Dalam menyusun kitab syarah hadis, seorang penyusun atau pen-syarah (Syarih) tentu menggunakan metode, bentuk atau corak dalam melakukan pensyarah-an. Hal tersebut dilakukan dalam rangka mencapai tujuan pen-syarah-an yang baik dan sempurna, yakni memudahkan kepada pembaca dalam menangkap kandungan makna dari sebuah hadis yang di-syarahi, agar tidak salah maksud dan tidak salah tujuan.
Merujuk kepada karya-karya para ulama hadis dalam menyusun karya syarhnya, Nawawi Al-Bantani yang telah mencurahkan segala perhatiannya dalam penulisan syarah hadis-nya yang terangkum dalam kitab sebagaimana “Tanqih al-Qawl al-Hasis fi Syarh Lubab al-Hadits”
Dapat disimpulkan bahwa pen-syarah-an kitab-kitab hadis sangatlah tidak bebas nilai, tujuan dan maksud, setidaknya sudah berderet goresan buah pemikiran dan ijtihad dalam pen-syarah-an hadis yang dilakukan ulama dari era klasik hingga kontemporer yang berupaya untuk menjelaskan makna hadis ditinjau dari berbagai sudut, kecenderungan membahas secara luas dan memberi penjelasan berbagai kata yang sulit dipahami sebagaimana yang ada dalam kitab-kitab garib al-hadits dan lain sebagainya.
Dari hasil pembacaan, jumlah hadis secara keseluruhan dalam kitab Lubab al-Hadits sebanyak 404 (empat ratus empat) hadis. Namun, yang disyarah hanya 360 (tiga ratus enam puluh) hadis, sedangkan 44 (empat puluh empat) hadis sisanya hanya tercantumkan dalam kitab syarah-nya tanpa ada penjelasan dari Syaikh Nawawi al-Bantani.
Dari sekian jumlah hadis yang mendapatkan pen-syarah-an dari Nawawi al Bantani, selanjutnya metode syarah hadis yang tercantum dalam kitab Tanqih al-Qawl al-Hasis fi Syarh Lubab al-Hadits. Dari penelusuran tersebut, bahwa dalam mensyarah kitab Lubab al-Hadis, Syaikh Nawawi al-Bantani menggunakan metode Ijmali.
Penggunaan metode Ijmali oleh Nawawi al-Bantani dalam kitab Tanqih al-Qawl al-Hasis fi Syarh Lubab al-Hadits, dikarenakan dengan alasan bahwa syarah dengan menggunakan metode tersebut terkesan sangat mudah dipahami karena menggunakan bahasa yang mudah, singkat dan padat sehingga pemahaman terhadap kosa kata yang terdapat dalam hadis lebih mudah didapatkan karena pensyarah langsung menjelaskan kata atau maksud hadis dengan tidak mengemukakan ide-ide atau pendapatnya secara pribadi.
Berbeda dengan model tahlili yang akan ditemui di dalamnya uraian pemaparan segala aspek yang terkandung dalam hadis serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan kecenderungan dan keahlian pen-syarah-an.
Uraian pensyarahannyapun menyangkut aspek yang dikandung hadis seperti kosa kata, konotasi kalimatnya, latar belakang turunnya hadis, kaitannya dengan hadis lain, dan pendapat-pendapat yang beredar di sekitar pemahaman hadis tersebut baik yang berasal dari sahabat, tabi’in maupun para ulama hadis, disamping pen-syarah juga sangat berpeluang mengemukakan ide-ide atau pendapatnya secara pribadi.
Penggunaan metode Ijmali dengan mensyarah hadis secara ringkas tanpa penjelasan yang sangat rinci dan panjang lebar sejak awal telah diutarakan oleh Nawawi al-Bantani sendiri pada mukaddimah syarahnya dengan menyebutkan:
Ketahuilah bahwa tujuan dari penulisan kitab syarah ini yaitu adanya kebutuhan terhadap keberadaannya. Sesungguhnya kitab ini memiliki banyak kekurangan karena tidak disertai penjelasan yang mendalam. Hanya saja ini ditujukan karena banyak permintaan dari masyarakat Jawa terhadap kitab ini. Disamping itu, saya belum menemukan kitab yang sejenis walaupun saya tidak mampu mentashih dan memaparkan maksud (penjelasannya) lebih rinci karena berbagai keterbatasan namun saya menganggap ringan kekurangan tersebut.
Pernyataan tersebut di atas menyebutkan secara eksplisit tujuan dari penulisan kitab ini serta metode yang digunakan yaitu metode ijmali dengan penjelasan hadis yang ringkas tanpa penjelasan panjang lebar. Argumentasinya yaitu bahwa masyarakat Jawa pada saat itu membutuhkan model referensi seperti ini yang mudah untuk dikaji terutama bagi kalangan masyarakat awam.
Disamping itu, ia sengaja tidak memaparkan secara panjang lebar penjelasan hadis dengan dalih keterbatasan. Walaupun secara garis besar, metode yang digunakan oleh Nawawi al-Bantani dalam kitabnya menggunakan metode ijmali.
Namun, ia juga tidak menafikan pendekatan yang lain yang merupakan bagian dari metode tahlili dengan menjelaskan hadis dari aspek kebahasaan serta membandingkan dengan riwayat dan pendapat ulama yang lain. Hanya saja, penggunaan metode tahlili digunakan pada hadis-hadis tertentu. Sebagaimana Nawawi al-Bantani, dimana syarah hadisnya hanya sebatas menguraikan makna beberapa kata dalam hadis yang terdapat dalam suatu kitab hadis dan kemudian menjelaskannya secara sekilas. Penjelasan yang dilakukan tidak saja terhadap materi hadis yang terdapat dalam matan hadis melainkan juga terhadap masalah sanad ataupun jalur periwayatan hadis. Sebagai Contoh bahwa Nawawi al-Bantani dalam menjelaskan tentang sebuah hadis memakai metode ijmali, di antaranya terlihat pada hadis-hadis sebagai berikut:
Keutamaan Hadis “la illaha illaallah”
Artinya: Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang mengucapkan lailaha illallah satu kali, maka dosa-dosanya (maksudnya dosa kecilnya) diampuni, sekalipun (dosa-dosa itu) laksana buih di lautan atau zabad al-bahri (huruf zay dan ba’ pada kata zabad dibaca dengan harakat fathah yang menunjukkan arti ‘air laut’ atau ‘buih’, serpihan kayu dan semacamnya yang berada di atas permukaan air laut.
Pengertian pertama yakni ‘air laut’ lebih utama, karena yang dikehendaki dari perumpamaan ‘buih pada permukaan laut’ adalah kinayah tentang begitu banyaknya volume air laut, sebagaimana dikemukakan oleh Atiyyah al-Ajhuri.
Nawawi al-Bantani dalam menjelaskan hadis tersebut di atas yang berkaitan dengan Keutamaan Orang yang Membaca La ilaha illallah, menjelaskan secara ringkas dan gobal. Penjelasan tersebut hanya disertai dengan penjelasan kata-kata yang perlu dijelaskan. Misalnya, dosa yang dimaksudkan adalah dosa kecil dan air laut yang dimaksudkan adalah bentuk Kinayah (kata kiasan) dari sesuatu yang sangat banyak.
Keutamaan Menyedikit Tertawa
Dalam sebuah hadis yang Artinya: Rasulullah saw. bersabda: “Banyak tertawa itu mematikan hati”. (Maksud ‘mematikan hati’ di sini adalah ‘menyebabkan dendam atau kedengkian dalam beberapa kondisi serta mengurangi kemuliaan dan kewibawaan’. Hal itu karena tertawa menunjukkan sikap kelalaian dalam mengingat akhirat.
Syarah hadis tentang akibat buruk dari banyak tertawa, yaitu mematikan hati. Nawawi al-Bantani menjelaskan maksud dari mematikan hati adalah menyebabkan dendam dan mengurangi kewibaan karena menyebabkan kelalaian. Penjelasan tersebut pun dikutip dari kitab Ihya ‘Ulum al-Din karya al-Gazali.
Dengan demikian, Nawawi al-Bantani menggunakan metode ijmali dalam syarah Tanqih al-Qawl al-Hasis fi Syarh Lubab al-Hadits berdasarkan contoh-contoh yang telah dipaparkan di atas. Penggunaan sebagian besar metode ijmali dalam menjelaskan hadis dipilih oleh sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, yaitu sebagai penjelasan ringkas yang mudah ditelaah. Bahkan beberapa hadis tidak disyarah lagi karena maksud dan substansinya sudah dianggap masyhur sehingga Nawawi al-Bantani menganggap tidak perlu untuk dijelaskan lebih lanjut. []
[…] Matan hadits yang berbentuk ungkapan analogi salah satunya terdapat pada hadits di bawah ini. […]