RUU HIP dan sesat logika para wakil rakyat

Di tengah suasana duka bangsa Indonesia karena aneksasi pandemi Covid-19, “para” wakil rakyat kita, malah asyik dan rame-rame dengan “mainan mereka sendiri”, yakni hak inisiatif mereka dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP).

Saya sering ditanya, teman ngobrol saya, Sakiman namanya. Sakiman memang biasa menyapa saya Kang, maklum kebiasaan sapaan hormat wong ndeso. Ia bertanya: “Kang, DPR itu – yang katanya wakil rakyat yang terhormat itu – sesungguhnya mewakili siapa sih? Kok buat RUU HIP yang sudah diprotes masyarakat, ada ormas Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama, Kelompok-kelompok masyarakat yang sudah “mendeklarasikan” penolakan mereka, akan tetapi tampaknya mereka masih “ngotot” untuk meneruskannya?”

Ternyata, Sakiman, yang nasibnya tidak seberuntung saya, karena tidak sempat mengenyam bangku kuliah, karena ijazahnya pun, dia sambil bekerja serabutan, dia ikut kejar paket C. Ia bilang ingin kuliah, sebenarnya, tetapi keadaannya belum memungkinkan, diam-diam ia rajin mengikuti berita-berita politik.

Melalui media sosial dan media elektronik, ia menyimak secara saksama. Tidak jarang, ia nggerundel (Jawa) dan ngomel-ngomel sendiri, karena “kesel” dengan pilihannya ketika pemilu legislatif lalu. Namun tampaknya ia memiliki talenta sebagai analis politik. Mungkin seandainya, kuliahnya nutug, ia sudah menjadi politisi, atau jurnalis?

Dengan kritisnya, Sakiman bilang ke saya dengan memilih diksi kalimat yang menohok? “Pak, Pancasila itu kan sudah disepakati oleh para founding fathers Negara Indonesia, pada 18 Agustus 1945, dan selama 75 tahun ini, sudah menjadi dasar negara, falsafah hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara? Kenapa para wakil rakyat itu, ingin mengurai lagi dan ingin kembali kepada pidato Bung Karno 1 Juni 1945?

Dengan nada emosional, “ini gak bener para wakil rakyat. Mereka ini sudah sesat logika. Apa mereka tidak mengingat pesan Proklamator NKRI Bung Karno, “jas merah” artinya “jangan melupakan sejarah? Karena kesepakatan 18 Juni 1945, tentu yang memimpin adalah Bung Karno, karena beliau menjadi Ketua Panitia Sembilan.

Baca Juga:  Nilai-Nilai Pancasila yang Luhur Tumbuh Subur dalam Bingkai Kebhinekaan Generasi Santri Masa Kini

Masih dengan “nerocos” – sampai gak sempat nyeruput kopinya, Sakiman meneruskan, “seandainya Bung Karno masih hidup, tentu beliau akan sangat marah”. Memang, awalnya pidato Bung Karno, 1 Juni 1945, yang lalu muncul Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila, meskipun sebenarnya ini juga kontroversial.

Kedua, perumusan panitia Sembilan di rumah Soekarno dan disetujui BPUPKI, 22 Juni 1945, yang pada sila pertama adalah “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.

Karena pertimbangan persatuan dan kesatuan bangsa dan kokohnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) rumusan Pancasila disepakati, dengan rumusan sila: 1. Ketuhanan Yang Maha Esa. 2. Kemanusiaan yang Adil dan beradab. 3. Persatuan Indonesia. 4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. 5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Sakiman pun masih “getem-getem” meneruskan ngomongnya di hadapan saya, dengan mengutip QS. An-Nahl (16): 92, “Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian)-mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. Dan sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan”.

“Kalau sampean ngomong terus berapi-api begitu, kapan saya ngomongnya” jawab saya sambil gojegan. Saya katakan, “para wakil rakyat itu, membuat UU HIP karena melihat: pertama, adanya realita bahwa pengambilan kebijakan penyelenggara negara selama ini masih berjalan sendiri-sendiri antar lembaga tanpa adanya pedoman dalam mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam setiap pengambilan keputusan. Kedua, belum adanya pedoman bagi penyelenggara dalam menyusun, menetapkan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi terhadap kebijakan pembangunan nasional baik di pusat maupun di daerah berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Ketiga, belum adanya pedoman bagi setiap warga negara Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya 17 untuk mempertautkan bangsa yang beragam (bhinneka) ke dalam kesatuan (ke-ika-an) yang kokoh. Keempat, belum adanya pedoman bagi Penyelenggara Negara dalam menyusun dan menetapkan perencanaan, pelaksanaan, serta evaluasi terhadap kebijakan pembangunan nasional di bidang politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, mental, spiritual, pendidikan, pertahanan dan keamanan yang berlandaskan pada ilmu pengetahuan dan teknologi guna mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang berketuhanan (Naskah Akademik RUU HIP, h. 16-17).

Baca Juga:  Pancasila dan Maqashid Syariah

Masih ingin meneruskan, sudah diinterupsi Sakiman. “Jadi maksud wakil rakyat itu seolah baik, tetapi penempatannya salah. Pancasila yang selama ini menjadi sumber segala sumber hukum, falsafah dan dasar negara, landasan ideologi dan pemersatu bangsa, kok mau diatur dalam UU. Bukankah itu berarti men-downgrade atau mendegradasi Pancasila itu sendiri Kang”? tanya Sakiman bersungut-sungut. Kang Sakiman, “tolong sampean gak usah emosional”, para wakil rakyat saja “senyum-senyum santai kok, eh kamu yang bersungut-sungut” sela saya.

Dengan tidak sabar, Kang Sakiman, masih ingin meneruskan. “Saya tidak terima Kang?” Pancasila sudah disepakati kok mau diperas-peras, yang katanya menjadi trisila dan bahkan ekasila, gotong royong?” Dalam draft RUU HIP, “Pasal 7 (1) Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/ demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan. (2) Ciri Pokok Pancasila berupa trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan. (3) Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong”, bukankah ini namanya kemunduran berfikir 75 tahun ke belakang Kang?

Kang Sakiman, bagaimana kalau “diskusi” kita ini disambung, kebetulan saya harus acara “halaqah” secara daring. Kang Sakiman pun, nimpali “apa itu daring Kang?” Risiko pandemic Covid-19, kita tidak bisa ketemu berkerumun, jadinya secara online atau dalam jaringan (daring). Kalau luar jaringan disebut luring. Sambil masih menarik nafas Panjang, sementara diskusi diskors. Dalam hati saya, ternyata Kang Sakiman yang lulus kejar Paket C, tetapi analisisnya tajam, dan berani mengatakan, kalau para wakil rakyat yang semangat membuat RUU HIP, sesat logika. Masya Allah. [HW]

Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, M.A.
Guru Besar Ilmu Hukum Islam UIN Walisongo Semarang

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini