“Saya Salahuddin. Tolong saya dikirimi info terbitan tiga edisi jurnal Tashwirul Afkar yang terakhir,” begitu suara di ujung telepon. Saya menjawab biasa saja, seadanya, karena tidak mengerti siapa yang telepon. “Iya, nanti saya infokan, Pak..”
Namun, betapa terkejutnya saat orang yang telepon tadi kirim SMS berisi nama lengkap beserta alamatnya. Kira-kira begini SMS-nya: “Kirim a.n. Salahuddin Wahid dengan alamat XXX. Jangan lupa infokan berapa saya harus bayar.”
Ya Allah, ternyata Gus Sholah yang telepon saya. Saya segera merespon SMS-nya dengan menyatakan akan mengantar langsung ke rumah. Beberapa hari kemudian saya mengunjungi rumahnya dengan membawa pesanannya. Kebetulan jarak kantor saya (Lakpesdam) di Tebet dengan rumah Gus Sholah di sekitar Mampang relatif dekat. Itu terjadi sekitar tahun 2008 atau awal 2009. Ini pertemuan kedua saya dengan Gus Sholah yang bisa ngobrol langsung. Pertemun pertama, saya sowan beliau di Tebuireng tahun 2007, waktu itu di sana ada acara Syarikat Indonesia, lembaga para santri untuk rekonsiliasi. Waktu itu banyak sekali anak muda berkumpul di pesantren Tebuireng. Tahun 2016 akhir saya kembali ke Tebuireng untuk keperluan wawancara, namun Gus Sholah waktu itu dibawa ke RS di Surabaya.
Pertemuan terkahir dengan Gus Sholah terjadi di rumah sakit Carolus, Jakarta Pusat. Waktu itu saya menjenguk Gus Im (Hasyim Wahid), adiknya bungsunya Gus Sholah. Di sana ada Gus Sholah beserta istrinya (putri KH Saifuddin Zuhri) yang ramah, malah mengajak foto bersama. Kami berfoto. Saya, Savic Ali, dan Eman Hermawan berdiri di sisi Gus Sholah dan istrinya.
Tadi malam, pukul sembilan kurang, Kiai Salahuddin bin Kiai Abdul Wahid Hasyim menghembuskan nafas terakhir di RS Harapan Kita, Jakarta. Usianya 77 tahun. Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun..
Pribadi yang Bersahaja
Sama dengan Gus Dur, juga putra-putri almaghfurlah Kiai Abdul Wahid Hasyim lainnya, Gus Sholah adalah pribadi yang bersahaja dan sederhana. Dia ini tokoh, keturunan orang yang punya nama besar, tapi mudah ditemui dan mudah diajak bicara. Orangnya jauh dari kesan mempersulit urusan, bersedia menyapa, bertemu, dan bicara dengan siapa saja.
Saya kira, hari ini tidak mudah mencari orang dengan posisi tokoh dan keturunan kanan kirinya “emas” yang gampangan. Bayangkan, bapak Gus Sholah adalah Kiai Abdul Wahid Hasyim kakeknya Hadrotusy Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari. Kita tahu siapa ayah dan kakeknya. Mertuanya juga bukan orang biasa, yakni Kiai Saifuddin Zuhri. Namun, dengan posisi “tinggi” seperti itu, ia tampil biasa saja. Seorang Gus Sholah sebetulnya sudah cukup memadai untuk sombong dan menjauh dari orang kebanyakan.
Namun, kenyataannya, Gus Sholah memilih biasa saja. Bicaranya pun tidak basa-basi (suaranya khas, serak dan berat). Sekali lagi, susah mencari orang begini. Kita kehilangan teladan budi pekerti yang lembut.
Pendidikan
Kiai Abdul Wahid Hasyim awal tahun 1950an berseloroh: mencari sarjana di NU susahnya minta ampun, sama seperti mencari es di tengah malam. Mungkin karena itu, putra beliau tidak ada yang nyantri hingga “bulukan” di pesantren, kecuali Gus Dur. Ya, cucunya ulama besar dan pendiri NU tidak belajar agama secara “nglothok”. Gus Sholah yang dipelajari adalah “ilmu umum”, tepatnya arsitektur. Gus Sholah mendapatkan gelar “insiyur” di Institut Teknologi Bandung. Gus Im, bungsunya Kiai Wahid, belajar ilmu ekonomi di UI.
Saat Gus Sholah menjadi pengasuh utama Pesantren Tebuireng, menggantikan pamannya Kiai Yusuf Hasyim, banyak orang yang ragu kemampuan Gus Sholah memimpin pesantren, bukan saja karena beliau selama ini lebih banyak tinggal di luar pesantren, bahkan ilmu agamanya pun diragukan.
Namun, Gus Sholah membuktikan bahwa dirinya juga seorang kiai yang layak mempin pesantren besar warisan kakeknya. Di bawah kepemimpinan Gus Sholah, Tebuireng tumbuh pesat menjadi pesantren yang kokoh dan berwibawa.
Kita kehilangan teladan orang yang punya perhatian pada dunia pendidikan yang memadukan antara “ilmu umum” dan “ilmu agama”.
Berbeda dengan Gus Dur
Entah karena berbeda pendidikan atau apa, Gus Sholah punya perbedaan cukup mencolok dengan kakaknya, Gus Dur.
Awal-awal mahasiswa, saya pernah membaca esai Gus Sholah dan Gus Dur berbeda pendapat tentang Pancasila. Detailnya saya lupa. Namun, bagi yang akrab dengan keluarga Tebuireng, berbeda sesama kerabat bukanlah hal yang istimewa. Biasa saja. Satu contoh: jauh sebelum Gus Dur dan Gus Dur bersilang pendapat di koran, berpuluh tahun sebelumnya, Kiai Abdul Wahid Hasyim dan adiknya, Kiai Abdul Karim Hasyim juga telah berpolemik di majalah internal NU, namanya majalah Berita Nahdlatoel Oelama (BNO).
Perbedaan Gus Sholah sama Gus Dur juga terjadi di ranah partai politik. Saat Gus Dur bikin PKB, Gus Sholah bersama pamannya, Kiai Yusuf Hasyim malah mendirikan partai sendiri. Kita kehilangan teladan orang yang damai, berakhlak di tengah perbedaan.
Kita semua kehilangan banyak hal karena kepergian Gus Sholah. Akhirnya hanya bisa berdoa, semoga beliau husnul khotimah, diampuni segala khilaf dan dosanya. Al-Fatihah…