polemik Radikalisme melalui pendekatan Good Loocking

Ini bicara  mengenai pengalaman saya menjadi ketua Rohis periode 2013/2014, memang benar adanya ketika menjadi aktivis keislamaan di SMA. Ada tawaran-tawaran mengikuti beberapa pengajian, kajian atau majelis yang datang dari beberapa ormas keislamaan.

Mulai, berbentuk kajian keislamaan dari masjid sekolah-sekolah, mengadakan seminar bertajuk keislamaan, bahkan mengundang di acara muktamar khilafah pada tahun 2013.

Mereka menawarkan beragam solusi keislamaan pada kalangan remaja ketika itu, ada yang menawarkan membenahi akhlak ketika remaja saat, solusi mengenai problematika remaja hingga tawaran isu khilafah sebagai wacana keislamaan pada waktu itu.

Sebelum membahas persoalan mengenai polemik Radikalisme melalui pendekatan Good Looking, kita harus mengetahui siapa saja yang dimaksud kelompok radikal tersebut Menurut Nadirsyah Hosen identifikasi sebagai kelompok radikal itu sebagai berikut:

Pertama, kaum takfiri yang menganggap kelompok selainnya sebagai kafir. Berbeda pandangan sedikit saja langsung kita dikafirkan. Ini radikal dalam keyakinan.

Kedua, kelompok jihadis yang membunuh orang lain atas nama Islam. Mereka melakukan tindakan di luar hukum tanpa alasan yang dibenarkan secara syar’i. Ini radikal dalam tindakan.

Ketiga, kelompok yang hendak mengganti ideologi negara dengan menegakkan Negara Islam dan/atau khilafah. Tindakan mereka merusak kesepakatan pendiri bangsa. Ini radikal dalam politik.

Karakter radikal di atas bisa merupakan kombinasi ketiganya: mengkafirkan, membunuh, dan mau mengganti Pancasila. Ini yang paling berbahaya, apalagi kalau mereka merupakan jaringan transnasional.

Dalam perjalanan saya menjadi aktivis Rohis menemukan hampir indetifikasi kelompok radikal diatas. Mulai dari kelompok yang mengatasnamakan Bina Insan Kamil (BIKA) yang mengajak monitoring di masjid-masjid sekolah , ada juga Gema Pembebasan yang menyuarakan Khilafah di sekolah-sekolah, hingga beberapa kajian-kajian yang bersifat tentatif yang menyuarakan permunian akidah keislamaan.

Mereka bukan saya yang mengundang tetapi mereka datang sendiri, bahkan salah satu ormas sudah ada secara temurun sebelum saya masuk menjadi aktivis Rohis. Walhasil, mereka sudah menjamur melakukan pergerakan yang terstruktur dan masif.

Mengapa anak muda di SMA menjadi landang dakwah beberapa ormas radikal?

Pertama, anak muda di SMA dapat dikatakan buta pengetahuan agama. Sehingga, mereka (ormas-ormas tersebut) mudah saja berdakwah dengan merekrut para anak-anak muda menjadi bagian mereka. Saya merasakan sendiri, banyak teman-teman aktivis Rohis sangat kewalahan menghadapi ormas-ormas radikal. Mereka menyampai argumen keagamaan dengan begitu meyakinkan.

Banyak sebagian aktivis rohis ketika itu mengikuti kegiatan itu, tetapi ada sebagian juga yang menolak mengikuti kegiatan itu. Alasan mereka sederhana, karena tidak selaras dengan pendekatan yang mereka suarakan terhadap anak-anak SMA, terutama aktivis Rohis.

Kedua, anak muda di SMA secara semangat keagamaan terdidik cenderung membubung tinggi. Banyak mereka mencari jawaban persoalan-persoalan keagamaan. Ormas-ormas demikian memanfaatkan situasi, dengan terus mendatangi teman-teman aktivis Rohis. Mereka sering datang mengikuti kegiatan keislamaan di sekolah dengan mengemas dakwah yang membuat teman-teman simpati.

