Wawasan Ekofeminisme Perempuan

Di sekitar tahun 1990 dan 1992 IPCC atau Intergovernmental Panel on Climate Change mengadakan suatu konfrensi internasional di bawah badan PBB untuk lingkungan (United Nation Environment Programme) yang dihadiri 300 pakar perubahan iklim, dan menyatakan kalau efek gas rumah kaca menyebabkan pemanasan global sebesar 1,5-4,5 derajat celcius.

Jika penguasa, para sarjana, dan kaum intelektual hanya menggunakan pendekatan penglihatan, menanti serta menunggu saja, tanpa melakukan apa-apa pun, dampaknya pada 2100 akan meningkatnya suhu ekstrem dan perubahan iklim secara global, serta diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan lain.

Perubahan ini diperkirakan sebagai bagian dari hasil proses panjang revolusi industri yang lebih banyak mengkonsumsi energi berlebihan oleh negara-negara maju dan industri maju. Akibatnya lingkungan hidup secara global berdampak pada perubahan situasi dan kondisi atmosfir bumi, sehingga meningkat pula pencemaran polusi baik, di udara, darat, maupun di laut.

Naiknya permukaan air laut, meningkatnya intensitas fenomena cuaca ekstrem, serta perubahan jumlah dan pola presipitasi sangat berpengaruh pada sektor lain, seperti hasil pertanian, hilangnya gletser, dan punahnya berbagai jenis fauna dan flora merupakan hanya sebagian contoh kecil yang sudah mulai terasa kini.

Dalam mengurangi dan mengantisipasi bencana tersebut, beragam gerakan dan istilah dimunculkan kepermukaan gunakan memberikan kesadaran terhadap lingkungan. Dalam kajian humaniora dan studi keagamaan misalnya, muncul istilah seperti “Eco-Philosophy” dan “Ecotheologi”, serta istilah “Ekofeminisme” dengan tokoh masing-masing dan aliran serta gerakannya.

Istilah terakhir ini menjadi salah satu paradigma ilmu humaniora dalam menghadapi krisis lingkungan hidup yang sejak beberapa tahun belakangan menjadi perhatian para sarjana dan kaum intelektual di berbagai belahan dunia.

Istilah ekofemninisme dipopulerkan seorang feminis, Karen J. Waren dalam tulisannya berjudul “Feminis and Ecology” yang terbit di jurnal Enviromental Review 9, No 1 sekitar tahun 1987.

Baca Juga:  Gus Qoyyum Berbicara tentang Potensi Ulama Perempuan

Istilah ekofeminisme ini lahir dari realitas tentang keberadaan perempuan, dimana tak sedikit gerak-gerik perempuan masih dibatasi dan persempit. Di tengah sempit dan masih sedikitnya ruang gerak bagi sebagian besar kaum perempuan di ruang publik, ternyata juga tak didukung pemahaman secara sosial-humaniora yang memadai.

Misalnya, dalam kasus keterkaitan antara alam, lingkungan hidup, dengan posisi dan keberadaan perempuan yang akhir-akhir ini banyak diskusikan kalangan para sarjana dan kaum intelektual sebagaimana dikenal ekofeminisme tak kalah penting bagi perempuan.

Oleh karenanya, ekofeminisme sendiri menjadi salah satu pemikiran dan gerakan sosial yang menghubungkan masalah-masalah ekologi dan perempuan. Dalam gerakannya, ekofeminisme memiliki pandangan bahwa perempuan secara kultural selalu dikaitkan dengan alam, baik secara konseptual, simbolik, dan linguistik antara feminisme dengan isu-isu krisis ekologi.

Sebagai salah satu aliran pemikiran dan gerakan feminis, ekofeminisme memiliki sikap dan pandangan yang hampir sama, menentang segala bentuk diskrimanasi dan penindasan atas perempuan yang disebabkan oleh kontruksi sosial dan sistem patriarki yang sudah mapan.

Gerakan ekofeminisme menolak sikap inferioritas yang diasumsikan atas perempuan, dan superioritas yang diasumsikan kaum laki-laki dan kebudayaan. Ekofeminisme memandang bahwa kaum perempuan setara terhadap dan barang kali lebih baik dari kaum laki-laki serta konstruksi sosial-kebudayaan. Oleh sebab itu, dalam nilai-nilai tradisional ekofeminisme, perempuan tak terdapat pada nilai-nilai tradisional laki-laki.

Tentu, sudah bukan rahasia lagi, dari dulu hingga kini, kalau peran-peran publik selalu asumsikan sebagai bagian dari aktualisasi wilayah kaum laki-laki saja. Peran-peran domistik selalu diasumsikan sebagai bagian dari peran utama bagi wilayah kaum perempuan. Artinya, peran perempuan hanya tersekat dalam urusan “dapur, sumur, dan kasur”.

Pemahaman ini bisa jadi berakar dari pandangan keagamaan atau konstruksi sosial-kebudayaan, kalau kodrat perempuan dianggap hanya sebagai “ciptaan kedua” (Second Personality), atau the second sex kalau mau meminjam istilah Simon de Beauvoir.

Baca Juga:  Jilbab Melindungi Perempuan

Urusan perempuan hanya sebatas di rumah menjadi penanggungjawab pekerjaan rumah tangga, mengurus rumah, memasak, mencuci, dan mengurus anak. Dan, berbeda dengan laki-laki yang dianggap sebagai kepala rumah tangga, pemimpin, pelindung, penguasa, pengayom keluarga, sekaligus pencari nafkah.

Pemahaman secara konvensional ini masih terus berkembang dan dipertahankan di tengah-tengah sebagian besar masyarakat kita. Perempuan-perempuan yang berkecimpung di ruang publik layaknya kaum laki-laki masih dianggap tak lumrah. Maka tak mengherankan, jika peran dan keterlibatan kaum perempuan dalam konteks kepublikan, mulai dari persoalan politik, ekonomi, sosial hingga perubahan iklim dan krisis lingkungan hidup masih terbilang sangat sedikit.

Diakui atau tidak, sepertinya pembicaraan dan diskusi tentang krisis lingkungan hidup tanpa melibatkan peran perempuan, tampaknya akan menimbulkan sedikit banyak kesengsaraan bagi umat islam. Karena memang diakui atau tidak, secara umum peran dan tugas perempuan selama ini di wilayah domestik sangat besar dalam menjaga keberlangsungan hidup keluarga, termasuk didalamnya menjaga ketahanan pangan keluarga.

Dalam keluarga misalnya, peran perempuan dan laki-laki yang lebih banyak mengambil tanggungjawab dalam mengelola dan menyajikan makanan, selain merawat keluarga dan anak-anak tentunya. Jika ada pencemaran udara dan air yang terjadi akan sangat dirugikan serta merasa terganggu adalah kaum perempuan dalam menjalani tugas-tugas dalam wilayah domestik.

Pada dasarnya, gerakan ekofeminisme menawarkan suatu konsepsi yang luas dan banyak menuntut atas diri manusia dengan yang lainnya, akan tetapi juga dengan bukan manusia saja, seperti binatang, bahkan juga tumbuhan. Sering kali hubungan manusia dan tumbuhan hanya berupa penghancuran sumber daya alam dengan mesin, mencemari lingkungan dengan gas beracun.

Sebagai akibatnya, alam juga melakukan perlawanan, sehingga yang sangat tampak hampir setiap hari manusia termiskinkan seiring dengan banyaknya penebangan pohon di hutan dan kepunahan berbagai spesies demi spesies flora dan fauna, tanpa disadari.

Baca Juga:  Humor Gus Muwafiq Tentang Perempuan Cantik

Pada akhirnya meminggirkan perempuan dari alam sebagaimana yang sering kali dilakukan laki-laki dan kebudayaan telah menyebabkan bukan hanya mencederai dan mengeksploitasi perempuan, serta membatasi dan mendeformasi laki-laki, tetapi telah mendorong untuk terus berjalan menuju pembunuhan pada ibu yang paripurna, pembunuhan yang penuh amarah terhadap bumi yang telah melahirkan.

Dengan wawasan ekofeminisme ini, paling tidak perempuan harus bisa membawa ke dalam alam kebudayaan dengan cara memasuki dunia publik, sementara laki-laki harus membawa kebudayaannya ke  alam dengan memasuki dunia pribadi. Dengan demikian baik laki-laki dan perempuan menjadi satu. Gitu. []

Syahuri Arsyi
Pernah studi Filsafat Islam di Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Raden Masaid Surakarta dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Peminat kajian Sosial, studi keIslamian dan aktif di Komunitas Diskusi buku serta diskusi Malam Sabtu.

    Rekomendasi

    1 Comment

    1. […] al-Fihri adalah tokoh perempuan islam yang mendirikan Universitas Al-Qorowiyyin. Ia berasal dari Kairouan Tunisia yang lahir pada […]

    Tinggalkan Komentar

    More in Perempuan