Pondok Pesantren mempunyai tradisi pengajaran agama Islam. Alasan pokok munculnya Pesantren ini adalah untuk mentransmisikan Islam tradisional sebagaimana yang terdapat dalam kitab–kitab klasik yang ditulis berabad–abad yang lalu. Kitab–kitab ini dikenal di Indonesia sebagai kitab kuning. Pondok Pesantren bukanlah satu–satunya lembaga pendidikan Islam, dan tradisi yang muncul itu hanyalah satu dari beberapa aliran Islam Indonesia masa kini.
Unsur-unsur kunci Islam tradisional adalah lembaga pesantren sendiri, peranan dan kepribadian Kiai yang sangat menentukan dan karismatik-karismatik persis sebagaimana dalam pengertian Weberian. Sikap hormat, takzim dan kepatuhan mutlak kepada Kiai adalah salah satu nilai pertama yang ditanamkan pada setiap santri. Meskipun santri mempelajari kitab-kitab dari teks tertulis, namun penyampaian dari Kiai sangatlah penting. Kyai menyampaikan atau menerangkan kitab di depan para santri, sementara para santri memegang kitabnya sendiri-sendiri lalu memberi harakat atau mencatat penjelasan dari Kyai tersebut, baik secara lughawi (bahasa) maupun ma’nawi (makna). Para santri boleh mengajukan pertanyaan kepada Kyai terkait isi penjelasan kitab yang dikaji. [1]
Saat ini mayoritas santri menjalankan sistem madrasah, yakni ada kenaikan kelas, kurikulum yang baku dan ijazah. Namun banyak juga pesantren yang masih menerapkan metode tradisional, di mana beberapa santri membaca kitab tertentu di bawah bimbingan sang Kiai. Setelah santri menamatkan kitab yang dipelajarinya, mereka mendapatkan ijazah (bisa diberikan secara lisan atau tertulis), dan setelah itu mereka bisa berpindah ke pesantren lain untuk mengkaji kitab lain. Para Kiai selain mengajarkan kitab kepada para santrinya para Kiai juga mengadakan pengajian mingguan untuk umum yang membahas kitab-kitab yang relatif sederhana.[2]
Pesantren mempunyai tradisi sufistik dan ubudiyyah. Banyak Kiai yang mengajarkan kepada pengikutnya ibadah dan amalan sufistik yang khas. Seperempat dari hasil karangan ulama tradisional terdiri dari kitab-kitab tasawuf dan akhlak.
Pondok pesantren bisa di anggap lembaga yang Khas Indonesia. Meskipun ia merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional, namun ada perbedaan di beberapa aspek dengan sekolah tradisional di dunia Islam mana pun. Tetapi di sisi lain pada saat yang sama ia berorientasi internasional. Tradisi kitab kuning, jelas bukan berasal dari Indonesia. Semua kitab klasik yang dipelajari di Indonesia berbahasa Arab, dan sebagian besar ditulis sebelum Islam tersebar di Indonesia. Demikian juga banyak kitab syarah atau teks klasik yang bukan berasal dari Indonesia (meskipun jumlah syarah yang ditulis ulama Indonesia semakin banyak). Bahkan pergeseran serupa yang terjadi di sebagian besar pusat dunia Islam. Sejumlah kitab yang dipelajari di pesantren relatif baru, tetapi tidak ditulis di Indonesia, melainkan di Makkah atau Madinah (meskipun pengarangnya boleh jadi orang Indonesia sendiri.[3]
Banyak ulama Indonesia yang bertempat tinggal di Makkah untuk mengarang kitab, seperti Imam Nawawi Banten (wafat 1896-7) yang di puji Snouck sebagai orang Indonesia yang paling alim dan rendah hati, beliau merupakan pengarang paling produktif. Di samping kitab tafsirnya yang terkenal (Johns 1984, 1988), dia menulis kitab dalam setiap disiplin ilmu yang dipelajari dipesantren. Berbeda dengan pengarang Indonesia sebelumnya, dia menulis dalam bahasa Arab. Beberapa karyanya merupakan syarah atas kitab-kitab yang telah digunakan di pesantren dan menjelaskan, melengkapi atau mengoreksi matan yang disyarahi. Sejumlah syarahnya bisa menggantikan matan asli dalam kurikulum pesantren, tidak kurang 22 karyanya masih beredar, dan 11 judul dari kitab-kitabnya termasuk 100 kitab yang sering digunakan di pesantren. [4]
Pesantren sangat membantu untuk mencetak kader-kader ulama yang handal dalam hal ilmu-ilmu agama. Dalam hal tersebut untuk merealisasikan tujuan tersebut diselenggarakan pengajian kitab, yang di dalamnya mengandung ajaran-ajaran agama Islam untuk membentuk individu yang intelektual, berakhlak mulia, maka dari itu kitab-kitab yang di pesantren digunakan untuk kurikulumnya. Pada umumnya pengajaran ilmu-ilmu agama di pesantren di sampaikan melalui kitab-kitab klasik (kitab kuning).
Seorang santri ketika masuk ke dalam dunia pesantren, di situlah ia menjalani dengan dunia tersendiri, di mana peribadatannya menempati tempat tertinggi. Dari itu dilihat dari jadwal yang padat, kedisiplinan santri, dalam menjalankan ibadah seperti shalat berjamaah atau kegiatan lainnya di lingkup pesantren. Dalam hal ini santri harus iklhas dan senantiasa dalam melaksanakannya karena hal tersebut dipandang sebagai ibadah, upaya Kyai dari mulai merintis hingga mendirikan pesantren yang berkembang begitu pesat tanpa mengharapkan apapun termasuk duniawi sedikit pun, santri akan senantiasa menghabiskan waktunya untuk berkhidmah kepada Kiai. Hal ini tidak akan bertahan lama jika tidak dilandasi dengan sebuah bentuk ibadah dan pengabdian kepada Allah swt. Dalam kehidupan di anggap sebagai sarana ibadah pesantren memiliki cara pandang tersindiri ilmu pengetahuan, bagi seorang santri mencari ilmu adalah ibadah, sehingga berapapun lamanya di pesantren mereka tidak akan merasakan kerugian karena mencari ilmu adalah ibadah.[5]
Maka dari itu awal didirikannya pesantren mempelajari kitab klasik (kitab kuning) itu sangat penting, adanya kitab kuning di pesantren menjadikan kajian utama karena pada masa pesantren hanya mempelajari ilmu-ilmu keislaman saja. Oleh sebab itu kitab-kitab klasik menjadi pilihan yang tepat dan akurat untuk menggali ilmu-ilmu tentang Islam. Kitab-kitab klasik (kitab kuning) yang diajarkan di pesantren tergolong menjadi delapan kelompok yaitu: nahwu / shorof, fikih, ushul fikih, hadits, tauhid, tasawuf dan etika, Serta cabang-cabang ilmu lainnya seperti tarikh dan balaghah. Kitab-kitab klasik (kitab kuning) mengkaji tentang ilmu-ilmu keislaman, menjadi hal yang sangat penting untuk paradigma pendidikan Islam. Santri-santri yang belajar ilmu-ilmu agama dengan menggunakan kitab-kitab klasik (kitab kuning) tentu mendapatkan pemahaman keilmuan Islam yang baik.[6]
Dalam konteks kitab kuning di pesantren menggunakan metode-metode untuk menyampaikan ajaran yang di berikan, pesantren telah memperkenalkan dan menerapkan beberapa metode yaitu :
- Metode sorogan
- Metode hafalan
- Metode Bandongan
- Metode diskusi
- Metode karya ilmiah
- Metode evaluasi
Pembelajaran kitab kuning dilakukan dengan menggunakan jawa pegon, santri memberikan arti kata per kata dengan makna jrendel, karena sebagian besar santri meskipun orang Jawa asli belum tentu faham dengan bahasa jawa pegon, terlebih santri yang Berasal luar jawa. Dari perbedaan itu mereka semua disatukan dalam Pembelajaran sesuai kurikulum dan peraturan yang ada dan pembelajaran Kitab kuning yang menggunakan makna jawa pegon itu kemungkinan akan sangat berpengaruh pada hasil prestasi belajar siswa.[7]
[1] Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren Dan Tarekat, (Yogyakarta: Gading Publishing, 2015), hal. 85
[2] Ibid, hal. 86
[3] Ibid, hal. 87
[4] Ibid, hal. 88
[5] Indra Syah Putra Dan Diyan Yusr, Pesantren Dan Kitab Kuning, Al – Ikhtibar : Jurnal Ilmu Pendidikan, Vol. 6, No. 2, Desember 2019, hal. 4
[6] Ibid, hal. 5
[7] Sri Wahyuni dan Rustam Ibrahim, Pemaknaan Jawa Pegon Dalam Memahami Kitab Kuning Di Pesantren: Jurnal Ilmiah Studi Islam, Vol. 17, No. 1, Desember 2017, hal. 9