gerakan islam transnasional

Transnasional adalah kosakata yang belakangan ini semakin populer dan diperbincangkan dengan serius, bukan saja di Indonesia, melainkan juga di belahan dunia yang lain. Secara literal, ia berarti lintas nasional atau lintas kebangsaan. Istilah ini identik dengan istilah lain yang populer lebih awal: globalisasi. Sederhana memang. Tetapi, mengapa ia diperbincangkan begitu serius, terutama di kalangan masyarakat Muslim?

Transnasional bukan semata sebuah istilah tanpa makna yang penting. Ia kini dipahami sebagai sebuah istilah bagi gerakan politik internasional yang berusaha mengubah tatanan dunia berdasarkan ideologi keagamaan fundamentalistik, radikal, dan sangat puritan. Tiga istilah yang terakhir ini, dalam pengertian umum, menunjuk pada cara pandang dan ideologi yang berusaha mendirikan sebuah sistem pemerintahan mendunia atau yang biasa disebut khilafah.

Di dalam khilafah, aturan-aturan keagamaan (syari’ah) tertentu dan tunggal harus (wajib) diberlakukan bagi semua wilayah kekuasaannya yang direncanakan mendunia itu. Untuk mewujudkan impian tersebut, ideologi khilafah kemudian mengembangkan cara-cara khusus yang acap kali memaksakan kehendak dan tidak jarang melalui kekerasan, mengingkari hak-hak dasar individu dan keyakinan orang lain (the others). Gerakan politik transnasional tak ragu-ragu melakukan klaim kebenaran sepihak atas nama agama atau Tuhan.

Hari ini, dunia Muslim terkesima dengan gerakan ini. Para penganut gerakan transnasional selalu mengumandangkan jargon-jargon umum yang indah-indah dan melangit, sambil mengibarkan simbol-simbol agama dan meneriakkan kalimat-kalimat ketuhanan: Allahu Akbar! (Tuhan Maha Besar!). Mereka berkata, “Kembali kepada hukum Tuhan adalah satu-satunya cara kita memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Hanya hukum Tuhan itulah yang menyelamatkan kita dari kesengsaraan hidup ini”.

Dalam konteks masyarakat yang tengah dihimpit kemiskinan, terbelakang, dan tak berdaya, jargon-jargon besar dan simbol-simbol yang mengandung nuansa-nuansa sakralistik-transendental itu tentu saja sangat menarik dan mempesona. Namun, pada saat yang sama, mereka acap mencaci-maki orang lain dan menuduh ideologi-ideologi ciptaan manusia sebagai kafir, sesat, menyesatkan, dan kata-kata yang menstigmatisasi dan menggetarkan lainnya.

Ketika gerakan mereka memasuki mushalla, masjid, atau surau di desa-desa dan kampung-kampung miskin dan tak berdaya, maka kalimat-kalimat retoris tersebut ditangkap dengan penuh pesona oleh para jamaah. Mereka terbuai dengan klaim-klaim yang menjanjikan surga itu. “Ya, benar! Benar! Inilah yang ditunggu-tunggu. Ideologi-ideologi besar dunia semacam kapitalisme, sosialisme, dan neoliberalisme telah menciptakan kesengsaraan dan penderitaan mayoritas besar masyarakat dunia, dan terutama menghancurkan moral”, begitulah kira-kira teriakan-teriakan para jamaah.

Tentu tidak salah mempergunakan jargon-jargon besar dan general. Siapa yang akan merasa keberatan atau menolak jika dikatakan bahwa hukum-hukum Tuhan adalah Maha Benar dan Maha Adil, hukum-hukum Tuhan pasti membawa keadilan, kemaslahatan, dan kebaikan bagi manusia? Siapa yang menggugat atau menolak jika kepadanya diserukan untuk mentaati hukum-hukum Tuhan? Siapa yang tidak membenci kekafiran dan kemusyrikan? Seluruh pemeluk agama di dunia, pastilah membenarkan semua pernyataan ini, tanpa reserve.

Akan tetapi, ketika tiba pada giliran pendefinisian atas terma-terma keagamaan, seperti siapakah yang disebut muslim, kafir, dan musyrik, atau apakah yang dimaksud dengan Islam, syariah, kaffah, dan seterusnya, maka jawabannya menjadi tidak sederhana. Demikian juga tidak sederhana untuk mengoperasionalisasikan gagasan keagamaan dan jargon-jargon besar tersebut.

