Kemarin (15 Agustus 2023), selepas shalat Dhuhur di masjid Tarbiyah, ingin sekali mencium tangannya, saya hampiri beliau, saya ambil tangan beliau, saya pegang dengan erat, saya cium cukup dalam, “Kyai” saya sapa. Entah mengapa suara saya seperti tidak sampai. Beliau membalas “Mas Halimi”, dengan senyum khasnya. Kata singkat itu ternyata kata terakhir, dan tangan lembut itu, sebagai pertemuan terakhir. Kyai kami merindu panjenengan.
Sosok yang selalu melekat di hati, menginspirasi dalam aksi, menumbuhkan semangat diri untuk selalu mengabdi, mengalahkan diri menuju sebuah kesaksian diri, antara bahasa dan tubuh selalu serasi, berjalan tenang sekali, duduk bersimpuh rapi, pandangannya menatap lurus dengan mata yang jauh dari sorot memanteri, dengan senyum selalu tampak, tangan yang tak pernah menuding, apalagi kata-kata yang tinggi, tak pernah terdengar dari sosok yang sederhana; KH. Chamzawi.
Ma’had
Tulisan berikut hanyalah kilasan dari apa yang penulis alami bersama beliau, baik ketika menjadi; Santri, Musyrif, dan Murabbi di Ma’had Al-Jamiah (dulu Ma’had Sunan Ampel AL-Aly). Dan juga ketika menjadi mahasiswa dan dosen di Fakultas Humaniora UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
Perumahan ma’had yang berjejer rapi, di sebelah gedung Mabna Al-Farabi dan Ibnu Khaldun, ditumbuhi pepohonan yang rindang, dengan bertaburan rumput-rumput menghijau, disanalah Para Pengasuh Ma’had mengabdi untuk Kampus, Negara dan Agama, di antara rumah-rumah itu, berdiamlah seorang yang sangat sederhana dengan keilmuannya yang tinggi, sosoknya sangat mudah dikenali, dengan sorbannya yang melekat di pundak kiri, songkok dan baju putih menjadi pakaian sehari hari. Tak sulit untuk bertemu dengan beliau, karena rumahnya yang selalu terbuka untuk siapa saja, dari kalangan jam’iyyah, masyarakat, dosen, santri dan lainnya.
Semasa di Ma’had, ketika adzan Subuh berkumandang, yang dilanjutkan dengan doa sebelum Fajar, beliau sudah tampak di depan mabna (gedung) berjalan menuju masjid, sedangkan beberapa para santri masih asyik masyuk dengan selimut dan bantalnya. Ditemani beberapa santri, dan pembaca doa, beliau memimpin doa-doa yang dilanjutkan dengan salat Subuh berjamaah, beliau selalu istiqomah menjadi Imam di gemerlap Subuh itu. Suara takbirnya “Allah Akbar” selalu menggugah saya dan teman-teman santri lain untuk berangkat menuju masjid.
Demikian juga ketika menjadi musyrif, setelah menutup seluruh penjuru mabna kemudian bergegas menuju Masjid Tarbiyah agar bisa berjamaah dengan beliau, walau selalu berada barusan paling belakang. Tak lupa, bersalaman dengan beliau, setelah doa salat dipanjatkan. Tangannya yang lembut, selalu erat dengan tangan-tangan santri yang mendekatinya, mencium tangannya adalah sebuah kesenangan dan kebanggaan.
Ke-istiqamahan-nya, menjadi teladan bagi kami yang pernah tinggal di Mahad, setiap jadwal mengaji yang beliau asuh, jarang sekali beliau tidak masuk, beliau selalu tepat waktu, terkadang kami (ketika menjadi musyrif dan murabbi), ketika santri belum datang beliau sudah berada di mabna, dan terkadang memulai mengaji walau santri hanya tiga atau empat orang. Tidak pernah marah, walau santri yang ditunggu tak kunjung tiba, demikian juga ketika santri tertidur pulas dalam majlis, beliau terus melanjutkan pelajaran sampai batas waktunya. Istiqomah dan sabar, bukti bawa beliau memiliki kedalaman spiritual dan keagungan akhlaq, yang merupakan syiar UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, tidak hanya itu keluasan ilmu yang beliau miliki merupakan sosok yang patut diteladani. Dengan keluasan ilmunya, kami selalu mendengarkan petuah dan pengajian yang beliau sampaikan, walau jarang berkelakar, tetapi santri selalu asyik menikmati pengajiannya, yang beliau sampaikan selalu bermakna, dengan permisalan-permisalan yang nyata.
Ketika menjadi Mudir Ma’had Sunan Ampel Al-Ali, sekaligus menjadi Dekan Fakultas Humaniora, dan Rais Syuriah NU Kota Malang, beliau juga tampak bersahaja, tutur katanya yang tidak pernah tinggi, dengan kalimat-kalimat yang tidak pernah menyinggung, apalagi menyakiti. Setelah beliau pensiun (dari PNS), beliau seperti tidak pernah pensiun, karena seluruh aktifitasnya untuk umat. Ketawaduan beliau juga sangat tampak di mata santri, musyrif dan murabbi.
Ketika kami mengeluh, mengadu, beliau selalu mendengarkan keluhan kami, dan memberikan solusi-solusi, kadang beliau bertanya, bagaimana cara mengatasinya, walau beliau sendiri sudah tahu apa yang akan beliau lakukan, tetapi selalu memberikan ruang untuk kami, ruang “berbicara”, ruang “berteriak”, ruang “mengeluh”, agar sesak nafas kami selalu beliau rasakan, seperti nafas pemuda yang diburu ego, seperti kuda yang berlari, tetapi beliau mampu memberikan lapangan luas bagi nafas-nafas kami yang sesak, ruangan itu diberikan dengan ketenangan dan ungkapan yang menyejukkan.
Walau beliau sebagai pimpinan, jarang sekali mendominasi pembicaraan, baik ketika rapat atau di luar rapat. Selalu mendengarkan apa yang disampaikan oleh santri terlebih dahulu, kemudian beliau menjelaskan dengan hati-hati dan rapi.
Semasa di Ma’had, materi ta’lim yang sering beliau ajarkan adalah Akhlaq dan Fiqh. Dua materi ini sangat sesuai dengan beliau, selain kepribadiannya beliau yang sabar, lembut, jujur, tawadu’, dan istiqomah, beliau memiliki pengetahuan fiqih yang luas. Beliau dipercaya untuk menjadi pengasuh rubrik konsultasi di berbagai media cetak, serta beliau dipercaya untuk menjadi Ketua Komisi Fatwa MUI. Keluasan ilmu inilah yang juga membawa pada karakter kepribadian beliau yang menarik, yang tidak membeda-bedakan orang, baik santri atau dosen, selalu beliau memberikan perlakuan yang sama. Ketika berbicara dengan santri, senyum selalu mengembang di wajahnya dengan tutur kata yang halus dan lembut, demikian juga ketika berbicara dengan dosen, karyawan dan lainnya. Hal ini selalu saya jumpai ketika beliau di Ma’had, di kampus dan beberapa tempat lainnya.
Senyum yang selalu tergurat di wajahnya, sebagai bukti kelembutan peribadinya. Suatu ketika kami masih menjadi musyrif, kami melakukan audensi dengan pimpinan dan pengasuh Ma’had, waktu itu beliau sebagai Mudir Mahad dengan Dr. KH. Isroqunnajah sebagai sekretarisnya. Sebagai musyrif, setiap hari diprotes oleh santri, karena kebijakan-kebijakan yang menurut mereka terlalu mengekang; jam ma’had yang diatur, wajib mengikuti ta’lim, shalat berjamaah, dan program-program lainnya, belum lagi fasilitas waktu itu –menurut mereka- masih belum memadai; kamar mandi dan airnya kotor, air yang tidak cukup untuk mandi, adanya kehilangan setiap hari, kebersihan gedung yang tidak terjaga dan lain sebagainya. Belum lagi gelombang demonstrasi yang dilakukan organisasi intra dan ekstra kampus. Ketika audiensi itu beliau-beliau selalu tersenyum, walau panas protes dari santri tanpa henti, dengan teriakan-teriakan membising, dan beliau memberikan solusi-solusi yang menyejukkan.
Sungguh awal-awal yang indah, walau ketegangan selalu terjadi, Beliau berdua dan pengasuh lainnya, selalu mengawal demonstrasi itu dengan cukup baik, protes yang dilakukan selalu terselesaikan dengan baik pula. Bukan hal yang sederhana dan mudah, ketika gelombang demonstrasi dan protes santri setiap hari, bagaimana santri “mogok” untuk mengikuti ta’lim ma’hady (pembelajaran kitab dan Al-Qur’an), bagaimana teralis (penutup jendela) yang ambil dan dipotong-potong, kasur yang belah dan dibawa keluar Ma’had, meja dan dipan yang dipreteli. Waktu itu kebijakan belum seperti sekarang, – program ma’had sebagai prasyarat pengambilan mata kuliah tertentu.
Tidak hanya siang hari mereka berdemonstrasi, bahkan tengah malam pun, mereka berteriak, dengan tabuhan-tabuhan yang membisingkan. Namun, kesabaran beliau dan para pengasuh lainnya sungguh luar biasa, mungkin karena latar belakang beliau sebagai santri, sangat paham bagaimana berinteraksi dengan santri (mahasantri) yang berbeda budaya, latarbelakang, dan pendidikan. Sungguh pengalaman yang indah ketika berada di ma’had, dengan akhlak dan keilmuan yang dimiliki oleh beliau dan para pengasuh lainnya.
Fakultas
Kebersamaan dengan KH. Chamzawi selalu memberi makna, di mana pun tempat saya di kampus, selalu ada beliau, ketika di ma’had menjadi santri, musyrif dan murabbi, beliau sebagai pengasuh. Ketika berada di kelas Bahasa dan Sastra Arab, beliau sebagai Dosen. Ketika berada di Fakultas sebagai Dosen, beliau sebagai sebagai pimpinan. Selalu ada cerita teladan setiap berinteraksi dengan beliau.
Suatu saat, beliau ingin menyampaikan khutbah Jum’at di Masjid Jami’ Kota Malang, seperti biasa beliau menulis beberapa poin penting yang akan beliau sampaikan kepada jamaah. Dengan kelimuan tinggi, dan wawasan agama yang luas, beliau masih mendiskusikan dan bertanya kepada teman-teman, baik itu karyawan atau beberapa dosen yang duduk di sebelah beliau. “kira-kira kalau tentang keadilan, apa yang akan saya sampaikan” itu di antara pertanyaan beliau. Dan beliau tidak pernah sungkan untuk bertanya dan berdiskusi tentang keilmuan, baik kepada yang lebih muda atau yang sejawat dengan beliau. Ketawadluannya, itulah yang selalu saya rasakan disetiap berjumpa dengan beliau.
Demikian, ketika saya masih menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) yang harus ngantor setiap hari, dan kebetulan ditempatkan di kantor beliau, sebagai Dekan, bersama Dr. H. Wildana Wargadinata sebagai Wakil Dekan bagian Akademik. Dengan gaya kepemimpinan yang khas, gaya pimpinan yang berlatar belakang; santri, mahasiswa, dosen, tokoh masyarakat, benar-benar melekat pada diri beliau. Terlihat, Ketika beliau memimpin rapat di fakultas, selalu terdengar ayat, hadist atau qoul ulama yang terselip di dalamnya, menyampaikan dengan nada pelan, mendengarkan seluruh apa yang dikeluhkan oleh karyawan atau pimpinan lainnya, dan kemudian beliau menyampaikan ide dan pendapat beliau, dan bahkan selama mengikuti rapat dengan beliau, tidak pernah terdengar kata-kata amarah, atau kalimat-kalimat yang tidak pantas.
“Assalamua’alaikum” kalimat sapaan, yang selalu saya dengan setiap hari, ketika beliau menjadi pimpinan di Fakultas Humaniora dan Budaya (sebelum dihilangkan “budaya”nya), menyapa karyawan dan dosen yang berada di ruang administrasi, kemudian duduk dan berbicara dengan tema-tema santai, sambil membaca koran, beliau menanyakan hal-hal yang terbaru tentang mahasiswa dan lainnya. Dan sering pula, menyambangi ruang-ruang jurusan, perpustakaan dan ruang-ruang lainnya.
“Sapaan” beliau selalu indah, walau kadang yang menyapa adalah bahasa tubuh beliau; senyum, kerdipan mata, lambaian tangan, dan selalu tampak merunduk kepada siapa pun. Inilah keindahan yang selalu saya temukan dalam diri beliau, antara bahasa kata dan bahasa tubuh beliau selalu serasi, bermakna dan dapat dijadikan teladan oleh generasi berikutnya.
Karya nyata beliau, di antaranya adalah “ungkapan” dan “bahasa tubuh” beliau. Ada sebagian orang, yang melihat karya hanya dengan kalimat-kalimat yang tulis rapi, bertumpuk, mempesona para pembacanya, namun beliau lebih nyata; mempesonakan bahasa tubuhnya dan ungkapannya sebagai karya nyatanya, yang akan terus menjadi teladan bagi orang yang mampu menangkap bahasa beliau; tubuh dan ungkapannya.
Sosok Istiqamah, Karya Nyata untuk Kami
Dalam riuh rendah kehidupan sehari-hari yang terkadang membuat hati terombang-ambing dalam arus gelombang waktu, ada sosok yang teguh berdiri sebagai mercusuar keistiqamahan. Sosok itu adalah Kyai Chamzawi, sebuah nama yang melekat erat dengan keteguhan dan ketulusan dalam beribadah dan berdakwah.
Sorot mata beliau tak pernah lelah, selalu berbinar dalam cahaya iman yang tak pernah pudar. Pagi yang masih gelap sebelum fajar menjelma, Kyai Chamzawi telah bersiap di tengah masjid untuk mengisi pengajian subuh. Tak peduli betapa dinginnya udara pagi atau betapa beratnya kantuk yang merajai tubuh manusia pada waktu itu, beliau tak pernah absen. Dalam keremangan fajar, ia membagikan gemerlap ilmu kepada para jamaah yang haus akan cahaya petunjuk.
Maghrib tiba, langit berubah warna menjadi oranye dan merah. Namun, lebih merah lagi adalah semangat Kyai Chamzawi yang tak tergoyahkan. Masjid terisi oleh suara tilawah yang tulus dari bibirnya, mengalun lirih menembus dinding hati setiap pendengarnya. Ia mengajarkan bahwa keteraturan dalam menghadap Sang Khalik adalah penentu kestabilan dalam hidup yang terkadang penuh gejolak.
Lalu datang isya’, ketika kegelapan malam meliputi segala penjuru. Namun, dalam kegelapan itu, terpancarlah cahaya dari Kyai Chamzawi yang tetap tegar berdiri, mengajak semua yang mendengarnya untuk bersama-sama menyongsong ketenangan hati. Melalui suara azan dan iqamahnya, ia memanggil para jamaah untuk berdiri berbaris rapi, menghadap Allah dalam doa dan ibadah.
Setiap waktu shalat jamaah tiba, di masjid Tarbiyah, Kyai Chamzawi adalah sosok yang tak pernah absen. Seolah-olah langit dan bumi berduka jika suara takbir yang terbias melalui bibirnya tak terdengar. Ia adalah imam yang tegar, memimpin doa-doa dengan khidmat dan khusyu’, mengantarkan jemaahnya dalam dialog langsung dengan Sang Pencipta.
Tak hanya dalam ibadah, Kyai Chamzawi juga memiliki senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya. Senyum yang penuh tulus dan menghangatkan hati setiap orang yang berjumpa dengannya. Ia bukan hanya seorang pengajar, tetapi juga seorang sahabat, seorang teladan hidup yang memberi inspirasi dan semangat.
Tawadhu’ adalah sifat yang melekat pada diri Kyai Chamzawi. Meski memiliki ilmu dan kedudukan yang tinggi, ia tak pernah menyombongkan diri. Ia dengan rendah hati selalu menyapa siapa saja yang berjumpa dengannya, baik yang muda maupun yang tua. Ia bukan hanya menerima kedatangan mereka dengan senyum, tetapi juga dengan hati yang terbuka dan siap mendengarkan.
Tangan lembut Kyai Chamzawi adalah tangan yang tak pernah ragu untuk memberikan bantuan dan kebaikan kepada siapa pun yang membutuhkan. Ia adalah pribadi yang selalu siap untuk memberikan nasihat, panduan, dan dukungan, tak terkecuali kepada mereka yang merasa tersesat atau lelah dalam perjalanan hidup.
Sungguh, Kyai Chamzawi adalah sosok yang meninggalkan jejak dalam hati dan ingatan setiap orang yang beruntung mendekatinya. Dalam setiap detiknya, ia telah mengajarkan betapa pentingnya keistiqamahan, tawadhu’, dan kasih sayang kepada sesama manusia. Dalam kepergiannya, ia tak hanya meninggalkan kenangan, tetapi juga warisan berharga bagi mereka yang ingin mengikuti jejaknya menuju jalan yang lurus. []
[…] yang biasa melibatkan kelompok lintas agama dan kepercayaan itu menyiratkan kata kerja yang hidup. Bahasa yang digunakan dekat kepada kebudayaan […]