KH Hasan Abdillah bisa dikatakan sebagai pelopor haul pertama kali di Banyuwangi. Dalam sejarah, Kiai-Kiai di Banyuwangi belum ada yang melaksanakan haul para Ulama maupun Waliullah seperti halnya Datuk Ibrahim dan Kiai sesepuh lainnya. Baru ketika tahun 1950, Kiai Hasan mulai mendirikan haul pertama kali yang disarankan oleh Kiai Abdul Hamid, Pasuruan.
“Lah, tetep gaweo haul e abah (KH. Achmad Qusyairi), engko aku tak teko (lah tetap adakan haul abah KH. Achmad Qusyairi, nanti saya datang)” tutur Kiai Abdul Hamid, Pasuruan.
Seperti banyak kisah tentang Kiai Hamid yang dulu masyhur dikenal kesalehannya, ketia menghadiri haul KH. Achmad Qusyairi ratusan orang bahkan ribuan berbondong-bondong menyambut kedatangan beliau. Bahkan Kiai Hasan sejak saat itu berkeliling ke berbagai daerah untuk melaksanakan haul seperti halnya ke Pekalongan, Tegal, dan beberapa daerah lain. Sehingga dari sini Kiai Hasan dikenal sebagai ulama “Ahli Haul”.
Pernah suatu ketika Kiai Hasan Abdillah menyayangkan ketika Haul Datuk Ibrahim (Banyuwangi), para Kiai dan pengurus Nahdlatul Ulama di Banyuwangi tidak ada satu pun yang hadir.
“Yok opo seh iki, mosok haule Datuk Ibrahim Kiai-Kiai ambi pengurus NU gaenek seng teko (gimana ini, masak Kiai-Kiai dan pengurus NU di haulnya Datuk Ibrahim tidak ada yang datang)” tutur Kiai Hasan Abdillah yang menyayangkan hal tersebut waktu itu.
Hal ini artinya bahwa haul para Ulama dan Waliyullah bagi Kiai Hasan Abdillah sangatlah penting, karena banyak hikmah dan kebaikan di dalamnya. Namun, di sisi lain Kiai-Kiai di Banyuwangi waktu itu menganggap haul tidak sebegitu penting. Berkat Kiai Hasan Abdillah waktu itu menggelar haul pertama kali di Glenmore Banyuwangi, pada akhirnya seiring berjalannya waktu kini di Banyuwangi mulai banyak yang mengadakan haul para Ulama dan Waliyullah.
Bahkan, adanya haul KH. Achmad Qusyairi, Sahabat Badar, Syaikhona Kholil Bangkalan, dan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani pertama kali di Banyuwangi juga dipelopori oleh KH. Hasan Abdillah Ahmad pada tahun 1960. Beliau juga pelopor hadir haul di Solo, Pekalongan, Tegal, Gresik, Lasem, dan beberapa daerah lainnya.
Kecintaan Kiai Hasan akan haul tidak lepas dari konteks lingkungan tanah kelahirannya, yaitu Pasuruan. Selain merupakan tanah kelahiran, di lingkungan tempat tinggal Kiai Hasan dan Kiai Achmad Qusyairi sebelumnya di Pasuruan terjadi penyatuan dengan para Habaib. Dengan begitu, berbagai wirid Kiai Hasan Abdillah tidak jauh berbeda dengan wirid para Habaib. Seperti halnya berbagai wirid yang ditulis Kiai Hasan dalam karyanya yang bertajuk Risalah At-Tahji, sumbernya berasal dari para Habaib Pasuruan.
Begitu pun Kiai Abdul Hamid Pasuruan yang masih memiliki ikatan saudara dengan Kiai Hasan, ia pernah nyantri kepada Habib Ja’far, sedangkan Habib Ja’far merupakan kakek dari Habib Taufik Pasuruan. Sedangkan Kiai Hasan Abdillah amalan wiridnya diperoleh langsung dari Habib Alwi yang bisa dikatakan paling sepuh di Pasuruan waktu itu. Sehingga dari sini Kiai Hamid dan Kiai Hasan amalan wiridnya memiliki kesamaan, yaitu ala Habaib Pasuruan.
Terdapat hal menarik terkait wirid yang diamalkan KH Hasan Abdillah – KH Achmad Qusyairi dan KH. Muhammad Shiddiq Jember yang justru berbeda. Dilihat dari kediaman KH. Muhammad Shiddiq yang tinggal di Jember, kemungkinan amalan-amalan wirid banyak langsung didapatkan dari Syaikhona Kholil Bangkalan yang merupakan salah satu gurunya. Sedangkan Kiai Hasan Abdillah dan Kiai Achmad Qusyairi yang berasal dari Pasuruan, sehingga memiliki ciri khas tersendiri karena adanya pengaruh dan peran para Habaib didalamnya.
Begitupun bacaan tahlil dari Kiai Hasan Abdillah dan Kiai Achmad Shiddiq (Rais Aam PBNU 1984-1991) bahkan Kiai Muhammad Shiddiq (Mbah Shiddiq) Jember pun terdapat perbedaan dengan background sanad yang berbeda sebagaimana di atas. Ciri khas tahlil KH. Muhammad Shiddiq yaitu sebagaimana bacaan lengkap tahlil pada umumnya.
Dengan diawali pembacaan Tawassul, surah Yasin, dilanjut Al-Ikhlas 3x, Al-Alaq dan An-Nass dan dilanjut bacaan tahlil hingga doa. Terkadang pula dalam beberapa kesempatan tanpa diawali dengan surah Yasin. Sedangkan ciri khas tahlil Kiai Hasan dari para Habaib lebih ringkas yaitu setelah membaca surah Yasin langsung disambung dzikir Laa ilaaha illallah. Hal yang penting menurut Kiai Hasan Abdillah yaitu bacaan surah Yasin-nya.[1]
[1] Washil Hifdzi Haq, Wawancara, (Surabaya, 10 Juni 2020)