Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun Azan Jumat dikumandangkan melalui loudspeaker masjid di beberapa tempat di Belanda. Pemerintah Belanda mengizinkan suara azan diperdengarkan secara luas untuk men-support warganya yang beragama Islam dalam menghadapi wabah corona. Sampai saat ini pemerintah Belanda belum menghentikan pembatasan sosial (intelegence lockdown). Yang dilakukan hanyalah beberapa pelonggaran dengan mengizinkan anak sekolah dan rencana membuka beberapa tempat umum dengan protokol corona yang ketat. Setiap orang harus menjaga jarak 1, 5 meter dan tidak boleh berkumpul di tempat publik lebih dari dua orang. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenai pidana denda sekitar 6 juta rupiah. Selain pengetatan hukum, pemerintah Belanda juga memberikan subsidi kepada pengusaha dan masyarakat kecil yang terdampak. Bantuan kupon makan pun disediakan bahkan sebelum wabah berlangsung..

Jika dilihat lebih dekat, sebenarnya jumlah populasi muslim di Belanda tidak lebih dari 5 persen dari total jumlah penduduk Belanda. Kebanyakan warga muslim di Belanda merupakan keturunan Maroko yang bermigrasi pasca perang dunia. Keterlibatan orang-orang Maroko yang mayoritas muslim di dunia politik dan ekonomi menyebabkan kebanyakan orang Belanda mengasosiasikan Islam identik dengan orang Maroko. Pembunuhan politisi Belanda di tahun 2004 lalu oleh orang Maroko membuat sentimen negatif kepada mereka menguat dan ini berdampak pula kepada komunitas muslim di Belanda. Ini yang menjadikan politisi kanan seperti Geert Wilders yang dikenal di Indonesia sering membuat statement anti Islam mendapat panggung dan memperoleh suara di parlemen. Meskipun demikian pada tahun 2017 lalu, Pengadilan di Belanda menghukum Wilders karena melakukan ujaran kebencian kepada komunitas Maroko.

Harus diakui, perjuangan mengenalkan Islam yang ramah ala Indonesia di tengah Islamophobia di Belanda tentu tidaklah mudah. Jumlah penduduk muslim keturunan Indonesia di Belanda yang tidak sampai 1 persen dari total jumlah penduduk membuat suara masyarakat muslim Indonesia di Belanda tidak terdengar secara luas. Tercatat di seluruh Belanda, hanya ada dua masjid resmi yang dimiliki oleh Komunitas Indonesia di Belanda, Al Hikmah di Den Haag dan Al Ikhlash di Amsterdam. Selain di dua kota ini, warga keturunan Indonesia biasanya beribadah di Masjid milik komunitas Turki atau Maroko. Meskipun demikian, geliat perjuangan masyarakat keturunan Indonesia di Belanda tidak pernah padam

Baca Juga:  Mbah Abdullah Ulama' Pejuang Melawan Penjajah dan Penggerak NU Pancur Mayong Jepara

Saya jadi teringat perjuangan kakek saya almarhum KH Mahmudi Nur Hasyim mantan Syuriah NU Kabupaten Malang. Cobaan dakwah yang terjal sehingga memaksa beliau memindahkan pesantrennya yang dulu bernama NH Al Falah di daerah gang pande ke daerah Kauman Kepanjen dan merubah nama pesantrennya menjadi Darul Mahamid mengajarkan banyak hal. Selain keikhlasan dan kecintaan, pengembangan dakwah juga harus dilakukan secara terukur. Oleh karenanya, untuk mempermudah dakwah, saya bersama masyarakat keturunan Indonesia dan mahasiswa yang sedang studi di Belanda, pada tahun 2014 mendirikan Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama Belanda.  Beruntung saat saya menjadi Ketua Tanfiziyah pertama di NU Belanda dan hingga saat ini pengurusnya di dominasi mahasiswa yang sedang menempuh jenjang doktor. Jadi usaha untuk mengenalkan Islam yang ramah kepada publik Belanda bisa dilakukan secara simultan, meski hingga saat saya sudah tidak menjadi pengurus.

Beberapa usaha yang tercatat misalnya, pada 2017 lalu diselenggarakan Konferensi Islam Nusantara bekerja sama dengan Vrije Universiteit Amsterdam yang salah satunya menghasilkan Piagam Den Haag yang ditandatangani oleh 5 duta besar terkait pentingnya Indonesia menggunakan diplomasi Islam Nusantara yang ramah di tengah isu Islamophobia. Tahun 2019 konferensi Internasional kedua dilaksanakan bekerja sama dengan Universiteit Radboud Nijmegen. Tercatat antusiasme masyarakat Belanda terhadap konferensi ini cukup baik. Kita bahkan menjadi salah satu anggota konsorsium lintas agama di Belanda.

Selain mengenalkan Islam yang ramah ala Indonesia ke publik Belanda, kita juga tetap fokus pada pengembangan dakwah untuk komunitas Islam Indonesia. Selama Ramadan biasanya, kita memfasilitasi kedatangan para ustaz/kiai dari Indonesia untuk berdakwah selama sebulan penuh untuk kalangan komunitas Islam Indonesia di Belanda. Kita bahkan memfasilitasi kedatangan mahasiswa UIN yang melalukan KKN internasional di Belanda.

Baca Juga:  Membaca NU dari Orang Dalam

Selama masa wabah ini semua kegiatan terpaksa harus disesuaikan karena adanya pembatasan sosial yang diterapkan di Belanda. Karena Masjid ditutup, maka pengajian selama Ramadan ini dilakukan secara online. Setiap sore selama Ramadan para aktivis NU menyiarkan kajian kitab yang sesuai dengan konteks kehidupan di Belanda, mulai dari fikih wanita hingga soal akidah aswaja. Beruntung di tanah air banyak kiai pesantren yang menyiarkan kajiannya di media sosial selama wabah ini. Kita yang  tinggal di luar negeri pun saat ini bisa merasakan tradisi ngaji pasanan di pesantren meskipun hanya melalui daring. [HW]

Fachrizal Afandi
Dosen Departemen Hukum Pidana Universitas Brawijaya, Ph.D Researcher di Leiden University. Salah satu pendiri NU Belanda dan Ketua Tanfidziyah PCI NU Belanda 2014-2017. Saat ini tercatat sebagai anggota ISNU Komisariat Universitas Brawijaya Malang.

    Rekomendasi

    1 Comment

    1. […] kekerasan dan sejenisnya merupakan hal yang tidak dibenarkan agama (Islam). Oleh karenanya istilah Islamophobia muncul karena munculnya kelompok-kelompok ekstrem […]

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini