Ia merupakan salah satu ulama tasawuf terkemuka. Lahir pada tahun 1260 M di Alexandria dan wafat pada tahun 1309 M di Kairo, Mesir. Ditilik dari sudut fikih, Ibnu Atha’illah bermadzhab Maliki (Malikiyah). Dalam hal tarekat, ia mengikuti gurunya Abu Abbas al-Mursi, yang merupakan murid dari Abu Hasan as-Syadzili (wafat 656 H/1258 M), sang pendiri tarekat Syadziliyyah. Dengan demikian, tarekat Ibn Atha’illah adalah Syadziliyah.
Beliau tergolong ulama yang produktif, dengan tak kurang dari 20 karya yang pernah dihasilkannya. Karya-karya tersebut meliputi bidang tasawuf, tafsir, akidah, hadits, nahwu, dan ushul fikih. Dari berbagai karyanya, Al-Hikam merupakan karya monumental. Al-Hikam menjadi sumber utama untuk memahami ajaran tarekat Syadziliyyah dan termasuk disiplin ilmu dalam kajian tasawuf. Kitab ini dianggap sebagai karya terbaik dan komprehensif yang dikarang oleh Ibn Atha’illah As-Sakandari.
Lebih dari itu, kitab ini tampaknya ditulis sebagai refleksi atas pengalaman spiritualitas penulisnya. Penyajiannya yang khas menjadi keunggulan tersendiri bagi Al-Hikam. Kekayaan makna yang dikandungnya tetap terjaga hingga ratusan tahun.
Al-Hikam merupakan kumpulan mutiara cemerlang untuk meningkatkan kesadaran spiritual. Struktur kalimat dalam kitab ini tidak hanya memiliki nilai sastra yang tinggi, tetapi juga kedalaman makrifat yang dituturkan lewat kalimat-kalimatnya yang singkat. Kitab ini menjadi karya dengan bahasa yang luar biasa indah. Kata dan makna saling mendukung, melahirkan ungkapan yang menggetarkan.
Dalam bab “Ketuhanan”, dengan elegan Ibnu Atha’illah memaparkan dengan lugas namun sarat makna. Hujah yang ia sampaikan membawa pencerahan mendalam bagi pembacanya. Berikut adalah kutipan:
- “Mā ḥajabaka ʿanillāhi wujūd maujūdin maʿahu ilā ākhirihi, walākin ḥijābaka ʿanhu.”
- “Tawahhumu maujūdin maʿahu.”
Terjemahan:
- “Tidak ada yang menghalangimu dari Allah oleh keberadaan sesuatu bersamanya, tetapi yang menghalangimu hanyalah anggapanmu tentang keberadaan sesuatu selain Dia.”
- “Mengandaikan keberadaan sesuatu bersamanya.”
Penjelasan:
- Jika Anda merasa tidak mampu mengetahui wujud Allah, hal itu bukan karena adanya pembatas yang menghalangi antara Anda dan Allah. Sebaliknya, itu karena Anda sendiri yang selalu mengada-adakan wujud perkara selain Allah. Maksudnya, Anda menganggap sesuatu selain Allah itu ada wujudnya, padahal semua perkara selain Allah itu adalah ‘adam dan sejatinya tidak memiliki wujud.
- Wujud semua makhluk dapat diumpamakan seperti bayangan pohon dalam air. Anda mungkin beranggapan pohon itu benar-benar ada dalam air, padahal yang terlihat hanyalah bayangan. Bayangan pohon itu tidak mungkin menghalangi berlayarnya kapal. Maka, sebenarnya tidak ada pembatas antara Anda dan Allah, kecuali anggapan Anda sendiri tentang wujud selain Allah.
Dengan bahasa awam, anggapan tentang Tuhan yang menyerupai makhluk merupakan bentuk tergelincirnya seseorang ke dalam keyakinan tajsim (memposturisasi Tuhan).
Imam asy-Syafi’i menyatakan:
المجسم كافر
“Al-Mujassim (orang yang meyakini bahwa Allah memiliki bentuk), maka ia telah keluar dari Islam.”
Imam Ahmad bin Hanbal juga berkata:
من قال الله جسم لا كالأجسام كفر
“Orang yang berkata bahwa Allah adalah benda yang (tetapi) tidak seperti benda-benda lainnya, maka ia telah kafir.”
Imam Abu Hasan al-Asy’ari dalam kitab an-Nawadir menegaskan:
من اعتقد ان الله جسم فهو غير عارف بربه وإنه كافر بربه
“Barang siapa meyakini bahwa Allah adalah jisim, maka ia tidak mengenal Tuhannya dan telah kafir terhadap-Nya.”
Imam Bukhari meriwayatkan sabda Nabi Muhammad saw:
مهما تصورت ببالك فالله بخلاف ذلك
“Apa pun yang terlintas dalam benakmu, Allah tidak seperti itu.”
Nabi juga bersabda:
“Seluruh ciptaan Allah adalah objek tafakkur yang dapat memperkokoh iman. Namun, jangan sekali-kali memikirkan Dzat Allah atau Sifat-Nya secara mendalam karena akal manusia terbatas dan tidak mampu menjangkaunya. Allah Maha Suci dari segala sifat yang disematkan manusia.”
تفكروافى آيات الله ولا تفكروافى الله
“Pikirkanlah tentang ciptaan Allah, dan janganlah sesekali memikirkan Dzat Allah karena kamu tidak akan mampu menjangkaunya.” (Ibnu Atha’illah, Al-Hikam)