Membuka awal tahun, saya ingin memberi rekomendasi judul film yang layak Anda tonton. Judul film itu adalah Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini, atau biasa disingkat NKCTHI. Film yang disutradarai oleh Angga Sasongko itu diadaptasi dari buku dengan judul yang sama.
Banyak ulasan berseliweran di dunia maya. Rata-rata ulasan itu memberi nilai positif. Film itu sukses mengaduk-aduk perasaan para penontonnya. Mengapa para penonton begitu antusias akan film itu, seakan film itu mewakili perasaan mereka?
Saya kira, kritik terhadap pola didik orang tua yang jadi sebabnya. Pola didik yang rata-rata jadi pakem bagi kebanyakan orang tua di Asia. Apa itu?
Rata-rata orang tua di Asia berpakem pada pola anak harus manut pada orang tua secara membabi buta. Hal ini berdampak pada timbulnya pengekangan, over protective, hingga anak-anak dilarang untuk bersedih. Hal itu ibarat sebuah kemurtadan akan kerasnya roda kehidupan. Tidak percaya?
Film NKCTHI berpusat pada sebuah keluarga dengan 3 orang anak. Angkasa, Aurora dan Awan namanya. Semua anak itu dididik dengan berprinsip tidak boleh ada kesedihan dalam hidup. Siapa yang berprinsip seperti itu? Ayah mereka. Benar, Ayah mereka mendidik mereka agar semaksimal mungkin mereka tidak sedih dalam menjalani hidup. Lalu, apa akibatnya?
Angkasa, sebagai anak pertama, dibesarkan serta disiapkan sebagai tameng. Mengapa dijadikan tameng? Dalam bayangan ayahnya, ia dipandang sebagai anak yang harus menjadi garda terdepan bagi adik-adiknya. Ia harus ada saat adik-adiknya sedih, ia harus ada saat adik-adiknya terluka, ia harus ada saat adik-adiknya membutuhkan segala hal. Akibatnya, ia masih saja disuruh antar jemput adiknya yang paling kecil, Awan, untuk berangkat dan pulang bekerja.
Aurora, seorang seniman kontemporer, menjadi pribadi yang sangat ‘patuh’ pada ayahnya. Sehari-hari hidupnya berpusat pada dua tempat, rumah dan studio pribadinya. Aurora seakan tidak punya kehidupan sosial di luar rumahnya sendiri.
Bahkan, Awan, anak paling kecil, tak pernah tahu rasanya memilih. Ia, dari kecil hingga dewasa, merasa apa saja yang ia perlukan tercukupi. Sejak usia sekolah hingga bekerja, ia seakan tercukupi lahir batin. Bahkan saat ia sudah bekerja di firma arsitek, tugas lembur dia bisa dibantu orang serumah. Padahal yang kerja di firma itu si Awan.
Bukan rahasia kalau banyak orang tua punya obsesi begitu besar terhadap anak-anaknya. Mereka berusaha memenuhi segala kebutuhan fisik hingga pengembangan bakat secara gila-gilaan. Setidaknya itu yang saya tangkap dari film NKCTHI.
Tapi, apakah orang tua tidak pernah melihat kalimat Bhinneka Tunggal Ika dalam simbol Garuda Pancasila? Atau iklan rokok yang bunyinya “karena bersama tak harus sama?”
Kritik dalam film itu senada dengan paragraf diatas; karena bersama tak harus sama. Anak-anak punya jalan hidup dan cara hidupnya masing-masing. Apalagi, bila anak-anak itu sudah beranjak dewasa. Sudah sepatutnya orang tua menyesuaikan diri dengan perkembangan anak-anak tersebut. Pilihan-pilihan yang akan diambil oleh anak-anak nantinya adalah kumpulan dari cara mereka bersikap tentang nilai hidup yang mereka yakini.
Coba bayangkan saat orang tua begitu otoriter pada anak. Sebagai anak-anak yang tumbuh besar dengan pola didik yang demikian, mereka tak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya tahu bagaimana menjadi anak yang patuh. Bukankah menyakitkan bila kita sangat disayang orang tua tanpa bisa menjelaskan apa rasa sayang itu sendiri.
Tetapi, film ini juga bukan berarti sangat sempurna. Coba Anda lihat. Angkasa, anak sulung yang bekerja sebagai event organiser sudah punya rumah kecil dengan perabot penuh merk IKEA, mobilnya bagus pula. Aurora si seniman, sudah punya studio pribadi yang bisa dibilang mewah, lalu Awan si anak bungsu juga mewakili anak kekinian yang hype abis.
Seakan lingkup keluarga dalam film itu serba berkecukupan. Lalu apa kabar konflik yang datang dari keluarga miskin? Boro-boro jadi EO konser atau bikin pameran seni kontemporer tunggal, shampo habis saja masih diisi air kok. Eh?