak terbiasa. Sebelumnya saya akan mengupas apa sih Ikhlas itu? Saya mengutip dari perkataan Al ‘izz bin Abdis Salam sebagai berikut
Ikhlas ialah seorang mukallaf melaksanakan ketaatan semata-mata karena Allah SWT. Dia tidak berharap pengagungan dan penghormatan manusia dan tidak pula berharap manfaat dan menolak bahaya”.
Dari pengertian ini sudah sangat jelas bahwa yang dikatakan ikhlas jika seseorang itu melakukan sesuatu tidak mengharapkan imbalan, pujian, dan balasan dari orang lain, melainkan hanya mengharap ridho-Nya Allah SWT.
Lantas apa yang membuat orang dalam melakukan sesuatu itu tidak ikhlas? Ikhlas atau tidaknya seseorang itu tergantung dari niat dan hatinya. Hal ini berkaitan dengan salah satu hadits Nabi SAW, yaitu:
عن امير المؤمنين ابي حفص عمر ابن الخطاب رضي الله تعال عنه قال : سمعت رسول الله صل الله عليه وسلم يقول : انما الاعمال بالنيات وانما لكل امرئ ما نوى. فمن كانت هجرته الى الله ورسوله فهجرته الى الله ورسوله, ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته الى ما هاجر اليه. (رواه اماما المحدثين ابو عبد الله محمد بن اسماعيل بن ابراهيم بن المغيرة بن بردزبه البخاري الحعفي, وابو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري اليسبوري في صحيحيهما اللذين هما اصح الكتب المصنفة)
“Dari Amirul Mu’minin, Abu Hafsh umar bin Khaththab ra, ia berkata: aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “sesungguhnya setiap perbuatan itu tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang diniatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang ia niatkan. (Diriwayatkan oleh dua imam hadist, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin bardizbah al-Bukhori dan Abu Husain, Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi, dalam kedua kitab Shahihnya, yang merupakan kitab yang paling shahih yang pernah dikarang)”
Dari hadits di atas menunjukkan bahwa setiap perbuatan, artinya perbuatan apa saja itu tergantung pada niatnya. Begitu juga dengan Ikhlas ini, jika niatnya salah maka bukan jadi Ikhlas tapi bisa beruabah menjadi riya’ sebagaimana yang diungkap oleh Syekh Nawawi al-Bantani di dalam kitabnya Nashaihul Ibad, beliau mengatakan demikian
وما عدا ذالك رياء مذموم
“Selain ketiga motivasi di atas adalah Riya’ yang tercela”
Maksud dari ketiga motivasi di atas tersebut adalah, sebelum ungkapan tersebut ada pendapat beliau mengenai tingkatan Ikhlas, yaitu : tingkatan yang pertama yang paling tinggi adalah melakukan sesuatu tidak mengharap imbalan apa-apa kecuali hanya ridha Allah SWT.
Tingkatan yang kedua ialah beramal karena Allah SWT tapi masih mengharap agar kelak di Akhirat mendapatkan surga dan di jauhkan dari siksa api neraka. Dan tingkatan yang ketiga, yaitu ikhlas yang paling rendah yaitu beramal karena Allah namun masih mengharap imbalan duniawi, misalnya sholat dhuha dengan mengharap supaya dilancarkan rezekinya, hal demikian masih dikatakan ikhlas namun tingkatan yang paling bawah.
Maka dari itu ketika niat ikhlas itu melenceng dari tida di atas Syekh Nawawi mengatakan itu bukan Ikhlas melainkan adalah perbuatan Riya’ yang tercela.
Yang kedua hal yang bisa membuat orang tidak Ikhlas dalam beramal, yaitu hatinya. Mengapa al faqir berpendapat demikian, lebih dikarenakan niat dan hati itu tidak dapat dipisahkan karena tempatnya niat itu dihati. Dan hati itu merupakan bagian terpenting dalam tepenting bagi seseorang, sebagaimana Hadist Nabi SAW, Nabi bersabda:
ألا وان في الجسد مضغة, اذا صلحت صلح الجسد كله واذا فسدت فسد الجسد كله الا وهي القلب. رواه البخاري ومسلم.
“Ketahuilah, sesungguhnya didalam tubuh terdapat segumpal daging. Jika segumpal daging itu baik, maka baiklah sluruh tubuhnya, dan jika segumpal daging itu buruk, maka buruklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dari Hadist di atas dapat diambil pelajaran bahwa seseorang itu akan baik jika hatinya baik dan dikatakan buruk jika hatinya buruk, hati di sini menjadi tolok ukur perbuatan manusia.
Maka dari itu kita jaga niat dan hati kita untuk selalu ikhlas dalam beramal, karena kunci diterimanya suatu amal ibadah itu salah satunya yaitu dengan kita Ikhlas beribadah karena Allah SWT. Jika niat dan hati kita sudah benar maka dengan otamatis kita akan Ikhlas , karena ketinganya itu sangat berkaitan. Niat dan hati yang benar akan menumbuhkan nilai Ikhlas dalam diri kita.
Al faqir berusaha dan berharap yang disertai dengan do’a yang tulus kepada Allah SWT agar niat dan hati al faqir dan pembaca sekalia diluruskan oleh Allah dan di tunjukkan ke jalan yang benar.
Mudah-mudahan tulisan yang sedikit ini bisa bermanfaat bagi pembaca sekalian, al faqir masih butuh banyak kritik dan saran dari pembaca semuanya. Silahkan jika ada pendapat yang salah atau kurang tepat sampaikan kritik nya kepada al faqir. [RZ]