Teori Maskulin tentang gender sebagaimana dikutip Rosemarie Tong dalam Feminist Thought, bahwa “In order to appreciate radical-libertarian and radical-cultural feminist views on androgyny in greater detail, it is useful first to understand the so called sex/gender system. According to radical-libertarian feminist Gayle Rubin, the sex/gender system is a “set of arrangements by which a society transforms biological sexuality into products of human activity.” So, for example, patriarchal society uses certain facts about male and female biology (chromosomes, anatomy, hormones) as the basis for constructing a set of masculine and feminine gender identities and behaviors that serve to empower men and disempower women. In the process of accomplishing this task, patriarchal society convinces itself its cultural constructions are somehow “natural” and therefore that people’s “normality” depends on their ability to display whatever gender identities and behaviors are culturally linked with their biological sex”. (Rosemarie Tong, 2009: 51).
Menilik lebih dalam statement di atas, terdapat beberapa koreksi dari perspektif sosial. Pertama, gerakan patriarkisme sebagai pelopor dan komando bagi kalangan feminis-liberal libertanian yang dipelopori oleh Gayle Rubin, yang menyebut gerakan ini sebagai seperangkat pengaturan masyarakat dengan mengubah seksualitas biologis menjadi produk aktivitas manusia.
Kendati mengupas kembali gerakan Feminis Libertanian, sama halnya dengan menguak kasus diskriminasi terhadap kaum perempuan; penggolongan fakta-fakta tentang laki-laki dan perempuan yang kemudian membangun satu lanskap identitas gender maskulin dan feminin serta perilaku yang memberdayakan laki-laki dan melemahkan perempuan.
Namun harus diakui, perempuan memiliki kodrat alamiah sebagai life companion; bagi keluarga, yakni sebagai seorang istri dan ibu untuk anak-anaknya. Secara teks dan konteks, Islam sangat memandang tinggi perempuan. Potret kemuliaan dan cara memuliakannya telah dicontohkan sebagaimana termaktub pada Sirah Nabawiyah.
Kedua, adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, baik segi tupoksi (tugas, pokok, dan fungsi) maupun di luar konteks tersebut. Fatima Seedat dan Anna King dalam Feminisme Islam dan Islam Feminim sebagaimana Carl Ernst berpendapat bahwa sekejam apapun penilaian orang terhadap Muslim atau perempuan dalam Islam, mereka (Muslim) tidak pernah berpikir menghina balik, apalagi kepada kelompok yang jauh lebih kecil seperti Yahudi atau kulit hitam. (Fatima Seedat dan Anna King, 68).
Pendapat tersebut secara implisit merepresentasikan bahwa kesetaraan gender tidak hanya digagas oleh ilmuan Barat, tetapi Al-Quran secara fundamental telah memberikan ruang terhadap kaum perempuan untuk memperjuangkan hak-hak mereka, tanpa melampaui batas kodratnya sebagai kaum hawa. Pasalnya, perempuan memiliki inferioritas yang seringkali mendapat celaan dari kaum patriarki sebagai bentuk konkrit atas kodratnya. Kelemahan wanita secara psikologis menjadi tumpuan alasan untuk menjauhkan derajat perempuan.
Fetzer dan Sopper berpendapat tentang feminism barat, bahwa budaya Islam dicitrakan menindas perempuan (Fetzer dan Soper 2008: 169). Pandangan ini perlu diluruskan karena menyelipkan kontradiksi terhadap kritik perempuan dengan Islam. Pertama, tidak semua tokoh perempuan yang bertekad menjadi propagandis dalam memperjuangkan kemerdekaannya kontra tehadap perspektif Islam. Dua pespektif yang terdiferensiasi, tidaklah menimbulkan perlawanan secara historis.
Kedua, ketika melihat ruang lingkup feminism barat, maka Indonesia juga termasuk di dalamnya. Ruang lingkup Indonesia tidak bisa dipandang dalam jangka waktu dari tahun 1945 pasca kemerdekaan, karena jika dirunut berdasarkan sejarah agama Islam, sekitar abad 7M sudah masuk ke Indonesia, sehingga perkembangannya pun dimulai pada waktu itu. Konklusinya, kontradiksi yang dimaksud dalam feminism barat konteks Indonesia, tidak bersifat totalitas, terbukti Raden Adjeng Kartini menjadi propagandis hak-hak perempuan yang dapat dipastikan agamanya adalah Islam tulen sejak awal Islam masuk ke Indonesia.
Tidak jarang problem dalam kesetaraan gender adalah perihal leadership yang dianggap sakral dalam suatu organisasi. Perempuan dianggap kurang mumpuni dalam memimpin serta menjadi ulil ‘amri bagi khalayak umum. Padahal sejatinya pemimpin tidak menyuarakan persyaratan gender dalam ajang kontestasi tersebut.
Realitanya, eksistensi perempuan dalam hal leadership kurang diapresiasi sebagai suatu kebaganggan. Hal ini disindir keras oleh seorang Penyair, “Jika wanita lemah tersesat, Bintang-bintang lebih bersalah daripada mereka”. Untuk itu, perempuan terikat oleh rantai adamantine takdir yang pasti. (Marry Wollstonecraft, 1797: 31)
Hakikat perempuan adalah lembut, itulah mengapa petempuan berfungsi sebagai Madrasah al-Ulaa dalam keluarga, dikarenakan perempuan dalah sosok ibu yang akan menjadi sekolah pertama bagi anak-anaknya kelak. Sifat dan psikis yang luhur seorang perempuan menjadikannya figure sebagai pijakan lahirnya generasi-generasi hybrid atau berkualitas.
Dengan demikian, wajar bila perempuan harus dipaksa paham terhadap posisi dan porsinya. Salah satunya ialah perihal vitalitas––urgensitas kepemimpinan perempuan. Adapun yang harus diperhatikan agar stagnasi leader of woman, khususnya di Indonesia dapat teratasi sebagai berikut:
Ilm Al- Ulama’
Menjadi leader tidak semata-mata memimpin secara absolut dan anti kritik. Standar sosok pemimpin yang perlu dimiliki ialah kualitas (intelektual, spiritual, dan emosional), integritas, dan kredibilitas. Kualitas artinya spektrum pengetahuan dalam meramu kebaikan dan kedamaian demi kemashlahatan umat. Integritas yang dimaksud adalah bagaimana ia mampu menjadi leader yang loyalitas terhadap anggotanya; merangkul segala bentuk koalisi yang ada di dalamnya. Tanpa ilmu dan pengetahuan yang luas, maka kiranya sangat sulit bagi pemimpin untuk memimpin rakyatnya. Sedangkan kredibilitas menyinggung perihal kepercayaan atau transparansi.
Oleh sebab itu, pemimpin haruslah orang yang berilmu tinggi layaknya seorang Ulama’, sehingga memiliki pengaruh besar bagi orang-orang yang dipimpin. Selain itu, dengan kualitas Ilm al-Ulama’, pemimpin akan lebih mudah menebar kebaikan, menciptakan kemaslahatan, menyemai kedamaian bagi rakyatnya. Oleh karena itu, perempuan harus selangkah lebih maju daripada laki-laki, baik secara pengetahuan dan pengalaman.
Hikmah Al-Hukama
Konteks ini lebih kepada Justice and Peace; bagaimana seorang leader mampu bersikap moderat dalam mengambil suatu keputusan dengan melihat segala konsekuensi. Bijak dan independen berarti tidak memihak kepada salah satu pihak manapun. Maka peran perempuan sangat signifikan di sini, boleh dikatakan menjadi sentra netral. Salah satu sepakterjang yang harus digebrak adalah dengan memperkuat kualitasnya agar kebijakannya lebih direspon oleh anggotanya.
Siyasah Al-Mulk
Kualitas ini juga sangat penting, karena berkaitan erat dengan politik dan manajemen. Politik ialah salah satu cara mempengaruhi dan memberdayakan seseorang, atau bahkan cara untuk memperoleh kekuasaan. Dengan kekuasan, penegakan keadilan yang sarat dengan kabaikan mudah terlaksana. Karena idealnya, politik itu baik.
Sedangkan manajemen, seperangkat kemampuan untuk mengatur dan menyelesaikan segala problematika yang ada. Sehingga, negara yang dipimpinnya berdikari, tidak bergantung pada siapapun, tidak rentan atas kejamnya kerja alam. termasuk manajemen waktu adalah hal paling perlu diperhatikan agar kedisiplinan tercipta.
Perempuan lebih mampu melakukannya. kKarena selain kodratnya sebagai mobilitas keluarga dalam ruangan, ia juga diberi kebebasan dalam bertindak, entah dalam berkarir atau lainnya. Sehingga sangat mudah baginya dalam menjalani waktu jika sudah menjadi suatu kebiasaan dalam hidupnya. Wallahu a’lam bi al-Shawab.
Waw