Islam mempunyai ciri yang sangat Khas yaitu dari sifatnya yang terdapat dimana-mana, kita harus bisa lebih memahami dan menggali Islam dari tiga arti: agama, negara dan budaya. Pemikiran tentang kegiatan dakwah secara khusus yang menggambarkan perkembangan dakwah sejauh pengamatan penulis yang dilakukan seseorang, berbeda dengan kajian ilmu-ilmu lain dalam Islam seperti bidang hadist, fiqih, tafsir, sejarah islam dan lain-lain telah banyak dikemukakan konsep pada ahli-ahlinya.
Munculnya suatu pemikiran Islam sebagai cikal bakal kelahiran peradaban Islam pada dasarnya sudah ada sejak awal pertumbuhan Islam, yaitu sejak pertengahan abad ke-7 M, ketika masyarakat Islam dipimpin oleh Khulafa’ al-Rasyidin.
Dimaksud dengan pemikiran Islam adalah suatu kegiatan umat Islam dalam mencari hubungan sebab akibat atau asal mula dari suatu materi ataupun esensi serta renungan terhadap suatu wujud, baik dari sisi materinya maupun esensinya sehingga dapat dijelaskan hubungan sebab dan akibat dari suatu materi atau esensi asal mula kejadiannya serta substansi dari wujud atau eksistensi sesuatu yang menjadi objek pemikiran tersebut.
Dalam dunia ilmu dan pemikiran mutlak sangat mempertimbangkan hal tersebut sebagai variabel yang dapat memberikan jaminan bagi diterimanya suatu produk ilmu dan pemikiran sekaligus juga sebagai landasan kontekstual bagi historisitas suatu pemikiran. Maka tidak salah jika dinyatakan bahwa, ilmu dan produk-produk pemikirannya dalam Islam sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial dan politik yang berkembang pada saat produksi pemikiran itu terjadi.
Islam sebagai agama universal, memberikan pedoman hidup bagi manusia menuju suatu kehidupan yang bahagia yang pencapaiannya sangat bergantung pada pendidikan, sebab pendidikan merupakan kunci pembuka kehidupan manusia. Sejarah pemikiran Islam menyajikan kajian tentang ajaran-ajaran pokok dan perkembangan pemikiran dalam Islam, sejak awal awal mula islam diturunkan, bahkan sedikit mundur dari belakang, Arab sebelumnya sampai sekarang.
Sejarah Peradaban Islam Bani Abbasiyah
Kekuasaan dinasti Bani Abbas atau khalifah Abbasiah, sebagaimana disebutkan, melanjutkan kekuasaan dinasti Bani Umayyah. Dinamakan khalifah Abbasiyah karena para pelopor dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Al-Abbas paman Nabi Muhammad Saw. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah Al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali Abdullah ibn Al-Abass.
Berdirinya Daulah Abbasiyah diawali dengan dua strategi yaitu: pertama, mencari pendukung dan penyebaran ide secara Rahasia, hal ini sudah berlangsung sejak akhir abad pertama hijriah yang bertempat di Syam dan tempatnya di Al- Hamima, sistem ini berakhir dengan bergabungnya Abu muslim al-Khurasani. Pada jum’iyah sepakat atas terbentuknya Daulah Abbasiyah, sedangkan strategi kedua dilanjutkan dengan berterus terang dan melakukan suatu himbauan-himbauan di forum-forum resmi untuk mendirikan Daulah Abbasiyah berlanjut dengan peperangan melawan Daulah Umawiyah.
Penduduk Abbasiyah lebih berhak dari pada Bani Umayyah atas kekhalifahan islam, karena mereka dari perpecahan bani Hasyim yang secara garis keturunan lebih dekat dengan Nabi, menurut mereka kaum Umayyah secara paksa menguasai khilafah melalui tragedi perang Siffin. Oleh karena itu, untuk mendirikan suatu Dinasti Abbasiyah mereka mengadakan sebuah gerakan yang sangat luar biasa dengan melakukan pemberontakan terhadap Dinasti Umayyah.
Masa Daulah Abbasiyah merupakan masa dimana perkembangan penerjemahan buku-buku dari luar arab, khususnya Yunani, Persia, Romawi dan India. Kemajuannya terjadi pada masa Khalifah Harun al-Rasyid dan puncaknya terjadi pada masa khalifah Al-Ma’mum, pada masa keduanya perbagai pada ilmu pengetahuan baik dari Yunani, Persia, Romawi maupun, khalifah al-Ma’mum memiliki keutamaan pengembangan kepustakaan ini dengan mementingkan filsafatnya yunani dan penerjamahannya untuk mementingkan kebudayaan keilmuan dan politiknya.
Sistem pemerintahan yang dilakukan kekhalifahan atau pemerintahan pada bani abbasiyah meniru cara Umawiyah bukan mencontoh khulfaur rasyididdin yang didasarkan atas pemilihan khalifah dengan Abbasiyah ialah pemakaian gelar Al-Mansyur, hal tersebut dapat ditelusuri dari lokasi di mana Abbasiyah berkuasa yang bersandar terhadap bekas kekuasaan Persia, sehingga model pemerintahan Persia dijadikan suatu acuan bagi pemerintahannya, antara lain dengan mengatakan seseorang penguasa adalah wakil dari Tuhan di bumi.
Sejarah telah membuat bahwa pada masa pemerintahan Daulah Abbasiah, umat islam benar-benar berada di puncak kejayaan dan memimpin peradaban dunia saat itu, menggambarkan hal yang sama bahwa Daulah Abbasiyah merupakan zaman dimana kedaulatan umat Islam telah sampai pada puncak kemuliaan baik kekayaan, kemajuan ataupun kekuasaan, pada zaman inilah telah lahir berbagai ilmu pengetahuan Islam.
Perkembangan masa politik abbasiyah kebijakan-kebijakan ini antara lain, pertama memindahkan ibu kota negara dari Damaskus di pindahkan ke Baghdad, alasan pemindahan ibu kota ini bukan untuk menghindari situasi yang tidak menentu baik di Damaskus maupun di kaufah yang masih kelihatan plin-plan, dengan dipindahkanya ibu kota ini diasumsikan roda pemerintahan akan berjalan dengan lancar dan maju.
Kebijakan Khalifah Al-Makmun dan Harun Al-Rasyid dalam Pengembangan Pemikiran dan Peradaban Islam
Harun Ar-Rasyid lahir pada tahun 763 M di Rayy. Ayahnya bernama Al-Mahdi bin Abu Ja’far al-Mansyur, yang merupakan khalifah dari Bani Abbasiyah. Ibunya bernama Khaizuran, seorang wanita sahaya dari Yaman yang dimerdekakan oleh Al-Mahdi. Harun ar-Rasyid dididik oleh keluarga Barmaki, Yahya bin Khalid merupakan salah seorang anggota keluarga Barmaki yang berperan di pemerintahan Bani Abbas, sehingga ia menjadi terpelajar yang cerdas, fasih berbicara dan memiliki kepribadian yang kuat.
Dia menjadi yang menangani penentuan para hakim, pemecatan mereka, satu mengawasi sikap dan tindakan mereka dialah orang yang pertama menetapkan para hakim dengan pakaian khusus yang membedakan dengan manusia.
Karena kecerdasan yang ia miliki walaupun usianya masih muda ia sudah ikut andil dalam urusan pemerintahan ayahnya. Ia pun menempuh pendidikan ketentaraan. Pada masa pemerintahan ayahnya Harun ar-Rasyid telah dipercaya dua kali sebagai memimpin ekspedisi militer untuk menyerang Bizantium (779-780) dan (781-782) sampai ke pantai Bosporus. Ia didampingi oleh para pejabat tinggi dan jenderal veteran.
Harun Ar-Rasyid merupakan khalifah ke lima ia adalah anak seorang dari bekas hamba sahaya yang dari fisiknya ia mempunyai badan tinggi, gemuk, berkulit putih dan berwajah tampan, arun Ar-Rasyid adalah salah satu khalifah dinasti abbasiyah yang sangat populer.
Daulah abbasyah mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid seorang khalifah yang sangat taat beragama, shalih, dermawan dan hampir bissa disamakan dengan khalifah Umar bin Abdul Azis dari Bani Umayyah. Jabatan kgalifah tidak membuatnya pesimis untuk turun langsung ke jalan-jalan pada waktu malam hari. Tujuannya untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi dan menimpa kaum yang lemah dengan mata kepalanya sendiri untuk kemudian memberikan pertolongan.
Nabi Muhammad SAW tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat islam setelah beliau wafat, tampaknya beliau menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum muslimin sendiri untuk menentukannya. Setelah beliau wafat dan jenazahnya belum dimakamkan, sejumlah tokoh muhajirin dan tokoh ansor berkumpul di balai Kota Bani Sa’diyah di madinah untuk musyawarah menentukan siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin. []