Opini

Penghapusan UN dan Research-Based Public Policies

Ganti menteri ganti kebijakan, merupakan ungkapan yang sering kita dengar sejak dulu. Jika dalam bidang yang langsung berkaitan dengan kehidupan publik, seperti pendidikan, perubahan kebijakan yang diperkenalkan menteri baru, sering kali membuat gaduh. Ini lah yang sekarang terjadi dengan kebijakan Pak Mendikbud yang akan menghapuskan UN di tahun 2021.

Saya sendiri tidak masalah dengan kebijakan baru yang diperkenalkan oleh menteri baru. Tantangan yang terus berubah tentu saja membutuhkan kebijakan yang terus diperbarui. Jadi wajar saja jika seorang menteri mengintrodusir kebijakan baru setelah dia menjabat. Hanya saja kebijakan yang ditetapkan Mendikbud kali ini perlu dikritisi karena beberapa alasan.

Pertama, kebijakan ini diduga tidak melalui kajian mendalam. Melihat rentang waktu yang pendek antara Mas Nadiem diangkat jadi Mendikbud dan kebijakan yang ditetapkan, sangat mungkin kebijakan ini tidak didasarkan pada kajian seirus terhadap berbagai aspek yang terkait dengan UN ini. Sebuah kebijakan yang berdampak luas secara nasional dan terhadap generasi mendatang tidak selayaknya ditetapkan secara terburu-buru apalagi hanya berdasarkan pemahaman individu. Dulu waktu menjabat presiden periode pertama, Pak Jokowi kencang meminta para menterinya untuk membuat kebijakan yang didasarkan pada kajian atau penelitian mendalam. Research based policies menjadi istilah yang naik daun pada saat itu, sehingga banyak kalangan menyambut baik dan kajian-kajian yang menghasilkan policy recommendation diproduksi oleh perguruan tinggi maupun lembaga-lembaga riset. Di awal periode kedua dari kepemimpinan Pak Jokowi ini justru Kementerian Pendidikan patut diduga tidak melakukanya. Ini adalah sebuah ironi karena kementerian ini sekarang membawahi lagi perguruan tinggi.

Kedua, kebijakan ini sangat mungkin akan menghasilkan ketimpangan kualitas pengukuran lulusan antara satu daerah dengan daerah lain. Fasilitas lembaga-lembaga pedidikan di Indonesia masih belum semua memenuhi standar. Banyak di antara mereka yang amat sangat sederhana. Bahkan di daerah-daerah terpencil banyak sekolah tidak memiliki guru sesuai kelas dan/atau mata pelajaran yang dibutuhkan. Guru yang ada pun sangat beragam, baik dari segi kualifikasi pendidikan formal maupun kemampuan riel dalam mata pelajaran yang diampu. Ini akan mengakibatkan lahirnya disparitas pengukuran lulusan jika ketentuan lulus akan diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing sekolah. Nilai tujuh di satu daerah tertentu bisa saja equivalen dengan nilai lima daerah lain.

Baca Juga:  Kebijakan Pendidikan Tinggi Masa Pandemi COVID-19

Ketiga, belum adanya badan yang kredibel yang menjaga mutu kualitas guru dan lulusan. Adanya tuntutan dari orang tua maupun dari instansi di atasnya, telah menjadikan sebagian sekolah dan sejumlah guru malakukan praktik tidak terpuji agar semua anak didik di sekolah lulus dan dengan nilai yang baik. Praktik nyontek jawaban teman dan kunci jawaban yang bocor sering kita dengar. Jika kelulusan diserahkan kepenuhnya ke sekolah masing-masing, apakah praktik seperti ini tidak akan makin parah? Sementara, lembaga yang mengawasi penyimpangan seperti itu belum ada. Jangankan lembaga negara yang melibatkan jutaan orang dan tersebar di seantero Indonesia, Gojek yang didirikan Mas Nadiem saja tidak bisa mengawasi penyimpangan yang dilakukan para mitra drivernya. Sebagai pengguna jasa Gojek, baik goride maupun gocar, beberapa kali saya menemukan driver yang menggunakan kendaraan yang berbeda dengan yang ada di aplikasi. Praktek itu kan penyimpangan, sebetulnya. Tapi perusahaan swasta yang didirkan Mas Nadiem saja tidak akan mampu mengatasi penyimpangan seperti itu. Bahkan kalaupun terjadi aplikasi dipinjamkan secara diam-diam ke driver lain pun, pasti tidak terlacak.

Tidak berarti saya menolak perubahan. Perubahan kebijakan harus dilakukan, khususnya oleh kementerian yang mengurus pendidikan ini, tapi harus dilakukan dengan pemahaman yang komprehensif atas masalah dan tantangan yang dihadapi. Kemudian disertai analisis atas berbagai factor terkait yang dilakukan oleh para ahli. Bukan perubahan yang ditetapkan secara mendadak dan terkesan tidak didasarkan pada kajian yang mendalam.

Saiful Umam
Dekan Fakultas Adab, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Alumni Santri PIM Kajen, Pati.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini