Mendahulukan Akhlak

Beberapa hari yang lalu NU punya gawe besar lima tahunan, yaitu mengadakan Muktamar yang berlangsung di Lampung. Selain sebagai ajang musyawaroh tertinggi dalam organisasi, Muktamar juga sebagai ajang berkumpulnya para tokoh penting Nahdlatul Ulama’ dari seluruh negeri. Yang mana berkumpulnya para tokoh ini secara otomatis mengundang para muhibbinnya untuk datang ikut mendekat.

Disamping untuk ngalap barokah, juga banyak yang ingin ngalap selfie. Hehehe

Salah satu agenda terpenting dalam setiap Muktamar adalah pergantian pucuk pimpinan organisasi. Meskipun pasti ada sedikit gejolak disetiap kontestasi organisasi, apalagi organisasi sebesar NU ini, namun sebagaimana kebiasaan para Nahdliyin yang kebanyakan santri, gejolak sebesar apapun tidak akan melunturkan sikap dasar seorang santri. Salah satunya adalah hormat guru. Hormat guru atau kiai inilah yang menurut saya pribadi membuat kapal Nahdlatul ulama’ tetap tenang, meskipun banyak gelombang yang datang. Dari luar lautan luas, ataupun gelombang dari dalam kapal sendiri.

Momen nyata tentang wujud budaya santri adalah momen setelah terpilihnya gus Yahya menjadi ketua umum PBNU, dengan sopan beliau langsung sungkem pada yai Said Aqil yang mana adalah ‘lawan tanding’ dalam pemilihan. Tak cukup sampai disitu, dalam sambutan pertamanya pun, ketua terpilih mengucapkan terimakasih dan mengungkapkan rasa hurmatnya pada Yai sa’id, karena beliaulah yang berjasa besar dalam karir Gus Yahya.

Kiai Said pun tak kalah hebat dalam mencontohkan keindahan akhlak, beliau mengucapkan selamat dengan menunjukkan penghormatan pada Gus Yahya yang mana adalah cicit dari guru ayah beliau. Ini sebuah contoh nyata tentang bagaimana menghormati guru, dan juga anak turunnya tanpa alasan.

Apa yang dicontohkan oleh Yai Said ini, adalah sesuatu yang mulia dan patut kita contoh. Terutama bagi santri.

Baca Juga:  Fakhri Al-Razi (3)

Saya sendiri banyak belajar tentang hal ini dari bapak saya.

Bapak saya selalu mencontohkan kepada kami, anak-anaknya tentang bagaimana menghormati guru dan semua keluarganya. Meskipun gurunya bapak sudah wafat, bapak masih selalu menjaga sikap hormat kepada anak cucu dari sang guru. Tak peduli secara usia masih muda, juga tak peduli dulunya pernah menjadi muridnya bapak ketika dipondok. Dan tidak peduli pada banyak alasan lain yang kadang membuat seorang santri kurang hormat pada anak cucu dari kiainya.

Salah satu contoh wujud hormat bapak kepada keluarga kiainya adalah saat sowan setiap lebaran. Bapak hampir pasti sowan kepada keluarga kiainya, yaitu Allahu yarham yai zamroji di Kencong. Tah hanya itu, bapak selalu pesan kepada yang mengantar untuk memarkirkan kendaraannya diluar pagar pondok. Sebuah contoh yang masih belum sempurna saya contoh hingga sekarang.

Tak hanya hormat kepada guru beliau, bapak juga selalu berusaha menghormati kiai yang menjadi guru dari anak-anaknya. Beliau selalu memberi contoh kepada kami bagaimana cara menghormat guru kami, dengan cara beliau juga menghormatinya. Tidak peduli guru dari anak-anaknya jauh lebih muda, ataupun mungkin tidak pernah mengajar bapak. Bapak saya selalu bilang:” minongko hormat karo gurune anak-anakku (sebagai wujud rasa hormat kepada guru dari anak-anakku )”.

Tak hanya Bapak, saya juga pernah melihat contoh seperti ini pada sosok Yai Sahal Allahu yarham. Dulu, ketika putra beliau yaitu gus Rozin mondok di Kwagean, setiap lebaran syawal pasti tidak lupa untuk sowan kepada bapak. Beliau yang sudah menjadi tokoh nasional, juga sudah punya segudang prestasi yang diakui dan juga jabatan yang diemban, tidak malu apalagi gengsi untuk sowan kepada bapak yang notabene bukan ‘siapa-siapa’. Dalam artian tidak terkenal, juga tidak punya jabatan struktural.

Baca Juga:  Paduan Suara Katolik Nyanyikan Syubbanul Wathon di Harlah NU, Gus Yahya: NTT Miniatur Indonesia

Yai Sahal selalu sowan dalam rangka hormat kepada guru dari putranya.

Kebiasaan inilah yang mungkin pada akhirnya membuat bapak saya kepincut, dan menyuruh saya untuk gantian mondok ke Kajen. Disuruh nyantri pada beliau, Allahu yarham Yai Sahal Mahfudz. Berharap bisa ikut ngaji dan meniru pada sosok yang sangat menonjol dalam akhlakul karimahnya.

Kita yang masih santri amatir seharusnya malu bila berani sedikit saja ‘ndangak’, dan menganggap lebih mulia dari guru-guru kita. Meskipun mungkin anda punya lebih banyak murid atau santri dari guru anda, bukan berarti lalu anda melupakan adab kepada guru. Apalagi hanya sekedar lebih populer dan lebih banyak follower ataupun pengikut di media sosial, kemudian merasa lebih agung hingga malu mengakui guru dan terutama malas menghormati guru atau kiainya.

Saya benar-benar harus banyak belajar dari para guru-guru saya tentang bagaimana menjaga akhlak disepanjang keadaan dan zaman. Tak peduli siapa kita saat ini atau nanti, hormat kepada guru tetaplah kewajiban yang wajib kita tunaikan.

Tak hanya guru yang mengajar kita, tapi sekaligus juga keluarga dari guru tersebut.

Seringkali terjadi, karena mengabdi pada salah satu guru, kemudian lupa atau malas menghormati keluarga gurunya karena merasa tidak pernah diajar, atau karena merasa punya jasa lebih pada sang guru.

Merasa punya jasa lebih ini, yang kadang menjadi hijab seorang murid untuk menghormati guru dan atau keluarganya. Dan pada akhirnya menjadi hijab atau penghalang bagi kebarokahan ilmunya. Naudzubillahu min dzalik.

Seberapa besar jasa kita kepada guru, tidak akan pernah menjadi tiket kita untuk bebas dari kewajiban menghormati guru dan keluarganya. Karena jasa yang dilakukan seorang murid kepada guru bukanlah selayak hutang, tapi investasi bagi sang murid itu sendiri.

Baca Juga:  Membaca Kitab Kuning di Era Digital

Semoga kita mampu meniru laku baik para guru, dan tak lupa mendahulukan akhlak dalam setiap laku. []

#salamKWAGEAN

Muhammad Muslim Hanan
Santri Alumnus PIM Kajen dan PP Kwagean Kediri

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Hikmah