Hikmah Mengantre dalam Pembentukan Karakter Santri

Antre, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah berdiri berderet-deret ke belakang menunggu untuk mendapat giliran. Walaupun penerapannya dalam kehidupan keseharian, mengantre tidak hanya dilakukan dengan berdiri, kadangkala mengantre dilakukan dengan menggunakan nomor urut atau dengan cara lainnya. Beragam hikmah dapat diambil  dari kegiatan mengantre yang  diimplementasikan dengan baik.

Jika membahas antre, maka yang akan terbesit di benak kita adalah dinamika kehidupan santri di pesantren. Karena mengantre merupakan kegiatan santri yang tak akan terelakkan, seperti mandi, makan, wudhu, belanja di kantin dan lain sebagainya. Faktor tersebut dipengaruhi jumlah fasilitas yang kadang tidak berbanding lurus dengan konsumen.

Misalnya, dalam satu asrama terdapat 4 kamar mandi dan 20 santri. Jika dikalkulasikan, maka dalam 1 kamar mandi ada 5 orang harus mengantre untuk menunggu giliran mandi. Berikutnya, jika salah satu kamar mandi rusak dan tidak bisa digunakan tentu jumlah antrean akan semakin banyak dan waktu yang dihabiskan untuk menunggu akan semakin lama. Berbeda dengan di rumah, dewasa ini pada umumnya terdapat kamar mandi di setiap kamar tidur sehingga tidak perlu mengantre.

Kegiatan mengantre di pesantren tidak semata-mata tanpa hikmah dan pelajaran. Sesungguhnya sebagian besar Pesantren dapat membangun kamar mandi dan tempat wudhu yang banyak, dapur yang luas, sarana prasarana yang elit untuk memangkas waktu, memanjakan, serta menunjang semangat santri dalam menuntut ilmu.  Meski demikian, hal tersebut tidak direalisasikan karena akan berdampak kurang baik pada pembentukan karakter  santri.

Dari budaya mengantre santri diajarkan untuk bersikap sabar menunggu giliran, jujur untuk tidak mendahului giliran orang lain, disiplin melakukan kegiatan manajemen waktu, serta toleransi untuk mendahulukan orang lain yang dalam keadaan mendesak. Seiring dengan budaya mengantre, karakter-karakter santri terbentuk selaras dengan tuntunan agama Islam.

Baca Juga:  Covid-19 di Pesantren (2): Terinfeksi Korona Bukan Aib

Menurut penulis, sebenarnya budaya mengantre tidak bisa dijadikan alasan terbuangnya waktu, karena sesungguhnya kita dapat menyisipkan kegiatan lain dalam mengantre. Banyak dari santri di Pesantren yang membaca buku, muraja’ah hafalan, atau bahkan mengerjakan tugas ketika mengantre. Karakter santri terbentuk sebagaimana ia benar-benar memanfaatkan waktu yang ia miliki.

Dewasa ini tidak sedikit kelompok  menanggap mengantre adalah aktivitas yang tidak bisa disisipi dengan aktivitas lainnya. Sebagian mereka berpendapat, “nanti lah, saya kerjakan setelah pekerjaan ini selesai”. Pendapat tersebut tidak bisa disalahkan secara mutlak, karena fokus dalam beraktivitas adalah sesuatu yang sangat vital. Meski demikian, alangkah lebih baik jika terdapat beberapa aktivitas yang memungkinkan dikerjakan secara bersamaan dengan baik, sehingga waktu yang dimiliki seseorang akan lebih bermanfaat, efektif, dan efisien.

Dikutip dari sebuah hikmah “tandziimu-l- ‘amal yuwafiru nisfa-l-waqti” (mengatur pekerjaan, menghemat separuh waktu). Adapun kalimat mutiara berbahasa Arab lainnya, “al waqtu kaasyaifi, in lam taqto’hu qotoaka” (waktu bagaikan pedang, kalau kamu tidak memotongnya, maka ia akan memotongmu).

Hikmah di atas senada dengan perkataan Ibnu Abi Jamroh dalam kitabnya Bahjatun-Nufus, yaitu “Potonglah waktu dengan perbuatanmu agar waktu tidak memotongmu”. Kutipan ini menjelaskan bahwa apabila kita tidak memanfaatkan waktu dengan baik, maka kita akan binasa sebagaimana binasanya seseorang yang terkena sabetan pedang, jika kita tidak segera menghindar dan melawannya maka pedang akan memotong dan mencabik-cabik kita, karena waktu bagaikan pedang yang membunuh.

Banyak tokoh-tokoh nasional dan hebat lahir dari rahim Pesantren karena memahami urgensi waktu. Di antara mereka adalah KH. Hasyim Asy’ari yang memimpin perjuangan warga Indonesia di daerah Surabaya dan sekitarnya, serta KH. Ahmad Dahlan dengan metode pendidikan dan pengajarannya yang saat ini banyak diadopsi oleh sekolah sekolah modern.

Baca Juga:  Sejarah Jazirah Arab sebagai Permulaan Dakwah Islam

Ada Sebagian pihak yang beranggapan bahwasannya, Secara global seluruh santri yang pernah mengantre memiliki pribadi yang berkarakter dan santri atau orang lain yang tidak merasakan atau jarang mengantre tidak berkarakter. Gagasan ini membahayakan, karena dapat menyebabkan perpecahan antar pihak yang bersangkutan.

Sejatinya, Mengantre adalah salah satu dari sekian cara atau wasilah yang bertujuan untuk mencapai pribadi yang berkarakter. Ada banyak alternatif  lain yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan yang sama, seperti sebuah analogi lain, yaitu Mendirikan sebuah bangunan

Mengapa mendirikan bangunan bisa dianalogikan sebagai sebuah kegiatan yang dapat membentuk karakter?  Karena dalam pengimplementasiannya, dibutuhkan ketelitian dalam mengukur tinggi bangunan, kesabaran dalam Menyusun material, kedisiplinan waktu dan lain sebagainya.

Beragam aktivitas di dunia (selain mengantre) dapat dijadikan sarana pembentukan karakter pribadi seseorang. Meski demikian budaya mengantre adalah aktivitas yang paling sinkron dalam kehidupan santri yang dapat dijadikan sebagai sarana terbentuknya karakter.

Andai saja para warga penduduk negeri ini dapat menerapkan system disiplin mengantre seperti yang diterapkan di berbagai pesantren, maka kemungkinan besar yang akan terjadi adalah perubahan karakter pada setiap individu, walaupun ideologi tersebut tidak bisa disifati secara mutlak

Sangat disayangkan, jika mayoritas dari penduduk negeri ini tidak banyak yang mengindahkan budaya mengantre, karena tak jarang ditemukan di berbagai tempat umum seperti di pasar, terminal, stadion, bioskop terjadi keributan yang disebabkan mendahului giliran orang lain tanpa seizinnya dalam mengantre.

Laa tahtaqir syaian shoghiiron muhtaqiron, farubbamaa asaalati-d-dam al-ibaru” (Jangan engkau suka menghina sesuatu yang kecil dan tidak berharga, sebab kadangkala ujung jarum pun dapat mengalirkan darah). []

Muhammad Alfreda Daib Insan Labib
Mahasiswa Ilmu Hadis UIN Sunan Kalijaga

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini