Akhirnya yang saya tunggu-tungu datang juga: agama mampu membuat keputusan besar dalam rangka membantu masyarakat yang terdampak Covid-19, khususnya bagi mereka yang kurang mampu. Ini penting, mengingat dampak sosial-ekonomi dari wabah ini benar terasa dalam kehidupan sehari-hari.
Adalah KH Said Aqil Siroj, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, yang menghimbau agar umat Islam mengeluarkan zakat maal (harta); zakat tijarah (dagang/ niaga); zakat pertanian (zira’ah); dan zakat fitrah, dipercepat di awal bulan Ramadhan ini, dalam rangka membantu masyarakat yang tidak mampu di tengah-tengah wabah Corona (Covid-19) ini,” ungkap alumnus Pondok Pesantren Lirboyo tersebut, yang dimuat di channel youtube NU Online.
“Mari kita tunaikan sesegera mungkin kewajiban zakat kita melalui NU Care – LAZISNU untuk bersama-sama kita mencegah Covid-19. Semoga amal zakat kita diterima Allah SWT, bermanfaat untuk kita sesama dan kita hidup bahagia dunia – akhirat,” pungkas Kiai Said.
Lega sekali saya mengetahui sikap ini, meski mungkin untuk sampai ke masjid dan mushalla bisa terlambat jika media tak ikut mengabarkan. Juga masalah teknis dalam membuat kepanitiaan (aamil) mungkin butuh waktu, mengingat hal ini tak biasanya dilakukan, khususnya zakat fitrah. Lazimnya, zakat fitrah dibayarkan dan didistribusikan menjelang Idul Fitri.
Sebelumnya, saya sempat was-was tentang nasib orang-orang yang terpukul dengan adanya wabah diikuti serentetan aturan menjaga jarak dan bahkan karantina wilayah ini. Bagaimana agama menjadi solusi akan hal ini? Tentu yang saya maksud adalah yang berbasis kebijakan struktural, bukan atas inisiatif personal.
Saya juga sempat berpikir, alangkah kerennya jika setiap masjid dan mushala di Indonesia – yang jumlahnya 800.000an dan terbanyak di dunia – menjadi solusi di tengah pandemi ini dengan membikin dapur umum untuk buka puasa dan sahur gratis. Atau kalau itu terlalu beresiko menimbulkan kerumunan, adalah dengan membagikan bahan makanan. Tapi persoalannya: apakah dana masjid boleh untuk sedekah makanan?
Di sini saya harus sadar diri bahwa saya bukan ulama. Saya hanya seorang santri. Tak berani membuat fatwa. Lagian kalaupun membuat fatwa, siapa pula yang mau mengikuti? Meski begitu, toh saya tetap saja manusia yang mempunyai akal dan berpikir. Pikian saya mengatakan begini: “boleh! Takkan ada artinya masjid yang megah kalau jamaah dan orangnya pada sakit semua. Dan menjaga jiwa itu adalah salah satu bagian terpenting dari hadirnya agama Islam di dunia.”
Begitulah pikiran saya yang sedang melayang-layang. Infaq dan sedekah masjid boleh untuk membasmi kelaparan. Kalau dana wakaf? Atau dana yang disiapkan untuk membangun masjid? Pada awalnya saya berpikir itu tidak boleh. Harus dibelanjakan sesuai hukumnya. Tapi lagi-lagi pikiran nakal saya berkata: untuk apa mempertahankan uang atau dana untuk membeli tanah masjid tetapi jamaahnya pada ngesot kelaparan sebelum akhirnya mati. Kesimpulan pemikiran saya – sekali lagi pemikiran saya, bukan fatwa – bahwa andai pun itu dana wakaf, dalam keadaan darurat boleh dibelanjakan.
Adh-dharuratu tubihul mahdlurat, kata kaidah fiqh, yang sempat saya belajar di pesantren dulu. Keadaan darurat itu membolehkan hal-hal yang dilarang. Dan tentunya, keadaan darurat di sini tak bisa disamakan antara daerah satu dengan daerah yang lain.
Itulah pemikiran dan kegelisahan saya di tengah wabah yang kian hari kian menyebar ke seantero negeri ini. Pemikiran bagaimana solusi agama menyelamatkan perut umatnya agar tak kelaparan di tengah karantina wilayah karena Corona.
Tentu, hal ini bukan berarti saya mengitrodusir apa yang sudah dilakukan berbagai ormas keagamaan, yang telah banyak berbuat untuk penanganan wabah Covid-19 ini. NU sendiri sudah membikin satgas dan ribuan posko, menggalang dana, dan berbagai upaya lahiriah lain. Juga upaya-upaya bathiniyyah dan edukatif yang penting, seperti mujahadah, menyikapi penolakan penguburan jenazah korban Covid-19, dan fatawa soal tidak shalat berjamaah di masjid untuk sementara. Upaya-upaya ini hanya efektif jika dilakukan oleh tokoh agama.
Zakat, Infaq dan Sedekah adalah Solusi Agama
Sedari awal, agama Islam didakwahkan untuk memperbaiki lahiriyyah-keduniaan dan batiniyyah-spiritual. Untuk spiritual, ubudiyah, tentu kita maklum bersama. Untuk hal yang bersifat lahiriyyah-keduniaan atau muamalah, meski sudah banyak instrumennya, dalam banyak hal masih belum begitu maksimal.
Zakat, infaq dan sedekah adalah ajaran agama Islam yang dimaksudkan untuk menjaga stabilitas ekonomi antara si kaya dengan si miskin. Atau dalam istilah kiri antara kaum borjuis dengan kaum proletar. Dimensi sosial ibadah ini adalah agar ada pemeratan ekonomi dan kesejahteraan dalam masyarakat dan mencegah ketimpangan. Hal ini dikuatkan Al-Quran Al-Hasyr ayat 7: ”…supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu…” Begitu firman Tuhan.
Di Indonesia sendiri, lembaga yang mengurus ini sudah ada, baik dari pemerintah maupun swasta. Artinya, instrumennya sudah ada, tinggal bagaimana memaksimalkannya di tengah pandemi ini untuk kemudian didistribusikan secara tepat baik timing-nya maupun sasarannya (ashnaf) yang berhak mendapatkan, seperti yang sudah ditetapkan Tuhan dalam Surat At-Taubah:10.
Walhasil, saya sangat bergembira mendengar Ketua Umum ormas Islam yang dengan cerdas, cekatan dan responsif membaca keadaan, menyerukan himbauan yang cukup revolusioner. Tinggal bagaimana himbauan ini ditindaklanjuti oleh kepengurusan di bawahnya, di-fordward sampai ke masjid dan mushala di seantero Indonesia. Juga media-media turut bahu-membahu mengabarkan, agar sampai kepada setiap mata dan telinga umat Islam yang sudah mencapai nishab dan berkewajiban mengeluarkan zakatnya. Dan hakikat zakat ini adalah untuk penyucian, karena sebagian harta kita terdapat hak orang lain. Orang lain di sini adalah mereka yang tidak mampu, yang masuk golongan berhak menerima (mustahiq) zakat.
Oh iya, ada saran menarik terkait dana masjid dari KH Marzuki Mustamar, Ketua PWNU Jawa Timur, yang pernah dirilis NU Online. “Takmir masjid selama ini bingung masalah fiqih terkait sah apa tidak menggunakan uang kas masjid untuk bantuan bencana atau janda miskin yang rumahnya hampir roboh, Ikrarkan uang kas masjid untuk kemakmuran masjid dan kemaslahan umat. Sehingga nantinya uang kas tersebut tidak hanya untuk kemakmuran masjid saja tetapi juga untuk kemaslahatan umat,” jelasnya.
Itu semua adalah solusi. Dan inilah kerennya ajaran Islam. Tinggal bagaimana mengimplementasikan. Karena faktanya tak hanya ada konglomerat dan pejabat yang tak mau bayar zakat, infaq dan sedekah, tapi malah junteru memanfaatkan keadaan dengan memonopoli “pasar” dan anggaran di tengah pandemi. Hal yang demikian perlu kita mewanti-wanti, agar tak bernasib sama seperti Qarun yang di telan bumi. Semoga, melewati hari-hari depan ini tak ada orang kelaparan di atas suburnya bumi pertiwi.[]