Siapa sih yang tidak ingin mencintai Allah? Tentu sebagai manusia menginginkan itu. Bahwa sebenarnya mencintai Allah itu sangat mudah; dengan mencintai istri dan anak sesuai aturan agama itu termasuk juga mencintai Allah. Dalam hal ini mari kita belajar dari seorang sufi cinta yang sangat terkenal yaitu Sumnun.

Nama lengkapnya, Abul Hasan Sumnun bin Abdullah (Hamzah) Al-Khauwash. Ia merupakan sahabat Sirri As-Saqathi. Dirinya mendapatkan julukan (laqob) “Si Pecinta”. Hal ini tentu terkait dengan tema-tema buah pemikirannya, puisi-puisinya dan ceramah-ceramah yang selalu berkaitan dengan cinta spiritual.

Tokoh sufi satu ini begitu rendah hati. Terbukti meski ia dijuluki “Si Pecinta” tetapi ia dan kerendahan hatinya menyebut dirinya sendiri sebagai Si Pendusta. Begitu aneh bukan? Coba lihat serta bandingkan pada kehidupan saat ini, tidak sedikit manusia dengan segala gelarnya membuat mereka kerap kali menyombongkan diri dan sudah tentu karena kesombongannya sering membuat mereka lupa daratan.

Sebagai seorang sufi, Sumnun jelas mempunyai pandangan yang sangat istimewa dan begitu berbeda dengan tokoh sufi lainnya. Sebagai pecinta sejati, pemikiran dan perilakunya begitu mencerminkan semangat cinta yang amat tinggi. Tentu saja itu tidak lain adalah cinta ilahiah yang lebih berorientasi pada penghayatan terhadap hakikat kehidupan. Dari sinilah Sumnun dijuluki Si Pecinta.

Pemikiran-pemikirannya soal cinta menarik perhatian banyak orang. Pemikiran-pemikiran Sumnun lahir dari sepanjang hidupnya yang ia gunakan untuk merenungkan mengenai Tuhan. Karena terlalu sibuk merenungkan Tuhan, maka Sumnun pun konon terlambat untuk menikah. Saking seriusnya memikirkan cinta pada Tuhan, dirinya lupa mencintai perempuan.

Ketika usianya terbilang lanjut, Sumnun justru menikah. Padahal orang-orang mengira ia sudah tidak akan berumah tangga karena sudah tidak mudanya lagi. Dari pernikahanya itu, ia dikaruniai seorang putri cantik dan menyenangkan hatinya. Pernikahan inilah yang konon turut menjadi godaan dirinya atas cintanya kepada Tuhan, sehingga dianggap merosot, disebabkan oleh hatinya yang mulai terpikat dengan keluarga, khususnya kepada putri semata wayangnya itu.

Baca Juga:  Puasa Itu Bentuk Cinta Dari Tuhan Kepada Hambanya

Terbukti, sebelum menikah, ia selalu fokus pada cinta kepada Tuhan, namun semenjak ia menikah fokusnya terbagi pada keluarga serta putrinya. Meski ini adalah sebuah kewajaran. Bawa realitanya ia bertahun-tahun belum menikah dan akhirnya ia menikah bahkan dikaruniai seorang putri yang cantik, tentu ia sangat bahagia dan cinta. Meski ini juga menjadi sebuah ‘pelanggaran kode etik’ seorang sufi atau kesufian.

Fariduddin Attar dalam sebuah karyanya Tadzkiratul Awliya, menjelaskan kisah ini, bahwa ketika Sumnun berkunjung ke Hijaz, orang-orang Faid mengundangnya untuk memberikan ceramah soal agama. Ternyata saat dirinya berceramah, tak seorang pun yang mau mendengarkan ceramahnya. Maka sambil ia berceramah, Sumnun memandangi pada lampu-lampu yang ada di dalam masjid. Terhadap lampu itu, lantas ia berkata, “aku akan memberikan pengajaran kepada kalian mengenai cinta”. Saat itu juga, lampu-lampu tersebut langsung berbenturan dan hancur berantakan di atas lantai.

Tidak hanya itu, berkaitan dengan bergesernya cintanya pada Tuhan kepada cinta pada istri dan putri cantiknya tersebut, maka suatu malam ia bermimpi. Dalam mimpinya ia menyaksikan dirinya telah berada di hari kiamat. Di hari itu, dalam mimpinya tersebut, Sumnun melihat setiap kelompok atau golongan masing-masing membawa panji-panji. Ada satu panji yang sangat gemerlap sehingga cahayanya menerangi ruang-ruang surgawi yang sangat indah.

Pemandangan ini lantas membuat Sumnun heran dan bertanya pada Tuhan, “golongan apakah yang memiliki panji ini, ya Tuhanku?”

Golongan yang dikatakan sebagai: Dia mencintai mereka dan mereka mencintai Dia.” Atau sebutnya adalah laskar para pecinta.

Ketika mendengan jawaban itu, Sumnun langsung masuk ke dalam golongan yang panjinya gemerlap tersebut, namun orang-orang yang ada di komunitas tersebut justru malah mengusirnya untuk keluar dari rombongan.

Baca Juga:  Cinta Ilmu dan Ulama Bersatu, Prof KH Ali Maschan Ingatkan Dua Pesan Pendiri NU

Lantas Sumnun protes dengan berkata “mengapa kalian mengusir aku keluar?”

Karena panji ini adalah panji para pecinta, sementara engkau bukan lagi seorang pecinta” sahut mereka.

Lalu Sumnun pun membantahnya, “aku bukan seorang pecinta? Bukankah orang-orang telah menjuluki aku dengan ‘Sumnun Sang Pecinta’ dan Allah Maha Mengetahui segala yang ada di dalam hatiku”.

Protes Sumnun tersebut kemudian dijawab, “Sumnun, dahulu engkau memang seorang pecinta. Tetapi sejak hatimu lebih cenderung pada putrimu satu-satunya itu, namamu telah dicoret dari daftar pecinta.”

Maka di dalam mimpinya itu, Sumnun langsung memohon ampunan kepada Allah, “Ya Allah, jika karena anakku aku akan tergelincir dan berpaling dari-Mu, tunjukkanlah aku jalan yang benar”.

Kemudian, Sumnun terbangun dari tidurnya. Saat dirinya terbangun, ia mendengar suara gaduh banyak orang dan salah satu dari mereka berkata, “anak itu terjatuh dari atas loteng dan meninggal dunia”. Ternyata yang dimaksud dengan anak yang jatuh dari loteng dan meninggal itu adalah anak Sumnun yang sangat ia cintai.

Apa yang bisa kita petik dari kisah di atas, tentu kisah di atas mengandung makna tersirat yang barang tentu tidak boleh ditelan langsung secara mentah-mentah. Misalnya, dalam urusan cinta kepada Tuhan, jangan kemudian seenaknya sendiri menelantarkan anak dan istri hanya dengan dalih mencintai Allah. Itu tidak etis bahkan perbuatan itu termasuk sebuah keburukan sikap.

Hemat saya, bahwa mencintai istri dan anak dengan sepenuhnya adalah menjadi sebuah wujud nyata mencintai Allah. seperti mengurusnya, memperhatikannya, memenuhi apa yang mereka butuhkan. Inilah juga termasuk dalam sebuah kewajiban bagi laki-laki yang telah memutuskan utnuk berkeluarga, maka mengurus dan memperhatikan istri dan anak menjadi sebuah kewajiban.

Baca Juga:  Pengaruh Orang Tua terhadap Anaknya

Istri dan anak adalah amanah Allah yang harus dijaga sebaik-baiknya, maka memenuhi tanggung jawab keluarga sejatinya adalah wujud beribadah dan cinta pada Allah. Jika memang misalnya ada yang menelantarkan keluarganya; tidak peduli pada istri dan anaknya meskipun berdalih untuk mencintai Allah, jelas hal tersebut sangat kontradiktif atau bahkan termasuk ranah berbohong. Berarti, sudah barang tentu menelantarkan istri dan anak menjadi sikap yang khianat dan menyia-nyiakan amanah dari Allah. Naudzubillah.

Semoga kita bisa senantiasa mencintai keluarga. Amin.

Tabik.

Rojif Mualim
Aktivis NU, Pengajar dan Peneliti, Peminat Kajian Sosial dan Keislaman, Owner @blackjavaindonesia

    Rekomendasi

    1 Comment

    1. […] jenis, kepada kerabat, keluarga, atau kepada seseorang secara khusus Ketika berniat menjalin ikatan keluarga dengannya saat khitbah, sebelum atau […]

    Tinggalkan Komentar

    More in Hikmah