Bagaimana misalnya, hukum-hukum Tuhan (syariah) yang ada dalam teks-teks suci keagamaan itu harus dimaknai? Siapa pemegang otoritas tunggal atas penafsiran teks-teks tersebut? Jika pemaknaan itu harus dimusyawarahkan, lalu bagaimana mekanisme dan prosedurnya? Siapa saja yang berhak atas menafsirkan teks-teks tersebut? Apakah rakyat memiliki hak untuk berpendapat dan mengkritik tafsir-tafsir keagamaan itu? Jika ya, lalu bagaimana caranya?

Tetapi, segera dapat dikemukakan bahwa hak yang tampak sangat vulgar adalah bahwa ideologi transnasional akan bergerak ke arah penerapan hukum, sistem politik, ekonomi, dan kebudayaan yang pernah diberlakukan pada masa lampau, yaitu pada Abad Pertengahan, di Jazirah Arab. Mereka membangun kembali sistem khilafah sebagaimana dinasti-dinasti Islam dulu.

Dengan sistem khilafah, kewarganegaraan seseorang didasarkan atas identitas agama negara. Identitas agama di luar agama negara akan dianggap sebagai orang asing dan warga negara kelas dua. Negara akan dipimpin oleh seorang manusia yang bukan nabi, karena nabi sudah tidak mungkin lagi — tetapi mungkin akan mengaku atau dinobatkan sebagai nabi.

Seluruh kekuasaan negara dan pemerintahan berada di tangan sang Khalifah. Dialah yang membuat aturan hukum, mengontrol, dan mengadili, sedangkan rakyat dunia wajib tunduk kepadanya, tanpa reserve. Khalifah akan mengatakan kepada masyarakat bahwa rumusan-rumusan hukum yang dibuatnya berdasarkan perintah Tuhan, karena Khalifah adalah Zhilullah fil Ardh (bayang-bayang Tuhan di Atas Bumi), yakni pemegang mandat Tuhan.

Di tangan Khalifah yang bukan nabi itu, titah-titah Tuhan ditafsirkan menurut perspektif dan kepentingannya sendiri. Ia kemudian bisa mengatakan, “Barang siapa tidak berhukum dengan hukum Tuhan, maka ia kafir, zhalim, dan fasik (durhaka)”. Kalimat suci itu akan terus dikumandangkan di seluruh pelosok bumi. Ia menjadi senjata paling ampuh untuk menundukkan lawan-lawan politik atau ideologinya, sekaligus memberikan harapan yang menyejukkan hati atau justru memanipulasi rakyat jelata yang tak berdaya, karena di situ ada jaminan Tuhan.

Dengan kalimat suci itu pula, setiap individu atau komunitas, mazhab poitik, mazhab hukum, aliran kepercayaan, atau agama tertentu yang tidak sama atau tidak sejalan dengan keyakinan atau tafsir keagamaan sang penguasa tunggal itu bisa jadi akan dianggap melawan Tuhan, dan karena itu harus ditumpas, dihabisi, karena dianggap merusak tatanan yang dibuat Tuhan.. Demikian juga seluruh ekspresi kebudayaan, seperti tahlil, tawasul, maulidan, ushalli, ziarah kubur, cium tangan, dan sebagainya sangat mungkin akan dianggap sang penguasa sebagai praktik-praktik yang sesat dan menyesatkan, Bid’ah, menyimpang dari agama, musyrik, dan sebagainya.

Paham keagamaan yang dipraktikkan oleh Kerajaan Arab Saudi sampai hari ini merupakan contoh paling riil dimana ekspresi kebudayaan tersebut harus dilarang. Pada akhirnya, jihad menjadi kata kunci untuk “menyelesaikan” (baca: memberangus) seluruh perilaku dan tindakan kebudayaan rakyat itu. Ideologi transnasional dengan begitu mengimpikan sebuah negara autoritarianisme gaya baru, yakni sebuah negara yang ditegakkan melalui kekuasaan represif dan despotik. (IZ)

Husein Muhammad
Dr (HC) Kajian Tafsir Gender dari UIN Walisongo Semarang, Pengasuh PP Darut Tauhid Arjowinangun Cirebon, Pendiri Yayasan Fahmina Institute

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini