Jam’iyyah Nahdlatul Ulama sebagai organisisi Islam terbesar di dunia merupakan hasil dari ikhtiar para pendahulu-pendahulu yang telah mengupayakan lahirnya Nahdlatul Ulama. Mengajarkan nilai-nilai ajaran ahlussunnah wal jama’ah yang habitus dari warisan pesantren. Akan tetapi perjalanan Nahdlatul Ulama bukan hanya menitik beratkan pada persoalan yang bersifat syar’iyyah. Cakupan yang lebih luas lagi dari fungsi NU adalah memiliki cita-cita untuk membangun sebuah peradaban umat manusia, mengkonstruksi kehidupan yang adil, harmonis, kesetaraan, dan akhlakul karimah. Sehingga tetap eksis dan relevan dengan berbagai tuntutan zaman.
Jika dihubungkan dengan agenda peradaban, berdirinya Nahdlatul Ulama memiliki hirarki dengan histori perdaban Islam. Ketika imperium Turki Usmani usai pada tahun 1920-an termasuk bagian dari tanda perubahan mendasar dalam peradaban Islam. Sebelum 13 abad yang lalu memiliki corak kemapanan dan kini dihadapkan dengan dekadensi peradaban yang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sebelumnya Nusantara dipandang sebagai pinggiran dan belum mampu memberikan kemapanan.
Melihat adanya dominasi Islam seperti masyarakat sunni yang dimobilisasi Dinasti Usmani dan Syiah yang dikuasai Dinasti Shafawi. Tidak berujung lama Turki Usmani runtuh sehingga menyebabkan ketidak stabilan arus ekspansi politik Islam. Dengan demikian memberikan tendensi kepada Nusantara untuk mengembangkan dan memberikan alternatif akan corak peradaban baru. Maka lahirlah Nahdlatul Ulama melalui instruksi para ulama sebagai basis dalam perjuangan tersebut.
Di dalam bukunya Gus Cholil, Perjuangan Basar Nahdhatul Ulama. Ia memberikan gagasan baru dari sisi internal Nahdlatul Ulama. Ia mengungkapkan bahwa perjalanan NU masih cenderung belum berubah, sehingga tidak bisa menyesuaikan dengan di lapangan dan formatnya bahkan relatif sama sejak tahun 1956. Dengan demikian, ketika dihadapkan dengan problem atau tantangan zaman yang ada belum mampu memberikan suatu jawaban. Akhirnya bangunan NU yang kokoh menjadi goyah dan seolah-olah menjadikan NU terjerembab pada jurang irrelevan.
Pada titik inilah kontrusksi organisasi NU harus diperbaiki dan memiliki transformasi dengan melakukan konfigurasi agenda yang disepakati bersama, aksi elaborasi jam’iyyah dengan jama’ahnya, pelaksanaan agenda yang terstruktur, mekanisme dalam rekrutmen pemimpin serta ketentuan kualifikasi, dan pihak dalam menjalankan program. Dalam hal ini agar mencapai format yang ideal, tentunya tidak hanya terpaku pada hal yang struktural, manajemen, melainkan cakap dalam pola pikir (mindset) dan memiliki mentalitas.
Kemudian bagaimana peran Nahdlatul Ulama di tengah kondisi dunia yang statis dan perubahan peradaban manusia? sebagaimana di dalam bukunya PBNU, Lagi-lagi Yahya memberikan pandangan bernas. Sebab untuk mengetahui fenomena tersebut tentu harus memiliki daya pemikiran yang cermat sekaligus intuisi yang tinggi. Gus Yahya menyebutkan empat klasifikasi perubahan peradaban manusia. Pertama, perubahan dalam aspek tatanan politik dunia, ini kemudian bercabang menjadi dua: peta politik dan identitas agama. Kedua, perubahan dalam aspek demografi. Ketiga, perubahan dalam aspek standarisasi norma. Keempat, perubahan disebabkan pengaruh globalisasi.
Selain hal itu, wajah Nahdlatul Ulama berkomitmen ingin mengangkat peradaban baru. Secara ruang lingkup berada dalam lingkungan kebangsaan Indonesia. Namun, sejak de facto kiprahnya adalah perdaban dunia. Tidak hanya diyakini keberadaannya yang sebatas hidup antara subkultur pesantren, lingkungan lokal, subkultural nanti yang akan membawanya pada lingkup global dan universal. Maka secara mutlak membutuhkan NKRI yang menjadi bagian titik tolak dalam membangun peradaban dunia.
Sebagaimana dalam makrifat jati dan makrifat dharma, Gus Cholil membagikan arah ke dalam tujuh belas poin dalam membentuk peradaban. Salah satu isinya adalah memobilisasi sumberdaya PBNU kemudian didistribusikan ke lembaga-lembaga, banom, PWNU, dan PCNU. Dengan mengikuti prinsip pengelolaan, badan pengendalian eksekusi program, penetapan regulasi jalannya organisasi, dan mengatur akses layanan organisasi.
Begitupula, tantangan untuk membangun kontruksi Nahdlatul Ulama di masa yang akan datang, setidaknya membutuhkan lahirnya kebangkitan intelektualisme. Memberikan kaderisasi baik melalui pesantren atau terstruktur (reguler). Mewujudkan kebangkitan teknokrasi dan kebangkitan kewirausahaan. Semua pergulatan ini dapat dibendung dengan baik, sehingga khidmah Nahdlatul Ulama terhadap dunia berkembang dengan ideal. []
Judul : Perjuangan Besar Nadlatul Ulama
Penulis : Yahya Cholil Staquf
Penerbit : Mata Air Publishing
Edisi : Cetakan 2020
Tebal : 148 halaman
ISBN : 978-602-74657-6-3