PHK Grab-Gojek dan Status Driver

Efek pandemi Covid-19 benar-benar bedebah minta ampun. Satu per satu lini kehidupan manusia rontok. Tak hanya bikin orang tak punya hiburan, namun juga bikin banyak orang kehilangan pekerjaan.

Terbaru, berita tidak sedap berhembus dari dua startup besar di Indonesia. Gojek, startup unicorn besutan Nadiem Makarim umumkan telah mem-PHK tak kurang dari 430 karyawan.

Sepekan sebelum Gojek, langkah serupa sudah dilakukan oleh Grab. Tak kurang dari 360 karyawan Grab terkena PHK. Hal ini dilakukan demi penghematan dan efisiensi seiring dengan terjun bebasnya omzet akibat pandemi Covid-19.

Baik Gojek maupun Grab mengirimkan surel kepada masing-masing karyawan yang terkena PHK. Bila ada karyawan yang tak menerima surel, bisa dipastikan posisinya masih aman.

Akibat PHK, Grab maupun Gojek sama-sama memberi pesangon. Pesangon itu berupa pembayaran sebesar 1,5 bulan gaji, gaji setengah bulan untuk setiap 6 bulan masa kerja atau berdasarkan peraturan setempat, kepemilikan laptop agar karyawan diharapkan bisa mencari kerja lainnya, pertanggungan kesehatan hingga akhir tahun dan lainnya.

Tak hanya PHK, aplikator juga berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan. Gojek misalnya akan menutup layanan yang sangat tergerus akibat Covid-19 seperti layanan Go Life. Layanan tersebut akan dihentikan per tanggal 20 Juli mendatang.

Kejadian di atas bisa jadi tanda bahwa kedua perusahaan penyedia ride hailing sudah mulai kelimpungan. Tak hanya Grab dan Gojek, aplikator lain macam Uber dan Lyft pun melakukan hal serupa akibat efek dari pandemi.

Keadaan yang baru (new normal) mau tak mau memaksa perusahaan di atas berpikir realistis seperti menghentikan layanan yang tak bertahan saat pandemi dan memaksimalkan layanan inti saja. Tak hanya itu, keputusan berani juga mesti ditempuh seperti PHK karyawan, meski keputusan tersebut bukan keputusan yang mudah.

Baca Juga:  Komorbid dan Standard Akhlak yang Baru

Memaksimalkan layanan inti seperti pesan makan atau kirim barang saat pandemi merupakan langkah rasional agar perusahaan mampu bertahan. Adanya gerakan #dirumahaja membuat layanan inti tersebut mengalami peningkatan dari segi pemakaian meski tak begitu signifikan.

Selain karyawan, perlu juga diperhatikan nasib dari mitra kerja atau driver. Kepastian status driver bisa dibilang belum jelas hingga sekarang. Belum jelas di sini adalah masih beredarnya anggapan bahwa driver adalah karyawan dari sebuah perusahaan aplikator. Dalam praktiknya, sistem perekrutan driver menggunakan sistem kemitraan. Bila disebut kemitraan, maka undang-undang yang dipakai bukan undang-undang tentang ketenagakerjaan, tapi undang-undang tentang kemitraan.

Karena sifatnya kemitraan harus ada koordinasi yang intens dan transparan antara aplikator dengan driver. Koordinasi itu semisal adanya fitur atau layanan baru atau perihal kejadian yang tidak mengenakkan saat sedang melaksanakan order. Tak jarang terjadi kemunculan fitur atau layanan baru tanpa ada koordinasi antara keduanya dan dilakukan secara sepihak oleh aplikator. Bahkan tak jarang kita dengar adanya pemutusan kemitraan sepihak dari aplikator karena hal-hal sepele seperti pemberian nilai atau rating rendah kepada driver padahal driver tidak melakukan hal-hal yang menyalahi aturan atau undang-undang yang berlaku.

Dengan demikian, kepastian payung hukum perlu mendapat perhatian khusus agar dapat memberikan perlindungan maksimal bagi pihak-pihak yang bermitra terutama driver.

Dari kejadian di atas, mungkin sejenak perlu kita lihat tulisan pada bak truk, “jaman saiki susah dolek duit, tuyul ae sambatan” yang berarti zaman sekarang susah cari uang, tuyul saja ikut mengeluh. [HW]

Hanif Nanda Zakaria
Penulis Buku "Bang Ojol Menulis" Alumnus Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini