Kesederhanaan merupakan hal yang paling mulia dalam hidup. Sederhana bukan berarti miskin dan serba kekurangan. Sederhana memiliki arti yang sangat luas dan bersifat subyektif. Tergantung masing-masing orang dalam memaknainya. Bisa jadi, sederhana menurut Si A belum tentu sederhana menurut Si B. Kata sederhana menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah bersahaja (tidak berlebih-lebihan, tidak tinggi, dan tidak rendah). Dalam konteks pendidikan, sederhana bisa diartikan sebagai perilaku yang tidak berlebihan dan apa adanya.
Sederhana itu membuat hidup nyaman dan indah. Karena tidak berambisi yang muluk-muluk ingin memiliki segalanya. Hidup sederhana, membuat kita semakin banyak bersyukur. Bukankah semakin kita mensyukuri apa yang telah diberikan oleh Allah SWT, semakin kita diberikan kenikmatan berkali lipat oleh Allah SWT. Secara psikologis, pola hidup sederhana akan membuat kita terasa lebih nyaman dan tentram. Karena selalu bersikap dan bertindak sesuai kemampuannya.
Pernahkah kita mendengar istilah “Bahagia itu sederhana”. Saya merefleksi dari kalimat diatas bahwa ternyata untuk menjadi bahagia itu tidak perlu hidup yang berlebihan. Karena dengan kesederhanaan pun ternyata bisa membuat hidup kita bahagia. Bahagia itu banyak makna. Bahagia itu bisa berbagi, bahagia itu jika bisa berkumpul bersama keluarga, bahagia itu berkarya, bahagia itu merasa dihargai dan dicintai, bahagia itu memberi, dan bahagia itu menjadi diri sendiri.
Semua itu adalah hal yang membuat kita bahagia. Dan ternyata untuk menjadi bahagia itu tidak mahal, bahkan sangat sederhana. Hidup sederhana memang mudah diucapkan namun terasa sulit jika diterapkan apalagi dalam kondisi sosial ekonomi kita yang semakin hari semakin bertambah nilainya. Apalagi dalam mengajarkan buah hati untuk hidup sederhana. Terasa semakin sulit kita lakukan.
Pernahkan kita mendengar beberapa orangtua mengatakan bahwa “Kelak, anakku tidak boleh merasakan hidup susah seperti yang aku alami dulu.” Jika mendengar sekilas, memang benar pernyataan tersebut karena menyatakan perasaan sayang kepada anak. Namun jika kita renungkan lebih dalam, terdapat kesan bahwa pernyataan itu justru menjerumuskan anak dalam kesengsaraan hidupnya kelak.
Mengapa demikian? Karena secara tidak sadar, kesuksesan kita saat ini ditentukan oleh pola pengasuhan orangtua kita dulu. Misalnya, saat ini kita bisa sekolah tinggi hingga jenjang Strata-3 dan sukses menjadi dosen di Perguruan Tinggi ternama. Kemudian, karena posisi kita sudah berada pada zona nyaman, maka kita memperlakukan anak anak kita menjadi anak yang terfasilitasi semua kebutuhannya bahkan untuk bersih bersih rumah saja tidak pernah dilakukan karena ada asisten rumah tangga.
Berangkat sekolah sudah ada yang siap mengantar dan menjemput dengan mobil mewah. Tanpa khawatir kehujanan dan kepanasan. Kemudian jika ingin jajan, tinggal minta orangtua, ingin sekolah tinggal bilang mau sekolah dimana dan jika ingin kuliah mau di jurusan apa. Orangtua siap membiayainya hingga ia menikah kelak. Secara sekilas, hal ini adalah bentuk kesuksesan orangtuanya yang mampu memberi nafkah berlimpah kepada keluarga.
Tetapi, pola hidup yang berlebih seperti ini merupakan pola didikan yang menjerumuskan anak. Anak tidak dilatih untuk menjadi seseorang yang tangguh, anak tidak dilatih mampu menyelesaikan masalahnya sendiri, dan anak dibiarkan menikmati fasilitas mewah dari kedua orangtuanya. Bagaimana jika ia kelak berumah tangga dengan segala problematikanya? Apakah ia mampu menjadi dirinya sendiri yang berdiri diatas kakinya sendiri?
Mari kita merenung sejenak bahwa kesuksesan yang kita dapatkan saat ini merupakan keberhasilan orangtua kita dulu dalam mendidik kita. Mungkin saat itu, kita diuntungkan dengan situasi yang serba kekurangan maka kita pun dituntut untuk kerja keras. Berangkat dan pulang sekolah menggunakan angkutan umum bahkan jalan kaki dengan jarak puluhan kilometer.
Kemudian, mainan yang kita miliki pun tak serba instan seperti sekarang. Dulu, jika ingin mobil mobilan saja kita harus membuatnya sendiri dari bahan tertentu. Kemudian jika menginginkan sesuatu, tidak seketika meminta dan dikabulkan. Semua penuh perjuangan. Mungkin sebagian kesuksesan kita saat ini juga berasal dari perjuangan hidup kita masa kecil dengan didikan orangtua untuk hidup sederhana.
Untuk itulah, meskipun kita sangat mampu memberi segalanya pada anak, tapi kita sebagai orangtua sudah saatnya mengajarkan pola hidup sederhana kepada anak. Bukan mengajarkan ia untuk minta-minta, tetapi mengajarkan anak untuk bersikap tidak berlebihan dan apa adanya. Kita tanamkan padanya bahwa semakin sederhana hidup kita, semakin bersahaja diri kita. Semakin tinggi pendidikan kita, maka seharusnya semakin sederhana pola hidupnya.
Terdapat 4B dalam mengajarkan hidup sederhana pada buah hati. Mendidik anak agar hidup sederhana harus dilakukan sedini mungkin. Berikut ini adalah strategi yang bisa kita lakukan:
1. Belajar Menabung
Salah satu implementasi hidup sederhana adalah melatih anak untuk menabung sejak dini. Tidak harus menabung di bank kalau tidak memungkinkan. Cukup gunakan celengan buatan atau celengan yang menarik minat anak untuk menabung. Ini salah satu cara untuk mengajarkan anak berhemat. Hemat bukan berarti mendidik anak untuk bersikap pelit terhadap dirinya sendiri maupun pada orang lain. Berhemat lebih bermakna menggunakan sesuatu secara bijaksana sesuai kebutuhan. Tidak menggunakan secara berlebihan sehingga mendatangkan hal yang mubazir.
2. Bedakan antara keinginan dan kebutuhan
Mendidik anak untuk bersikap sederhana dimulai dari kemampuan membedakan antara keinginan dan kebutuhan. Mana yang dirasakan sebagai kebutuhan dan mana pula yang hanya bersifat keinginan saja. Kehidupan sederhana memang tidak banyak dipenuhi oleh benda-benda apalagi yang bersifat keinginan saja. Begitu pula dengan mendidik anak agar menjadi seorang yang sederhana. Diawali dengan lemari yang tidak dipenuhi oleh barang-barang yang tidak dibutuhkan. Tidak diajarkan untuk mengoleksi barang barang mewah yang tidak substantif.
3. Belajar Tanggung Jawab
Mari kita dampingi ananda untuk belajar tanggung jawab atas apa yang ia miliki. Hal ini berlaku untuk barang-barang miliknya atau perbuatan yang telah ia lakukan. Dengan begitu anak akan berpikir terlebih dahulu sebelum melakukan sesuatu. Contohnya adalah tanggung jawab terhadap mainan-mainan yang masih berserakan, merapikan tempat tidur setelah bangun dan lain sebagainya. Kemandirian anak yang dibentuk sejak dini akan memberikan dampak positif bagi kehidupannya kelak. Anak tidak selalu bergantung kepada orang lain, tentu saja hal itu membuat apa yang dilakukannya menjadi lebih berkesan dan membekas pada dirinya. Membentuk kemandirian anak juga berdampak kepada jiwa kepemimpinannya. Karena anak yang terbiasa memimpin dirinya sendiri, maka jiwa kepemimpinan dalam dirinya akan berkembang dengan baik.
4. Bersyukur
Hidup sederhana tidak bisa dilepaskan dari rasa syukur. Ajari anak untuk selalu bersyukur atas apa yang ia miliki. Ajak anak untuk terlibat dalam pergaulan sosial yang menumbuhkan rasa empatinya. Dengan tumbuhnya rasa empati ajarkan anak untuk lebih baik memberi daripada meminta. Ajari anak untuk selalu bersyukur kepada Allah SWT atas nikmat yang kita terima. Contoh sederhana, saya selalu menganjurkan anak anak untuk tidak menyisakan sebutir nasipun dalam piringnya ketika mereka makan. Tumbuhkan sikap empatik dengan mengatakan bahwa masih banyak orang lain yang jauh tidak beruntung ketimbang kita.
Mengajarkan anak hidup sederhana harus dimulai dari keteladanan orang tua. Sebagaimana ada istilah buah yang jatuh tidak jauh dari pohonnya, seperti itu pula sifat dan sikap orang tua yang dicontoh oleh anaknya. Mendidik hidup sederhana memang sangat sulit. Tetapi bukan berarti kita larut dan membiarkan anak kita terpenjara oleh kemewahan yang berujung kesengsaraan. [HW]