neoplatonisme-5

Para Cendekiawan muslim ketika itu berusaha memasukkan filsafat Yunani sebagai bagian dari metodologi untuk menjelaskan Islam, terutama akidah/teologi/kalam. Hal ini dilakukan secara lebih jauh untuk melihat perlunya harmonisasi antara wahyu dan akal budi. Tak ada alasan apapun bagi mereka baik politis, ekonomi dan lain-lain untuk menerjemahkan karya-karya pengetahuan manusia kuno, siapapun dan apapun agama mereka, karena menurut mereka Islam sendiri mementingkan ilmu pengetahuan untuk menyingkap kebenaran-kebenaran wahyu Tuhan. Proses penerjemahan khazanah intelektual dan spiritual Yunani itu dilakukan dan diperkirakan memakan waktu 150 hingga 200 tahun. Untuk kurun waktu yang panjang bahasa Arab menjadi bahasa ilmu pengetahuan yang paling penting di dunia, menggantikan bahasa kuno. Kekuasaan wilayah muslim meluas sampai ke eropa. Amerika Serikat belum lahir.

Demikianlah, maka tak lama sesudah itu muncul sejumlah sarjana dan cendikiawan muslim generasi pertama yang membaca sekaligus mendiskusikan secara antusias pikiran-pikiran filsafat Platonisme. Beberapa orang yang bisa dan sering disebut antara lain, Al-Kindi (800-873 M), Abu Nasr Al-Farabi (870-950 M), yang di dunia muslim dikenal sebagai “al-Mu’allim al-Tsani”, (guru kedua), sesudah Aristoteles, Ibnu Sina (980-1037 M) yang di dunia Barat dikenal sebagai Avicenna, Abu Bakar al-Razi (864-930 M) yang di dunia Barat dikenal sebagai Razhes, dan Ibnu Rusyd al-Hafid (1126-1198 M), Averroes, interpretator Aristo. Di dunia muslim mereka lebih dikenal sebagai para filsuf dengan kekaguman yang luar biasa terhadap Aristoteles dibanding kekagumannya terhadap Platon. Mereka dikenal sebagai penganut filsafat Paripatetik. Di luar itu terdapat sejumlah tokoh muslim lain yang namanya sering disebut sebagai kaum sufi-falsafi, pengagum filsafat Platon. Beberapa di antaranya yang paling banyak disebut orang adalah Abu Yazid al-Bisthami (813-875 M), Husain Manshur al-Hallaj (858-922 M), Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111 M), Ibnu Arabi (w. 1165-1240 M), Maulana Rumi (1207-1273 M), Abd al-Karim al-Jili (1365-1428 M) dan Suhrawardi al-Maqtul (sang terbunuh). Ini untuk menyebut beberapa saja dari sekian banyak tokoh lain dengan gagasan sejenis. Mereka ini adalah orang-orang yang namanya terlalu sering disebut para pengkaji tasawuf falsafi dengan perspektif Illuminatif. Di luar itu ada satu kelompok intelektual fenomenal yang sangat intens mendiskusikan gagasan-gagasan filsafat Neoplatonisme itu. Ia adalah “Ikhwan al-Shafa” (Persaudaraan Suci).

Baca Juga:  Sejarah Jazirah Arab sebagai Permulaan Dakwah Islam

Secara umum para pemikir, teolog dan mistikus muslim di atas menaruh kekaguman luar biasa terhadap dua filsuf terbesar sepanjang masa itu. Ibnu Rusyd, komentator Aristoteles, menyebut Aristoteles sebagai manusia unggul dan ahli pikir terbesar sepanjang masa. Tak ada tokoh lain sesudahnya yang bisa menambah atau mengurangi pikiran-pikirannya. Semua filsuf sesudahnya hanya memberikan catatan-catatan pinggir belaka. Ia sering menyebutnya sebagai “Aristo al-Ilahy”. Sementara itu Abd al-Karim al-Jili, pembela dan penerus gagasan Ibnu Arabi, menulis pernyataan yang menarik tentang Platon. Ia mengatakan:

“Aku bertemu Platon yang oleh kaum literalis dianggap kafir. Aku melihat dia berada di sebuah tempat, di ruang metafisika dalam sorotan gemerlap cahaya dan dalam ceria. Aku melihat dia dalam posisi yang tidak pernah aku lihat pada siapapun kecuali di antara para kekasih Tuhan. Lalu aku bertanya kepadanya: “Siapakah anda?”. Dia menjawab: “Aku Platon, aku kutub zaman dan satu yang terbesar dalam segala waktu”.

Abd al-Rahman Badawi dalam “Al-Aflathuniyah al-Muhdatsah ‘Inda al-‘Arab”, bahwa pikiran-pikiran filsafat Neoplatonisme masuk di dalam dunia Islam lebih banyak melalui pikiran-pikiran Plotinos, Porphyrius dan Proclos. Kaum muslimin awal menyebut Plotinus sebagai “Syekh Yunani” dan membaca bukunya “Tusa’at Aflatun” (“Enneades”). Buku terkenal ini merupakan bagian dari “Teologi Aristoteles”. Ia juga disebut dengan nama “Teologi Platon”. Al-Syihristani, menulis tokoh ini dalam bukunya yang terkenal “Al-Milal wa al-Nihal”. Tetapi tokoh paling banyak dipelajari adalah Proclos. Proclos (410 M – 480 M.) merupakan, filosof Neoplatonis terbesar terakhir. Ia merupakan ahli sintesa filsafat Yunani terbesar terakhir yang menyebarkan pengaruh yang luas terhadap para pemikir muslim abad pertengahan bahkan sampai masa renaisans. [HW]

Baca Juga:  Menyoal Tentang HAM, Islam, Prinsip Keadilan dan Kebebasan Beragama

Bersambung

Husein Muhammad
Dr (HC) Kajian Tafsir Gender dari UIN Walisongo Semarang, Pengasuh PP Darut Tauhid Arjowinangun Cirebon, Pendiri Yayasan Fahmina Institute

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini