Tahun 1960, saat usiaku 7 tahun Kiyai Mahfuzh Thaha, kiyai yang ganteng asal Lebaksiu Tegal menjadi menantu Kiai Syathori. Beliau menikah dengan adik ibu saya. Bersamaan dengan pernikahan beliau aku disunat/dikhitan.

Kiai Mahfuz adalah seorang “hafiz”, (sebutan untuk orang yang hafal Alquran 30 juz), alumni pesantren Kaliwungu. Sejak saat itu (jadi menantu), lahir tradisi baru di pesantren. Yaitu Tahfiz Alquran. Hampir semua keluarga besar pesantren menghafal Alquran, minimal juz ‘Amma.

Bila bulan Ramadan tiba sebagai seorang hafiz, Kiai Mahfuzh diminta oleh Kiai Syathori menjadi imam salat Tarawih. Setiap rakaat kiai Mahfuz membaca 1,5 sampai 2 halaman Alquran. Dalam tradisi pesantren salat Tarawih diselenggarakan sebanyak 20 rakaat plus 3 rakaat salat witir. Setiap sekali tarawih lengkap memakan waktu sekitar 1.30-2 jam. Nah, maka 30 Juz itu biasanya dapat dikhatamkan dalam 20 hari. Lumayan capek berdiri. Saat Kiai Mahfuzh mengimami, Kiyai Sathori selalu berada tepat di belakangnya sambil memegang mushaf dan menyimak yakni mengamati bacaan hafalan Imam dengan melihat mushaf. Boleh jadi juga untuk mengkoreksi jika ada kekeliruan bacaan atau lupa. Bisa dibilang, Kiai Mahfuzh adalah hafiz pertama di Arjawinangun. Beliau wafat tahun 1999 di pesantren Darul Quran, Muara Bulian Jambi yang didirikannya, tahun 1991. Beliau meninggalkan anak-anaknya yang juga Hafiz. Anaknya : Kiai Abdullah Ubaid. Sekarang pengasuh Pesantren besar Darul Quran di Lebaksiu Tegal. Santrinya lebih dari 2000. Beliau menantu embah Dullah, Kajen Pati. Menantunya : Kiai Dr. Ahsin Sakho, mendirikan Pesantren Dar al Quran di Arjawinangun. Cirebon dan di Pamulang, Tangerang. Istrinya, Ny. Habibah Mahfuz, juga hafizah, tamatan IIQ. Anak perempuannya, Arabiyah Mahfuz, mendirikan pesantren Alquran di Ciputat, Jakarta. Semuanya itu menggantikan beliau meneruskan tradisi ini sampai hari ini. Alfatihah.

Di samping itu, setiap sore, sesudah salat Asar, di bulan Ramadan juga Kiai Mahfuz Thoha mengadakan semaan Alquran yang dihadiri oleh masyarakat di sekitar pesantren. Jumlahnya bisa mencapai 70 orang. Beliau membaca dengan hafalan Alquran dan yang lain menyimak/mendengar sambil melihat dan memperhatikan. Biasanya setelah itu beliau memberikan tausiyah, atau menjelaskan hal-hal penting terkait dengan bacaan dan makna beberapa ayat Alquran yang dibacanya. Tradisi ini juga masih berlangsung sampai sekarang. Selepas Kiai Mahfuz mangkat (meninggal), anaknya yang juga “hafiz”, Kiai Abdullah Ubaid yang meneruskannya. Jika berhalangan mengundang orang luar yang hafal Alquran untuk menjadi imam salat Tarawih dan hadir di acara semaan.

Baca Juga:  Ramadan di Rumah

Saya sendiri sebetulnya juga adalah seorang hafiz, meskipun hafalan saya tidak sebaik dan sehebat adik saya, Kiai Ahsin. Atau bahkan lebih tepat disebut “pernah jadi Hafiz”. He he. Saya dulu tahun 1973-1979 belajar di PTIQ. Di sana kegiatan sehari-hari saya adalah menghafal Alquran. Ketika ramadan saya pulang Kiai Mahfuz sering menyuruh saya jadi imam Tarawih. Dan saya sering hanya sanggup setengah juz saja, dan itu untuk beberapa juz awal. Sekarang sudah tidak lancar lagi dan lebih tepatnya banyak lupanya. Maka kalau saya diminta jadi imam Tarawih, saya akan baca dari surah Al-Hakum sampai Tabbat pada setiap rakaat pertama plus Qulhu pada rakaat kedua. Untuk Witirnya baca surah Sabbihis dan Qulya serta surah Qulhu dan mu’awwidzatain.

Aktivitas pesantren pada dan selama Ramadan adalah “Ngaji Pasaran“, begitu istilah yang populer di kalangan para santri. Atau “Pasanan“, puasaan. Yakni mengaji kitab “turats“, klasik, yang harus khatam dalam bulan ramadan/puasa. Hampir di semua pesantren di Jawa menyelenggarakan kegiatan ini. Ngaji pasaran diadakan dari pagi sampai tengah malam, jam 00.00. Praktiknya adalah Kiai/qari membaca dan memaknai kitab yang dipilih untuk diaji. Sementara para santri atau para peserta “Ngaji Pasaran“, mencatat makna yang disampaikan kiai/qari tadi. Kegiatan ini dimulai sejak usai salat Subuh sampai zuhur. Usai salat, kegiatan ini kemudian dilanjutkan sampai salat Asar. Lalu, setelah salat Asar dilanjutkan kembali sampai menjelang Magrib. Untuk beberapa saat kegiatan ngaji dihentikan, memberikan kesempatan kepada para santri untuk beristirahat, berbuka puasa, salat Magrib dan Tarawih. Kemudian usai salat Tarawih dilanjutkan kembali sampai jam 00.00 malam, kadang 01.00. Ngaji pasaran ini berlangsung setiap hari sampai tanggal 25 Ramadan.

Baca Juga:  Tiga Ulama Pentashih Kitab Nailul Masarrat Karya KH. Ahmad Basyir Kudus

Para kiai dan ustaz di Pondok Pesantren Darut Tauhid, mendapat bagian untuk memimpin pengajian kitab, dengan materi dan waktu yang berbeda-beda. Abah Inu—panggilan akrab KH. Ibnu Ubaidillah, pengasuh utama—misalnya, memimpin pengajian kitab dari jam 9 pagi sampai Zuhur. Dilanjutkan bakda zuhur sampai salat magrib. Diselingi salat Asar. Dilanjutkan bakda salat Tarawih. Kitab yang diaji kebanyakan kitab-kitab hadis atau “Kutub al-Sittah”, kitab “Shahîh al-Bukhârîy” “ShahîhMuslim”, “Sunan Abi Daud“, “Sunan Nasai“, “Sunan Ibnu Majah“, dan “Sunan Tirmizi“. Atau, kadang-kadang, mengaji kitab al-Muwaththa` karya Imam Malik. Kitab-kitab ini berjilid-jilid, ribuan halaman. Beliau juga suatu saat membaca kitab “Fathul Wahab“, sebuah kitab Fikih mazhab Syafii standar.
Aku membaca sejumlah kitab, ukuran kecil/tipis. Antara lain : Al-Tibyan fi Adab Hamalah al-Qur’an, Riyadh al-Shalihi, Risalah Mu’awanah, al-Bashaih al-Diniyyah, al-Riyadh al-Badi’ah, ‘Izhah al-Nasyi-in, dan lain-lain. [HW]

Husein Muhammad
Dr (HC) Kajian Tafsir Gender dari UIN Walisongo Semarang, Pengasuh PP Darut Tauhid Arjowinangun Cirebon, Pendiri Yayasan Fahmina Institute

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Kisah