Frasa “Dekengane Pusat” menjadi bahasa khas oleh jemaah pengajian Sabilut Taubah (ST) seiring popularitasnya peceramah muda asal Blitar, Agus Muhammad Iqdam Kholid yang biasa disapa Gus Iqdam. Frasa itu menarik dalam konsep perkembangan bahasa. Ada pemaknaan intim terhadap lema “Dekengan” maupun “Pusat”, yang berbeda dari penggunaan sebagaimana lazimnya.

Bahasa Jawa dalam percakapan publik kerap muncul dan melahirkan dialog panjang. Industri musik genre dangdut koplo dengan kemunculan lagu-lagu dan nama artis yang menyebar lewat jenama media sosial menjadi satu faktor penting. Akhirnya, bahasa Jawa populer dan mudah menjadi perhatian bagi mereka yang bukan asli Jawa. Namun, di luar itu, keberadaannya juga merambat melalui forum pengajian.

Muhammad Wildan Sahidillah (2020) melakukan kajian terhadap beberapa kata dalam jurnalnya, “Kajian Semiotik dalam Ungkapan Politik Masyarakat Jawa di Kecamatan Gemolong”. Amatannya, “Makna yang sebenarnya dari kata backing atau dekkengan adalah perlindungan, tapi ketika digunakan dalam konteks politik, dekengan maknanya menjadi mempunyai perlindungan, dukungan finansial, dan pengayoman.”

Sementara lema “Pusat”, memang merupakan bahasa Indonesia. KBBI memberikan arti lema tersebut sebanyak lima: (1) tempat yang letaknya di bagian tengah, (2) titik yang di tengah-tengah benar, (3) pusar, (4) pokok pangkal atau yang menjadi pumpunan, dan (5) orang yang membawakan berbagai bagian.

Pada dunia administratif di Indonesia, “Pusat” mudah ditemukan dalam penamaan lembaga riset baik di pemerintah maupun kampus, badan, hingga dunia militer. Ambil contoh: Pusat Pengembangan Bahasa, Pusat Penerangan Tentara Nasional Indonesia, Pusat Riset Teknologi Reaktor Nuklir, Kantor Pusat Bank Rakyat Indonesia, hingga Pemerintah Pusat. Itu menandakan adanya sistem sentralisasi.

Dalam frasa “Dekengane Pusat” sebagaimana diucapkan oleh para jemaah pengajian dan akhir-akhir ini semakin populer di media sosial itu bukan merujuk pada persoalan politik dan administrasi bernegara. Namun, melainkan dari itu sebagai bentuk ekspresi membangun keterhubungan pada Allah SWT. Bahasa itu juga menyiratkan kerendahan hati, kesederhanaan, dan kepasrahan dari usaha dalam akumulasi menjalani hidup.

Baca Juga:  IQDAM

Bahwa di tengah perebutan ruang kepentingan—politik, bisnis, dan pengaruh—yang terkadang orang-orang harus menghasrati pengakuan, memerlukan peran pihak lain di belakang layar, hingga sirkulasi modal, ada satu titik perbatasan. Titik itu berupa transendensi, mengakui bahwa segala hal dalam menjalani hidup tak terlepas dari kuasa dan kehendak Tuhan.

Sama halnya dengan dua ayat Al-Qur’an yang dalam pengalaman saya sering dilantunkan di forum-forum pengajian Maiyah dan bagian dari zikir: (1) “Hasbunallah wanikmal wakil” (QS. Ali Imron ayat 173) dan (2) “Nikmal maula wanikman nasir” (QS. Al-Anfal ayat 40) yang artinya: (1) “Cukuplah Allah (menjadi penolong) bagi kami dan Dia sebaik-baik pelindung” dan (2) “Dia adalah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong”.

Forum majelis pengajian yang menghimpun banyak orang di daerah-daerah memang menjadi oase dalam mencukupi dahaga spiritualitas dan intelektualitas. Di sana terjadi transformasi ilmu dan pengetahuan, mekanisme kecerdasan, akumulasi nasihat dan petuah, hingga pelajaran dalam menafsir kehidupan. Keikhlasan dan ketulusan antara satu dengan yang lain dari frasa itu menjadi sebuah energi positif. Jauh dari ingar-bingar kepentingan politik kekuasaan.

Joko Priyono
Redaktur Pesantren.ID, Fisikawan Partikelir dan Budayawan. Penulis Buku Bersandar pada Sains (2022).

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini