Mungkin tidak banyak diantara kita yang mengenal nama Jamaluddin Athiyyah, ia merupakan tokoh reformasi maqashid syariah kontemporer. Sosok Jamaluddin Athiyyah masih menjadi tokoh yang asing dibanding dengan tokoh Maqashid Syari’ah lainya seperti Imam al-Juwaini (w.1085 M), Imam al-Ghazali (w. 1111 M), Imam Izzuddin bin Abdissalam (w.1209), Imam Syatibi (w.1388 M), Ibnu Asyur (w. 1907) sampai Jasser Auda. Mereka adalah tokoh yang sudah masyhur dikalangan akademisi dan karya mereka sering dijadikan referensi pokok.
Jamaluddin Athiyyah merupakan tokoh maqashid berkebangsaan Mesir yang lahir pada 5 Desember 1928. Pemikiran beliau di bidang hukum Islam di pengaruhi oleh pemikiran ulama terkemuka seperti Imam al-Gzazali, Imam Syatibi, Ibnu Ashur, Syekh Abdul Wahhab Khallaf dan Syekh Muhammad Abi Zahra. Gagasan maqashid syariah Jamaluddin Athiyyah tidak lepas dari fanatisme beliau terhadap karya tokoh maqashid syariah seperti al-Mustashfa karangan Imam Ghozali, al-muwafaqot karya Imam Syatibi, dan maqashid syariah al-Islamiyyah karangan Ibnu Ashur. Bentuk fanatisme ini yang kemudian melahirkan komentar dan kritik Jamaluddin Athiyyah terhadap konsep maqashid syariah yang ditawarkan pendahulunya.
Kritikan Jamaluddin Athiyyah terhadap maqahid disampaikan dalam karyanya yang berjudul “Nahwa Taf‟ili Maqashidi as-Syariah”. Dalam bukunya, Jamaluddin Athiyyah mengembangkan dimensi maqashid yang lebih luas supaya relevan dengan topik kajian kontemporer. Beliau berpendapat bahwa maqashid merupakan kemaslahatan, melebihi kemaslahatan duniawi, kemaslahatan fisik manusia, kemaslahatan individu seperti yang dianjurkan oleh kapitalis dan eksistensialis, kebaikan bersama dan pekerja seperti yang dianjurkan oleh sosialis dan marxis, kemaslahatan bangsa tertentu seperti yang dianjurkan oleh kaum fasis dan ultra nasionalis, dan melebihi keuntungan sesaat seperti yang dianjurkan oleh orang-orang utilitarianisme.
Kategorisasi Maqashid: al-Kholqi dan al-Syari’
Keunikan maqashid jamaluddin athiyyah bisa dilihat dari kategorisasi maqashid yang beliau tawarkan. Athiyyah mengemukakan bahwa maqashid terbagi menjadi dua yaitu yaitu maqashid al-Khalqi dan maqashid al-syar’i. Maqashid al-khalqi dapat di pahami sebagai tujuan Allah menciptakan manusia atau makhluk (takwin). Maqashid ini sangat banyak sekali motif tujuanya, yaitu; 1). supaya beribadah kepada Allah (Q.S. al-Dzariyat: 56), 2). Supaya menjadi khalifah (Q.S. al-Baqarah: 30), 3). Supaya melestarikan bumi (Q.S. Hud: 7), 4). Supaya mengejar kebaikan (Q.S. al-Mulk: 2). Sementara itu maqashid al-syar’i cenderung kepada tujuan Allah membebankan hukum kepada makhluknya (lihat Nahwa Taf‟ili Maqashidi as-Syariah, hlm. 108).
Pandangan tersebut merupakan bentuk kritikan Jamaluddin Athiyyah terhadap Imam asy-Syatibi yang mendikotomi dua arah maqashid. Beliau berpendapat bahwa meskipun berbeda antara maqashid al-khalqi dan maqashid al-syar’i tetapi terdapat koneksi yang tidak bisa berdiri sendiri (sinergitas). Misalnya pada satu sisi Allah menciptakan manusia untuk beribadah, di sisi yang lain Allah juga memiliki maksud bahwa tujuan adanya syariat adalah supaya tunduk dan patuh kepada hukum Allah. Contoh lainya yang beliau ungkap yaitu bahwa secara maqashid al-khalqi manusia diciptakan tujuanya sebagai khalifah dan ini tidak bisa dilepaskan dengan maqashid al-syar’i yaitu tanggung jawab manusia sebagai penegak syariat dan kemaslahatan untuk memakmurkan bumi. Sederhananya adalah apabila manusia sebagai khalifah menjalankan tanggung jawabnya maka pasti akan berefek kepada kemaslahatan yang ada pada syariat (lihat Nahwa Taf‟ili Maqashidi as-Syariah, hlm. 109).
Maqashid al-syar’i menurut Athiyyah terdiri dari maqashid al-‘aliyyah yaitu inti dari adanya hukum supaya tercipta perdamaian, kasih sayang, persatuan bangsa, dan kemerdekaan. Sebagaimana yang digagas oleh tokoh maqashid, Jamaluddin Athiyyah juga membagi maqashid al-syar’i menjadi tiga bagian yaitu maqashid kulliyah (tujuan umum), maqashid al-khas (tujuan parsial), dan maqashid juz’iyyah (tujuan spesifik).
Gagasan pokok Maqashid Usrah
Keunikan lain dari maqashid Jamaluddin Athiyyah adalah memperluas maqashid kulliyat yang terdiri dari hifdz nafs (menjaga jiwa), hifdz din (menjaga agama), hifdz nasl (menjaga keturunan), hifdz aql (menjaga akal), dan hifdz mal (menjaga harta) yang kemudian di implementasikan kedalam empat dimensi yaitu dimensi personal (majal fardi), keluarga (majal usrah), publik (majal ammah), dan kemanusiaan (majal insaniyyah) (lihat Nahwa Taf‟ili Maqashidi as-Syariah, hlm. 139).
Bukan tanpa alasan Athiyyah mensistematisasi seperti ini, pengelompokan terhadap empat dimensi bertujuan untuk memperjelas pemahaman maqashid tiap dimensi. Kemudian bertujuan juga untuk menjelaskan maksud dari tingkatan dharuriyyah, hajiyyah, tahsiniyyah, dan juga untuk menyesuaikan maqashid dalam tiap dimensi karena terkadang penerapanya sering berubah-ubah (lihat Nahwa Taf‟ili Maqashidi as-Syariah, hlm. 139).
Menurut Jamaluddin Athiyyah, maqahid syariah yang berdimensi keluarga (majal usrah) terdapat tujuh maksud, yaitu: Pertama, mengatur hubungan dengan lawan jenis (tandimu ‘alaqah baina jinsaini). Ia mengungkapkan bahwa hubungan dengan lawan jenis sangat dijamin ketentuanya oleh pembuat syariat sebab didalamnya terdapat hak dan kewajiban yang yang dibebankan kepada manusia. Oleh karena itu terdapat berbagai macam ketentuan dalam dimensi ini yaitu ketentuan menikah yang memunculkan hak dan kewajiban suami istri, ketentuan poligmi, ketentuan perceraian dengan berbagai macam syarat, dan menjauhi hubungan selain pernikahan seperti zina atau hubungan yang tidak wajar. Hal ini dimaksudkan supaya menjamin pola hubungan yang baik (mu’asyarah bil ma’ruf) yang sesuai dengan syariat.
Kedua, menjaga generasi (hifdz nasl). Athiyyah menjelaskan bahwa regenerasi merupakan salah satu maksud karena Allah sebagai pembuat syariat menentukan penciptaan laki-laki dan perempuan sebagai sunnatullah. Oleh karena itu sesuatu yang menganulir adanya regenerasi sangat dilarang seperti homoseksual, mengubur anak, melakukan aborsi, melakukan ‘azl kecuali dengan kesepakatan suami-istri. Ketiga, realisasi sakinah, mawaddah, dan rahmah. Dalam dimensi keluarga, tujuan yang paling pokok adalah adanya ketentraman dalam keluarga. Sebab itu maksud syariat dalam dimensi ini adalah mu’syarah bil ma’ruf.
Keempat, menjaga pertalian keluarga (hifdz nasb). Realisasi maqashid ini seperti larangan berzina karena membuat ambiguitas keturunan, larangan menasabkan anak adopsi kepada dirinya, adanya ketentuan hak asuh anak, larangan menyembunyikan kehamilan, dan mengingkari keturunan. Kelima¸ menjaga aspek keagamaan dalam keluarga (hifdz tadayyun fi usrah). Realisasi dari maqashid ini adalah memberikan pilihan untuk beragama, lalu memberikan edukasi terhadap keluarga tentang akidah, ibadah, dan akhlak, dan memberikan pengetahuan tentang pahala bagi seseorang yang menegakan kewajiban dalam beragam. Maksud yang ditujukan tidak lain adalah untuk menjaga validitas kegamaan dalam berkeluarga supaya terhindar dari keburukan di dunia dan akhirat.
Keenam, mengatur aspek pokok lembaga keluarga. Realisasi ini diantaranya adalah ketentuan hak suami atas istri, hak istri atas suami, hak orang tua atas anak, hak anak atas orang tua, hak saudara, silaturrahmi, hak dan lain sebagainya. Maqashid yang tertuang didalam tujuan ini adalah untuk menjaga hubungan antar anggota keluarga. Ketujuh, mengatur aspek pokok perekonomian keluarga. Adapun realisasi maqashid yang tertuang dalam domain ini yaitu adanya mahar perkawinan, nafkah baik kepada istri, anak, istri yang telah diceraikan, istri yang mengasuh anak pasca cerai, dan istri yang menyusui. Kemudian termasuk ketentuan warisan, wasiat kepada kerabat, wakaf, atau hukum-hukum tentang penguasaan harta benda (lihat Nahwa Taf‟ili Maqashidi as-Syariah, hlm. 148-154). []