Semenjak era Walisanga, pesantren telah berperan aktif dalam perkembangan peradaban dan perjuangan ideologi Islam di Nusantara, di samping sebagai pusatnya menimba ilmu agama, pesantren juga sebagai markas pergerakan dan perlawanan penjajahan di saat pra-kemerdekaan. Bentuk nyata peran santri dalam kemerdekaan Indonesia dapat disaksikan melalui berdirinya barisan Hizbullah, sebuah gerakan perlawanan rakyat yang dikomandoi oleh para Kiai. Puncak perlawanan paling heroik dari Kiai dan santri terhadap penjajah yaitu di saat mempertahankan kemerdekaan dari Agresi Militer Belanda II pada tahun 1948, seluruh santri se-Nusantara bergerak bersama melawan penjajah setelah Mbah Hasyim mengeluarkan fatwa jihad terhadap penjajah. Fatwa jihad itulah yang dikenal dengan Resolusi Jihad yang sampai sekarang diperingati sebagai Hari Santri Nasional, 22 Oktober[1].
Menurut Kiai Sahal pesantren sebagai lembaga yang berafiliasi tafaqquh fi al-din yang eksistensinya tersebar luas di Indonesia sejak kemunculannya hingga saat ini memang memiliki daya tarik tersendiri. Baik dari aspek luarnya, rutinitasnya, potensi dirinya, isi pendidikannya, maupun sistem dan metodenya[2]. Hal ini didasari karena kemauan pesantren yang siap membuka diri dari segala perubahan dan perkembangan zaman[3]. Dari keterbukaan itulah peran pesantren nampak nyata di Nusantara.
Namun seiring perkembangan zaman yang semakin maju seperti era saat ini, banyak sekali bermunculan aliran-aliran baru yang mengatasnamakan ideologi agama Islam, akan tetapi prilakunya tidak mencerminkan agama Islam sama sekali. Sebut saja mereka adalah kelompok radikalisme, terorisme, ekstremisme dan masih banyak lagi yang sering menggelorakan aksi jihad fi sabilillah tanpa mengetahui dasar jihad yang sebenarnya, akibatnya banyak konflik yang ditimbulkan yang akhirnya memberikan efek phobia terhadap kelompok di luar Islam, maka tidak dapat dipungkiri apabila akhir-akhir ini muncul fenomena gerakan Islamophobia dari berbagai negara eropa, karena Islam yang dibawa tidak mencerminkan agama yang rahmatan lil ‘âlamin, akan tetapi justru malah sebaliknya, yaitu Islam yang mengerikan dan menakutkan. Dari sinilah pesantren harus mampu dan tampil dalam menjaga eksistensi peradaban Islam yang dapat menyejukkan masyarakat agar terhindar dari bias persepsi terhadap Islam seperti layaknya paham Islamophobia. Lantas bagaimana respon pesantren terhadap fenomena Islamophobia yang sedang hangat diperbincangkan saat ini?.
Untuk memulai pembahasan pada tulisan ini, sebenarnya salah satu jalan keluar untuk meminimalisasi terjadinya faham Islamophobia di Nusantara sendiri pada esensinya cukup simpel dan sangat dikenal, yaitu melalui pendidikan di pondok pesantren. Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan agama tertua di Indonesia merupakan alat yang cukup ampuh untuk meredakan Islamophobia, karena di pesantren santri dituntut untuk bersikap ramah, lemah lembut kepada semua orang, hal ini telah disinggung dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 159 yang berbunyi:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya“.
Kemudian yang menjadi pertanyaan, apa sih yang salah dari Islamophobia?, yaitu sikap kebencian, egois, ingin benar sendiri, dan suka menyalahkan pihak lain yang tidak sefrekuensi dengan jalan pemikirannya, bahkan menganggap orang lain (temannya) sendiri telah keluar dari alur pemikiran yang benar, hal ini merupakan gejolak awal atau embrio terjadinya sikap terorisme, radikalisme dan ektrimisme dalam beragama. Setelah muncul radikalisme, maka respon umat lain menilai hal itu menakutkan, bahkan telah dianggap beragama dengan keras. Dengan begitu nama Islam akhirnya tercoreng, bahkan ajarannya. Jadi, gerakan ekstrimisme merupakan salah satu penyebab timbulnya faham Islamophobia[4].
Munculnya tindakan dan pemikiran liberalisme juga dipengaruhi dari rendahnya tingkat pendidikan yang baik kepada agama. Oleh karena itu, pesantren sangat penting sekali bagi masyarakat muslim Indonesia sebagai gerbong pembasmi faham liberalisasi dan radikalisasi. Sehingga virus Islamophobia pun tidak dapat merebak di Nusantara. Karena ia telah terbentengi dengan iman dan spiritual yang tinggi.
Lantas bagaimana peran pesantren dalam mengatasi fenomena Islamophobia tersebut?. Menurut hemat penulis, pesantren sudah seharusnya membuka diri selebar mungkin untuk memberikan jawaban atas problematika yang terjadi di era kontemporer saat ini, salah satunya fenomena tersebut. Bentuk mengatasinya yaitu dengan cara:
- Membangun dan menunjukkan citra diri Islam yang sesungguhnya, terutama di level generasi muda. Yaitu konsep Islam yang rahmatan lil ‘âlamin.
- Berperan nyata dalam membantu permasalahan sosial, yaitu dengan pendekatan sosio-kultural. Pada konteks ini telah disinggung dalam hadis Nabi Muhammad SAW yang termaktub dalam kitab Sunan Turmudzi, juz 3, halaman 388. Nabi bersabda:
الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ، ارْحَمُوا مَنْ فِي الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ، الرَّحِمُ شُجْنَةٌ مِنَ الرَّحْمَنِ، فَمَنْ وَصَلَهَا وَصَلَهُ اللَّهُ وَمَنْ قَطَعَهَا قَطَعَهُ اللهُ
Artinya: “Orang-orang yang memiliki sifat kasih sayang akan disayang oleh Allah yang Maha Penyayang, sayangilah semua yang ada di bumi, maka semua yang ada di langit akan menyayangimu. Kasih sayang itu bagian dari rahmat Allah, barangsiapa menyayangi, Allah akan menyayanginya. Siapa memutuskannya, Allah juga akan memutuskannya“. (HR. Turmidzi).
- Meningkatkan pemahaman masyarakat tentang Islam dengan berbagai media, baik media massa maupun media lainnya.
- Menularkan pengalaman dan pemahaman yang menyenangkan tentang Islam.
- Memberikan interpretasi ulang terhadap ayat-ayat tentang jihad.
- Dan merumuskan makna jihad baru, yaitu jihad dalam teknologi informasi, politik, ekonomi, pendidikan dan sosial budaya, terkhusus jihad dalam konteks memerangi hawa nafsu, seperti apa yang disabdakan Nabi Muhammad SAW:
مَرْحَبا بِكُم تَقَدّمْتُمًْ مِنَ اْلجِهَادِ اْلأَصْغَرِ إِلَي اْلجِهَادِ اْلأَكْبَرِ. قَالُوا: وَمَا جِهَادُ اْلأَكْبَرِ؟ قَالَ: جِهَادُ اْلقَلْبِ أَوْ جِهَادُ النَّفْسِ.
Artinya: “Selamat datang, Kalian telah datang/menuju dari jihad paling kecil menuju jihad paling besar. Mereka berkata: Apakah jihad besar itu? Nabi SAW menjawab: Jihad hati atau jihad nafsu. (HR. Baihaqiy), dengan Sanad Dha’if (lemah)[5].
Meskipun hadis tersebut masih menjadi perdebatan ulama terkait keabsahannya, akan tetapi setidaknya dapat memberikan legitimasi bahwasanya saat ini bukan lagi eranya berjihad dengan menghunus pedang, melainkan berjihad yang lebih urgen, yaitu jihadunnafsi.
Karakteristik pesantren yang dari dulu lokasinya menyatu erat dengan masyarakat, tanpa dibatasi pagar dan bahkan para santri bebas berbaur dengan masyarakat sekitar, merupakan sanggar yang tepat dalam penangkalan masuknya Islamophobia di Indonesia. Apalagi dewasa ini, muncul isu pesantren sebagai sarang teroris pun cukup mengagetkan para Kiai (ulama) di Indonesia, khususnya ulama pesantren. Sebab hal itu pun tidak terbukti dan kecil kemungkinan terjadi, justru sebaliknya pesantren sebagai lembaga pendidikan dan sosial kemasyarakatan tertua di Indonesia yang selalu menanamkan rasa nasionalisme, adalah alat yang canggih dalam menangkal gerakan radikalisme yang mengatasnamakan agama. Selain mempunyai pengaruh dan tidak terpisahkan dengan budaya, pesantren juga memilik peran yang cukup besar dalam ranah sosial bahkan politik. Inilah sebagian kecil kontribusi dari pada pesantren, sebagai lembaga pendidikan agama tulen di Nusantara.
Barangkali Islam ala pesantren itulah merupakan kebanggaan tersendiri yang harus disyukuri di Indonesia sampai saat ini, sehingga pada pelaksanaan Muktamar NU ke-33 Jombang beberapa tahun yang lalu, menjadikan term Islam Nusantara sebagai topik dan agenda pokok dalam memperkokoh sikap lemah-lembut (al-rifqu) dan andap asor (al-tawadhu’) nya Islam di Indonesia. Karena Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama`ah sendiri selalu memprioritaskan dan menjunjung tinggi beberapa hal seperti, moderat (wasasthiyyah), toleransi (tasamuhiyyah), reformis (islahiyyah), dinamis (tathawwuriyyah) dan metodologis (manhajiyyah), sehingga apabila semua itu telah terimplementasikan, niscaya kedamaian dapat berdiri tegak.
Dengan demikian, kelompok Islamophobia khusunya yang beredar di Indonesia, seharusnya perlu memahami lebih mendalam mengenai kearifan budaya dan Islam di Indonesia. Agar tidak terjadi pemahaman yang dangkal dalam memandang agama Islam. []
#GeekTurats
Bibliografi
Buletin Amanat, Peran Santri dalam Menjawab Dinamika dan Kebutuhan Umat, Kajen: Perguruan Islam Mathali’ul Falah, 2019/2020.
Mahfudh, Sahal, Nuansa Fiqih Sosial, (Yogyakarta: LKiS, 1994).
Aziz, Abdul, Menangkal Islamofobia Melalui Re-Interpretasi Alquran, AL-A’RAF Vol. XIII, No. 1, Januari Juni 2016.
Al-Ghazali, Abu Hamid, Ihyâ’ ‘Ulûmiddin, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2013).
[1] Buletin Amanat, Peran Santri dalam Menjawab Dinamika dan Kebutuhan Umat, Kajen: Perguruan Islam Mathali’ul Falah, 2019/2020, hlm. 04.
[2] Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, (Yogyakarta: LKiS, 1994), hlm. 271.
[3] Ibid, hlm. 355.
[4] Abdul Aziz, Menangkal Islamofobia Melalui Re-Interpretasi Alquran, AL-A’RAF Vol. XIII, No. 1, Januari Juni 2016, hlm. 76-78.
[5] Abu Hamid Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûmiddin, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2013), juz 3, hlm. 90.