Virus Covid-19 atau Virus Corona telah ditetapkan World Health Organization (WHO) sebagai pandemi. Hal ini memaksa berbagai pihak untuk memberlakukan protokol pencegahan. Tak terkecuali lembaga pendidikan pesantren. Fenomena yang belum pernah dihadapi kaum santri sejak lahir mereka. Kegiatan pesantren memang pernah vakum saat zaman penjajahan Jepang dan awal kemerdekaan. Namun itu diakibatkan karena peperangan. Bukan karena alasan kesehatan.
Dipulangkannya para santri di seluruh pesantren di Indonesia, membawa kesedihan tersendiri. Pesantren menjadi sepi dari pengajian yang biasanya semarak. Hampir 24 jam sehari. Namun kesedihan ini tidak berlangsung lama. Santri memang dididik kreatif dan tahan banting menghadapi segala keterbatasan. Keinginan untuk terus mengaji, tidak terhalang oleh raga yang terpisah dengan kiai. Pengajian tetap diadakan, dengan bantuan teknologi.
Hari-hari ini mulai semarak pesantren-pesantren mengadakan ngaji online. Para kiai bagai turun gunung. Kerso di syuting secara live streamingnya. Entah live di YouTube, Instagram maupun Facebook. Demi agar para santri di rumah tetap bisa mengaji di Ramadan 1441 H ini. Pengajian online sebelumnya adalah hal yang langkah di pesantren. Para kiai sebelumnya banyak yang belum menghendaki pengajiannya di rekam. Mungkin karena khumul (low profil) ataupun ada pertimbangan ‘Bila ingin ilmu datangi saja ikut ngaji. Ilmu itu didatangi, bukan mendatangi’.
Cara baru ngaji kitab ini menunjukkan bahwa kaum santri akomodatif terhadap perkembangan zaman. Tidak anti-pati terhadap kemajuan.
Para santri memahami dengan baik kaidah “Al-Muhaafadzoh alal qadimish sholih, wal akhdzu bil jadiidil ashlah”. Melestarikan tradisi salaf yang baik, dan mengambil perkara baru yang juga dipandang baik.
Selain ngaji online, para kiai juga tetap mengadakan pengajian bagi santri yang tidak pulang dan bertahan di pesantren. Pesantren Lirboyo terlihat mulai membuka pengajian Kitab Shahih Bukhori menyambut Ramadan tahun ini. Tidak banyaknya santri di pondok bukan menghalang penghalang untuk tetap mengaji. Kiai-kiai pesantren Tambakberas juga tetap meneruskan pengajian/istimror yang ada. Begitu pula pesantren lainnya.
Tradisi semarak pengajian Ramadan, tetap digaungkan oleh kaum santri. Baik yang mukim tidak pulang, maupun yang pulang karena Corona. Ketiadaan kitab yang biasanya dibeli di toko kitab, disiasati dengan men-download kitab dari internet.
Dalam kitab Ta’limul Muta’allim dijelaskan, ada satu masa dimana para pencari ilmu di zaman itu tidak bisa mengaji. Pengajian berhenti lebih dari sepuluh tahun. Karena adanya gonjang-ganjing politik pergantian kekuasaan. Masa tidak bisa mengaji diistilahkan dengan masa fatroh. Murid yang tetap mutholaah di masa fatroh inilah, yang kelak menjadi ‘ulama. Tetap menjadi ‘Ulama. Tetap mencari ilmu, istifadah dan mutholaah di masa sulit. Keajegan mengaji merupakan bukti kecintaan terhadap ilmu.
Doktrin Istikamah lebih mulia dari seribu karomah, telah diteladankan oleh para kiai. Tugas santri untuk melanjutkan tradisi ini.
Teringat sebuah syi’ir yang sering dilanggamkan para kiai, tentang pentingnya keteguhan/tsabat. Termasuk ketika mengaji. Syi’ir berbahar rojaz yang berbunyi, “Aku tak kan takut dan berpaling menghadapi musuh. Walaupun musuh datang bertubi-tubi.”
Ngaji kitab online juga memperkuat ceruk dakwah pesantren. Bila biasanya yang mengaji hanya santri yang mukim di pesantren, ngaji online bisa diikuti pula oleh alumni maupun mereka yang tertarik ikut ngaji dengan Kiai. Keunggulan pengajian tidak bisa dibandingkan dengan mendengarkan ceramah. Pengajian kitab memiliki tema yang jelas, pembahasan yang runtut dan tentunya mengkaji karya ulama terdahulu yang dikenal Mukhlis.
Bagaimanapun, bila Pandemi Corona ini telah berakhir, perlu bagi para santri untuk mukim kembali di pesantren. Tidak ada yang bisa melebihi dahsyatnya efek pembelajaran bit talaqqi. Bertemu langsung dengan guru. Face to face. Melihat langsung gerak gerik, mimik dan rona wajah keteduhan kiai dan ibu nyai. Keteledanan, keikhlasan dan perjuangan para guru yang menginspirasi. Inilah pentingnya pengajian yang bertemu langsung dengan guru. Bukan sekedar transfer ilmu, namun juga inspirasi keteladanan. Malaikat Jibril pun memerlukan diri untuk bertemu, menyimak bacaan Alquran Nabi Muhammad sekali tiap tahunnya. Dan terakhir dua kali pada tahun kewafatan nabi.
Memang benar, tiada batasan bagi kaum santri untuk tetap mengaji. Ngaji, adalah jalan hidup seorang santri. Dengan mengaji, hiduplah santri. Mondok nganti rabi, Ngaji nganti mati. [HW]
Finalis 10 Besar Sayembara Menulis Santri 2020 (Ramadan, Santri, dan Covid-19).