Post Tradisionalisme Islam: Suatu Diskursus Kaum Intelektual Muda NU

Kebesaran NU memang tidak dapat dipungkiri, berbagai perosalan telah rampung dijawab oleh tokoh-tokoh NU. Tentunya, NU tidak hanya berdimensikan tradisional yang sibuk dengan persoalan-persoalan fiqh-tasawuf. Namun, dengan gairah baru post Tradisionalisme Islam tanpa menghilangkan karakteristik ke-tradisionalannya NU bergerak secara progresif seraya berdialog dengan zaman serta menjawab segala perosalaanya.

Kemunculan Postra (Post-Tradisionalisme) ini pertama kali pada pertengahan tahun 2000 oleh kawan-kawan muda NU di Jakarta yang dipayungi oleh ISIS (Institute for Social and Institutional Studies). Postra menjadi pisau analisis baru dalam menjawab persoalan-persoalan mutakhir. Kemunculan Postra juga menjadi gairah baru dalam dunia intelektual yang ditandai dengan penerjemahan buku al-Jabiri oleh Ahmad Baso dengan judul “Post Tradisionalisme Islam” yang diperkaya lagi dan diterbitkan ulang oleh Pustaka Afid pada tahun 2017 dengan judul baru “ al-Jabiri, Eropa, dan Kita.”

Tidak hanya itu beberapa waktu kemudian, dua tokoh ISIS, Muh Hanif Dhakiri dan Zaini Rahman juga menerbitkan buku yang serupa dengan judul Post-Tradisionalisme Islam, Menyingkap Corak dan Gerakan PMII yang diterbitkan oleh Isisindo Mediatama pada tahun yang sama. Pula, gerakan kultural seperti LKiS yang didirikan pada tahun 1997 di Yogyakarta. Walaupun secara tidak langsung kemunculan Postra ini juga dipengaruhi oleh peran Gus Dur dengan berbagai gagasan pembaharuannya.

Post Tradisionalisme berangkat dari khazanah tradisional tetapi berani melakukan lompatan tradisi baru yang berbeda dengan tradisi pemikiran pendahulunya (Dakhiri and Rachman 2000:11). Dengan demikian Postra tetap berpengan pada tradisi lama tetapi meluaskan jangkauan persoalannya seperti problema-problema kontemporer. Dengan tujuan, menjadikan islam yang dapat berdialog dengan realitas global kontemporer tanpa kehilangan jati dirinya. Dengan kata lain, postra menjadikan tradisi sebagai basis epistemologinya.

Baca Juga:  Moderatisme Beragama dalam Upaya Membendung Liberalisasi dan Ekstremisme di Indonesia

Gerakan ini banyak dipengaruhi oleh Pemikir Islam yang berbau kiri sepeti Hassan Hanafi, Muhammad Arkoun, al-Jabiri ketimbang tokoh pembaharu Islam dari Mesir seperti al-Afghani, Abduh, at-Tahtawi, dan lain-lain. Wacana-wacan yang berkembang pun berbeda dengan gerakan tradisionalisme, postra  mengkaji hal-hal kontemporer serta wacana emansipatoris seperti fiqh al-siyasah, Fikih perempuan, Kiri Islam, Demokrasi Islam, Isme-isme besar dunia, Feminisme islam, dan lain-lain.

Satu hal yang harus di catat bahwa gerakan intelektual Islam Post Tradisionalisme berangkat dari kesadaran untuk melakukan revitalisasi tradisi, yaitu sebuah upaya untuk menjadikan tradisi sebagi basis untuk melakukan transformasi (Abdurrahman 1996:67). Postra berpijak dari proposisi Al-Muhafadzah ala al-Qodim al-Shaleh wa al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlah (memelihara nilai lama yang baik dan mengambil nilai baru yang lebih baik).

Proposisi tersebut dikukuhkan oleh K.H Sahal Mahfudz dalam pernyataanya : “Kita tidak perlu untuk meninggalkan kitab kuning. Meninggalkan kitab kuning akan mengakibatkan terputusnya mata rantai sejarah dan budaya ilmiyah yang telah dibangun berabad-abad. Menutup kitab kuning berarti menutup jalur keilmuan yang menghubungkan tradisi keilmuan sekarang dengan tradisi keilmuan milik kita pada masa lalu.” (Mahfudz 2004:29)

Dalam hal kenegaraan, kalangan post-tradisionalis menolak upaya formalisasi islam sebagai dasar negara. Karena hal itu akan berimplikasi pada pengukuhan terhadap suatu kaum tertentu dan akan mendistorsi sifat keuniversalan islam. Dengan itu postra menjadikan solidaritas kemanusiaan sebagai locusnya dalam bernegara. Hal demikian sangat menunjang bagi terwujudnya nilai dasar islam sebagai rahmatan lil `alamin atau rahmat bagi seluruh alam.

Maka dari itu, nalar keberagaman sangat dijunjung oleh postra. Sangat kontrakdiktif kiranya jika memimpikan islam yang rahmatan lil `alamin justru menutup ruang terhadap liyan. Walaupun post-tradisionalis menggunakan corak universal dalam beragama akan tetapi masih dilakukannya ritual-ritual tradisional seperti tahlilan, mujahadah, ruwahan, muqaddaman, maulidan, manakiban, dan lain-lain.

Baca Juga:  Merangkul Harmoni dalam Keadilan dan Kemanusiaan: Perspektif Islam tentang Hak Asasi Manusia

Gerakan Post-Tradisionalisme yang tumbuh subur dalam kultur NU, akan memungkinkan NU tidak hanya akan menjadi benteng pertahanan tanah air, namun NU juga menjadi lokomotif penggerak intelektual Muslim di Indonesia, bahkan dunia, serta membangun perdamaian dunia yang eksplisit dalam tema muktamar NU ke 34 “Menuju satu abad NU: Membangun Kemandirian Warga Untuk Perdamaian Dunia” yang diselenggarakan di Lampung pada akhir tahun 2021 lalu. []

Satrio Dwi Haryono
Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Raden Mas Said Surakarta

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini