Beberapa waktu lalu, tepatnya pada tangga 31 Juli 2020, umat muslim diseluruh dunia merayakan hari raya Iduladha yang ditandai dengan penyembelihan hewan kurban.
“Tiga perkara yang bagiku hukumnya fardu tapi bagi kalian hukumnya tathawwu’ (sunnah), yaitu salat witir, menyembelih udhiyah (hewan kurban) dan salat dhuha.” (HR. Ahmad dan Al-Hakim)
Kurban adalah salah satu ritual yang dilakukan oleh umat muslim, dimana dilakukan penyembelihan binatang ternak sebagai wujud ketakwaan kepada Allah dan mendekatkan diri kepada Allah. Seperti firman Allah dalam surat Al-Kautsar ayat 2, yang artinya:
“Maka Salatlah untuk Rabbmu dan sembelihlah hewan (kurban)” (QS. Al-Kautsar: 2)
Ritual kurban dilaksanakan pada bulan Dzulhijjah pada penanggalan islam, yaitu dilaksanakan usai melaksanakan salat Iduladha, dari tanggal 10-14 Dzulhijjah. Hewan yang dijadikan untuk berkurban adalah kambing, kerbau dan sapi. Namun berbeda dengan umat muslim di kota Kudus, Jawa Tengah, khususnya sekitar kompleks Masjid Menara Kudus dan Makan Sunan Kudus. Setiap Iduladha mereka lebih memilih untuk tidak menyembelih hewan sapi untuk berkurban. Mengapa demikian?
Umat Islam di Kudus, memang tidak menyembelih hewan sapi untuk kurban pada Iduladha. Mereka lebih memilih untuk menyembelih hewan kerbau sebagai hewan kurban. Hal ini dikarenakan ajaran toleransi yang diajarkan oleh ulama’ penyebar agama Islam di kalangan Jawa yaitu Raden Ja’far Shodiq nama asli dari Sunan Kudus.
Tradisi untuk tidak menyembelih hewan sapi pada saat Iduladha di Kudus berawal dari Sunan Kudus yang datang ke Kudus pada abad ke-16 yang mayoritas penduduknya saat itu memeluk agama Hindu. Sunan Kudus sangat menghargai umat Hindu pada masa itu yang menghormati hewan sapi. Menurut umat Hindu, sapi adalah hewan yang suci. Demi menjaga perasaan umat Hindu, umat Islam diminta untuk tidak menyembelih hewan sapi pada saat kurban, akan tetapi diganti dengan menyembelih hewan kerbau. Hal ini menjadi tradisi dari dulu hingga sekarang.
Diceritakan dalam Babat Tanah Jawi bahwa Kudus merupakan daerah taklukan Kerajaan Majapahit dan Demak yang sebagian warganya memeluk agama Hindu. Maka dari itu, hewan sapi dianggap hewan yang disucikan oleh para penganutnya pada masa itu yang menjadi pertimbangan bagi Sunan Kudus dalam mengenalkan ajaran Islam di Kudus, terutama yang berkaitan dengan perintah kurban.
Cerita lain dari masyarakat di Kudus menyebutkan bahwa mereka tidak pernah menyembelih hewan sapi dikarenakan dahulu Sunan Kudus pernah merasa dahaga, kemudian ditolong oleh seorang pendeta Hindu dengan diberi air susu sapi. Maka dari itu, sebagai rasa terimakasih Sunan Kudus, masyarakat Kudus dilarang untuk menyembelih hewan sapi.
Sikap saling menghormati (toleransi) yang dimunculkan oleh Sunan Kudus akhirnya mengetuk hati penduduk sekitarnya. Satu persatu dari mereka berbondong-bondong menanyakan lebih lanjut tentang ajaran yang dibawa. Sunan Kudus pun dengan senang hati dan tulus menjelaskan secara terang dan mudah hingga mereka diantarkan memeluk ajaran Nabi Muhammad SAW dengan mengucapkan dua kalimat syahadat.
Menurut KH Said Aqil Siroj, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengatakan bahwa sikap toleransi tersebut menunjukkan betapa pemahaman Islam secara kontekstual lebih diutamakan dibanding mengedepankan segala hal yang bersifat simbolis dan formal. Yang hal tersebut justru kerap berbenturan dengan hak dan kebebasan kelompok lain.
Dari tradisi di atas, dapat disimpulkan bahwa ini adalah sebagai bukti tak terbantahkan akan toleransi antara umat Islam dengan Hindu. Bentuk toleransi lain yang dapat dilihat dari akulturasi Menara Masjid Kudus ini yang menyerupai candi Hindu. Toleransi ini muncul karena kedalaman ilmu agama Sunan Kudus serta kedalaman imannya. Semakin paham dengan Islam, maka semakin kuat pula iman, semakin subur kasih sayang dan toleransi dalam jiwa seorang muslim. [HW]