Saya setuju dengan tulisan yang ditulis Najib Azca yang berjudul “Yang Muda, Yang Radikal”. Dia mengajukan argumen bahwa pemuda sebagai agensi memiliki kecenderungan lebih kuat dan kemungkinan lebih besar terlibat dalam gerakan sosial radikal dibandingkan dengan orang dewasa. Ahli Psikologi Erik H. Erikson (1968) menggunakan krisis identitas untuk menjelaskan proses dan dinamika psikologis dari fase transisi dari masa kanak (childhood) menuju fase dewasa.

Erikson lebih lanjut beragumen bahwa keracunan identitas acap berujung pada krisis identitas : “sebuah titik balik yang niscaya, sebuah momen krusial, ketika perkembangan mesti terjadi dengan satu atau lain cara, dengan mengerahkan sumber daya untuk bertumbuh, sembuh, serta difiriensasi lebi lanjut.

Pendapat tentang krisis identitas ketika anak-anak SMA yang semakin ingin tahu dalam hal beragama. Fase peralihan ini disebut dengan fase kritis, mana dimana anak-anak SMA mengalami pergolakan pemikiran terutama permasalah keagamaan..

Ke-dua indikasi ini menjadikan mengapa ladang bahwa sekolah umum dan perguruan tinggi sebagai ladang dakwah ormas-ormas radikal. Mereka  milirik anak-anak muda terutama anak-anak Rohis sebagai incaran. Sehingga mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan kader yang dilatih secara doktrinal agar mereka militan dan loyal.

Lalu, benarkah kelompok radikal melalukan pendekatan Good Looking?

Ungkapan ini menjadi pernyataan menteri Agama Fahrul Razi. Eks Wakil Panglima TNI yang memang terlihat cukup beringas terhadap apa-apa yang berbau radikal. Fahrul Razi membeberkan cara masuk Radikal mereka mudah sekali: Pertama dikirimkan anak yang good looking, penguasan bahasa arabnya bagus, hafidz mereka pun mulai masuk.

Tentu saya tidak mengamini semuanya pertanyaan Menag Fahrul Rozi. Berdasarkan pengalaman saya ketika menjadi aktivis Rohis. Pendekatan yang mereka lakukan tidak satu-satunya Good Looking untuk menarik simpati aktivis seperti saya, melainkan mereka lebih menggunakan pendekatan persuasif dengan cara membentuk kelompok-kelompok kajian kemudian membahas persoalan seputar keislamaan.

Mereka mengedepankan pendekatan rasionalitas ketika mendampingi kegiatan monitoring. Contoh saja, pemurnian kembali agar kita kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis dengan mencontohkan praktik-praktik keagamaan sehari-hari. Mereka melakukan bukan satu kali atau dua kali, tetapi mereka melakukan berkali-kali dan berkelanjutan.

Secara penampilan sebenarnya biasa-biasa saja, tak ada yang spesial dari pemateri yang saya ketahui. Hanya saja, mereka tak segan-segan untuk mengimingi dengan fasilitas ketika mengikuti monitoring, seperti makanan, anter jemput, bahkan uang saku.

Jadi, sebenarnya bukan persoalan Good Looking yang menyebarkan paham radikal tetapi lebih kepada indoktrinasi yang berkelanjutan untuk kalangan aktivis-aktivis keislaman ketika itu. Dengan mereka melakukan secara simultan ditambah dengan fasilitas mentereng mungkin bisa jadi timbul rasa simpati untuk mengikuti kelompok radikal.

Pernyataan Menag Fahrul Rozi, justru menjadi blunder. Ini menunjukkan ketidakpahaman Menag dan data yang tak akurat diterimanya. Yang seharusnya, merumuskan deradikalisasi  di kalangan sekolah ketimbang berbicara yang tak ujungnya jelas. [HW]

11405
Athoilah Aly Najamudin
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Santri PP. Al-Munawir Krapyak Yogyakarta.

    Rekomendasi

    1 Comment

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini