Kiai Nganggur

Sejak awal 90an, banyak sekali putra kiai dari berbagai daerah yang mondok di Kwagean. Mulai dari jogja, jawa tengah, hingga beberapa kota di Jawa timur. Dan sebagian besar alasan dari kiai-kiai tersebut memondokkan anaknya ke Kwagean adalah karena disuruh gus Miek Allahu yarham. Gus Miek sering ngendikan pada beberapa kiai yang beliau kenal dan temui:”pondokno anakmu neng Kwagean(pondokkan anakmu ke Kwagean)”.

Bapak sendiri tidak tahu alasan pasti dari gus Miek kenapa menyuruh banyak kiai untuk memondokkan anaknya ke Kwagean. Karena secara dzohir pun bapak belum pernah bertemu apalagi kenal secara pribadi. Bahkan, bapak sendiri adalah justru santri yang tidak kesampaian mondok di Ploso, dibawah asuhan Allahu yarham yai Djazuli, yang notabene adalah abah dari gus Miek. Oleh karena itu, bapak secara pribadi sangat takdzim dan merasa hanyalah orang kecil dibandingkan gus Miek. Jadi memang bukan circlenya, kalau bahasa orang sekarang.

Hingga akhirnya suatu saat ada yang bertanya pada gus Miek alasan kenapa sering merekomendasikan kepada para kiai yang beliau temui dan kenali untuk memondokkan anaknya ke Kwagean. Beliau hanya menjawab singkat: ” kerono kiai ne nganggur(karena kiainya Kwagean nganggur)”. Bapak sendiri tidak tahu pasti apa maksud dari kiai nganggur, mungkin karena memang bapak kegiatannya hanya ngaji dirumah. Tidak jadi apapun dan siapapun diluar lingkungan rumah.

Bila gus Miek ngendikan tentang bapak dengan sebutan kiai nganggur, maka lain cerita dengan Allahu yarham mbah Mun Sarang.

Diceritakan ada tamu yang sowan ke kediaman mbah Mun, disana beliau bercengkerama akrab dengan mbah Mun. Dan tidak sengaja tersemat dalam obrolan tersebut nama bapak. Setelah mendengar nama bapak, kemudian mbah Mun ngendikan: ” hla yo. Padahal kiai langgar. Tapi kok iso yo santrine akeh(hla iya, padahal dia itu kiai langgar. Tapi kok santrinya bisa banyak ya)”. Dan ketika bapak diberitahu langsung cerita tersebut oleh sang pelaku sejarah. Bapak hanya tersenyum. Karena memang bapak sendiri tidak tahu maksud pasti dari ngendikan mbah Mun ini. Namun bapak menganggap ini adalah doa. Apalagi dingendikankan oleh seorang kiai sepuh yang dangat dihormati bapak.

Baca Juga:  Berkirim Surat ke Pusara Makam Kiai Wahab Hasbullah

Saya pribadi menganggap apa yang dihaturkan mbah Mun adalah semacam berkat dan pengingat bagi saya pribadi. Bapak disebut kiai langgar menurut tafsir saya karena memang bukan seseorang yang bernasab kiai. Bapak bukan anaknya kiai, ibuk juga bukan putri kiai. Dan bila di Kwagean sekarang ada pondok dan beberapa santri, adalah salah satu bentuk fadhol atau anugerah dari Allah karena melihat ikhtiar yang dilakukan oleh bapak sejak dipondok hingga saat ini. Karena memang bapak selalu berusaha untuk berkhidmah kepada guru sebagai salah satu wujud khidmah pada ilmu. Dan terus ngaji, sebagai salah satu wujud khudmah pada ilmu hingga kini.

Tidak hanya menunjukkan bukti bahwa Allah akan memberikan ganjaran sesuai dengan usaha yang dilakukan, namun juga membuktikan bahwa menjadi kiai bukan hanya privilage bagi para anak kiai. Semua orang berhak dan bisa menjadi kiai, selama dia berikhtiar selayak usaha para kiai sejati saat masih menjadi santri. Bahkan ada peribahasa yang sering diingatkan bapak dan sengaja saya munculkan kembali sebagai pengingat diri:” tunggak jarak mrajak, tunggak jati mati(banyak terjadi, keturunan orang kecil yang akhirnya menjadi orang besar. Dan sebaliknya, banyak keturunan orang besar yang justru tidak menjadi apa-apa. Dan dalam hubungannya dengan dunia pesantren, hal tersebut terjadi karena yang satu mau ngaji, dan satunya tidak)”.

Dari beberapa cerita yang saya dengar langsung dari bapak ini, saya belajar bahwa nilai diri yang jujur tak perlu dicari, dia datang sendiri seiring laku pribadi. Kita tak perlu sibuk memoles diri demi mendapatkan penilaian orang lain. Karena derajat sejati adalah murni anugerah ilahi. Santri, harta, atau jabatan apapun adalah murni rezeki.

Baca Juga:  Tawaduk dalam Berilmu

Tak perlu bingung nanti akan menjadi apa atau siapa, cukup seriusi setiap usaha yang menjadi tugas didepan mata. Jadikan mimpi dan cita-cita selayak kompas yang mengarahkan kemana langkah kaki, namun tak perlu risau dengan hasil akhir. Karena tugas kita hanya berusaha semampunya, dan pasrahkan kepada Allah setelahnya.

Sebagaimana kata pepatah: “Setiap hasil takkan menghianati usaha”.

#salamKWAGEAN

Muhammad Muslim Hanan
Santri Alumnus PIM Kajen dan PP Kwagean Kediri

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini