Pasca kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, kondisi di dalam negeri masih sangat rawan. Kekalahan Jepang dari Sekutu dan hengkangnya mereka dari bumi Indonesia tidak menyebabkan Indonesia bebas dari musuh.
Belanda yang pernah mencecap surga nusantara enggan melepas assetnya ini. Dengan menumpang kapal Sekutu yang mengeksekusi tentara Jepang, Belanda menerjunkan pasukan NICAnya dan membuat kekacauan di mana-mana. Perjanjian damai dan pengakuan de jure atas proklamasi melalui pertemuan Linggarjati (15 November 1946-25 Maret 1947), seolah tak ada artinya.
Pengakuan setengah hati ini berwujud tuntutan dan keharusan Indonesia menjadi Negara Commenwealth dalam bentuk RIS dengan mahkota Belanda sebagai kepala uni. Aksi polisionil Belanda yang agresif seolah mengabaikan harkat dan martabat kemerdekaan yang sudah diperjuangkan bangsa Indonesia selama ratusan tahun.
Agresi yang dilakukannya ditanggapi bangsa Indonesia yang masih bayi dengan perlawanan dimana-mana. Skala besar maupun skala lokal. Pasukan Hizbullah yang dibentuk semasa Jepang diperkuat lagi di bawah komando para kiai.
Di antara para pejuang itu adalah KH Fattah Jalalain, pendiri Pondok Pesantren Miftahul ‘Ula Kertosono, Nganjuk. Beliau dilahirkan di Desa Kapurejo, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri, pada 9 April 1909/20 putra dari Kiai Arif bin Kiai Hasan Alwi dengan Nyai Sriatun binti Kiai Hasan Muhyi. Leluhur Kiai Fatah adalah seorang pejuang pemimpin perang melawan Belanda.
Kisahnya pernah disinggung sedikit dalam buku Zainul Milal Bizawie; Jejaring Ulama Diponegoro dan buku bunga rampai Manaqib Ulama Nusantara suntingan Dr Faisal Fatawi. Buku pertama menelisik genealogis dan jaringan pondok pesantren yang terhubung dengan pasukan Diponegoro dalam perang Jawa (1825-1830). Sedangkan yang kedua, lebih fokus pada sejarah singkat pondok pesantren di Indonesia. Tulisan ini hanya sedikit melengkapi catatan tersebut berdasarkan informasi dari keluarga beliau.
Resolusi Jihad tanggal 22 Oktober 1945 yang dikobarkan KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Hasbulloh menggelora di lorong-lorong pesantren, termasuk di Pesantren Miftahul ‘Ula, Nglawak Kertosono yang masih berusia muda (berdiri 1 Januari 1945) yang didirikan KH Fattah Jalalain. Beliau adalah santri kinasih dan mantan lurah Pondok Tebuireng asuhan KH Hasyim Asy’ari. Hubungan dekat mereka bahkan dipererat dalam bentuk kekerabatan, saat KH Hasyim menikahi bibinya yang berasal dari Kapu, Kediri.
Sejak Kiai Hasyim menitahkan untuk membuka posko perjuangan di pesantrennya, Kiai Fattah terus berkecimpung dalam perjuangan perlawanan melalui riyadloh dan upaya spiritual selaku pemimpin ruhani. Apalagi mengingat berdirinya pesantren inipun juga atas dawuh dan petunjuk KH Hasyim. Maka tak ada alasan untuk menolak titah sang guru.
Saat gelora perlawanan terhadap Belanda memuncak, pesantren memang menjadi basis perlawanan yang tak bisa diabaikan. Salah satu yang sering disebut adalah Pesantren Parakan Temanggung dibawah pimpinan KH Moenasir yang kondang dengan suwuk bambu runcingnya di wilayah barat.
Tidak banyak yang tahu, bahwa di Timur, KH Hasim Asy’ari atas permintaan Bung Karno, juga mendirikan markas pejuang untuk mempersiapkan pertempuran melawan Belanda dalam jarak yang lebih dekat dengan Surabaya, pusat pertempuran. Tempat itu ada di pesantren Nglawak Kertosono.
Rumah dan pesantren kiai Fattah ini tak pernah sepi dari para pemuda yang terus berdatangan untuk meminta doa dan penguatan lahir melalui pengisian asma’ pada bambu runcing dan kerikil yang mereka bawa. Memang demikian yang dititahkan para kiai.
Jangan dibayangkan peralatan tempurnya berupa senjata atau bedil. Alih-alih mesiu, yang ada malah batu kerikil yg di asma’, kemudian dijadikan peluru ketapel. Konon, ‘peluru’ ini pernah berhasil menjatuhkan pesawat terbang milik Belanda.
Setiap kantung kerikil yg dibawa oleh pasukan hizbullah, dibawa kiai Fattah ke kamar untuk diriyadlohi. Begitu terus bergantian. Airpun bisa jadi senjata yang mematikan setelah diriyadlohi. Air yang diasma’ Kiai Fattah apabila di sebarkan di jalan tempat Belanda lewat, maka tak lama, musuh yang melewatinya akan binasa.
Untuk kekuatan fisik, para pemuda diperintahkan untuk membawa sejumput gula dan beras, atau kacang hijau. Ketiganya setelah diasma’, lantas dikonsumsi, bisa membuat daya tubuh bertumbuh sekian kali lipat dan membuat tubuh kebal peluru. Beras yang hanya beberapa genggam pun, nyatanya bisa memberi makan siapapun yang datang dengan niat tulus untuk berjuang.
Para santri ikut memasak, sementara yang lain mempersiapkan diri untuk menghadapi pertempuran. Rumah plus pesantren tak pernah sepi dari pasukan Hizbullah. Kekuatan yang mereka dapatkan selama ini berhasil mengacaukan pasukan Belanda di wilayah timur.
Taktik gerilya membuat Belanda seperti berperang melawan hantu. Sepi di siang hari, bergemuruh di malam hari. Belanda blingsatan. Mereka bergerak mencari markas pasukan hizbullah untuk menumpasnya. Situasi memanas, saat terdengar kabar Belanda sudah mendekati Kertosono membawa pasukannya.
Atas perintah bung Karno melalui Kiai Hasyim, Kiai Fattah bersama 40 orang kiai dari Jawa Timur memohon petunjuk pada Allah. Melalui uzlah di sebuah gua di dekat makam Ngliman di gunung Wilis selama 40 hari, para kiai berharap jalan keluar. Mereka disertai 2 santri yang bertugas untuk menjaga dan memasok makanan untuk buka selama masa uzlah. Ya, Kiai Fattah dan anggotanya dzikir dan berpuasa selama masa uzlah tersebut.
Hari demi hari mereka lalui untuk memohon petunjuk langit. Di tengah ujian kesabaran ini, tidak semua mampu bertahan. Satu demi satu para kiai mundur karena beratnya ujian yang dihadapi. Bukan hanya ujian fisik, tapi ujian gaib dalam bentuk gangguan makhluk tanpa rupa pun harus dihadapi tiap hari dalam wujud yang berlainan.
Hingga hari-hari terakhir, hanya Kiai Fattah yang bertahan hanya disertai santri tukang masak. Itupun tidak sampai akhir. Tinggallah Kiai Fattah sendirian. Di hari terakhir, petunjuk datang melalui ilham. Kiai Fattah diperintah untuk membaca ayat Hafidz. Ayat ini lah yang terus diritualkan Kiai Fattah dan jamaahnya. Percaya atau tidak, pasukan Belanda yang sudah sampai Kertosono tak pernah mampu menemukan dusun Nglawak. Dalam pandangan mereka, wilayah Kertosono dan sekitarnya diselimuti kabut yang menutup pandangan. Dan hingga perang berakhir, Belanda tak pernah berhasil menemukan markas pasukan hizbullah.
Bisa dibilang, Kiai Fattah adalah seorang figur kiai yang komplit. Salaf sekaligus moderat. Sebagai pengasuh pesantren, beliau setiap hari mengajar para santri menetap dan santri kalong melalui berbagai kitab klasik.
Di samping mengajar kitab standar seperti tafsir Jalalain, Sulam Safinah, Taqrib, beliau juga mengajar dan mempunyai koleksi lengkap Kutubus Sittah. Di samping itu, beliau juga membaca kitab AthThibb karya Ibnu Rusyd. Belum termasuk kitab-kitab kecil seperti Arbain untuk putra putrinya yang masih kecil.
Pada dasarnya, Kiai Fattah juga melayani permintaan siapapun yang datang untuk mengaji kitab dengan ragam topik sesuai permintaan mereka. Alkisah, pernah ada seorang kiai datang sambil menyodorkan sebuah kitab. Beliau komplain atas penjelasan Kiai Fattah terhadap suatu masalah saat bersama murid-muridnya. Tamu tersebut dipersilakan duduk dan Kiai Fattah mendengarkan semua protesnya dengan sabar. Setelah puas mengeluarkan uneg-unegnya, Kiai Fattah pun menjelaskan bahwa kiai tersebut belum tuntas membaca keseluruhan kitab, sehingga maknanya belum sampai. Kiai Fattah menunjukkan di mana letak ketidaktelitian itu. Si tamu pun akhirnya mafhum, dan berterimakasih atas penjelasan Yai Fattah.
Kiai Fattah juga seorang kiai yang menguasai ilmu kanuragan dan metafisika, sebagaimana nampak dalam cerita di atas. Konon di antara para santrinya, ada beberapa yang tidak kasat mata. Mereka dipersilakan ikut mengaji, asalkan tidak mengganggu.
Bermodal 6 orang santri yang dibawakan KH Hasyim dari Tebuireng, pesantren Nglawak berkembang pesat di bawah asuhan yai Fattah hingga ratusan bahkan ribuan. Mereka tersebar di wilayah Nganjuk. Karena lokalnya tidak mencukupi, mereka tinggal di rumah penduduk yang punya hubungan baik dengan kiai Fatah.
Di sela pengajian kitab, Kiai Fatah juga mengenalkan pelajaran bahasa Inggris kepada para santri. Pengajarnya adalah Abdul Matin, seorang anggota pasukan Sekutu dari etnis India (Gurkha) yang desersi setelah mengetahui ternyata yang dihadapi adalah sesama pemeluk Islam. Pengajar asing itu dibayar dengan beberapa kilo beras saja, karena kondisi saat itu tidak memungkinkah secara finansial. Apalagi Kiai Fattah bukan orang yang berkecukupan. Hidupnya sepenuhnya untuk ngramut umat.
Kiai Fattah juga seorang pembaca yang berfikiran terbuka. Membaca Panjebar Semangat adalah salah satu rutinitas beliau. Terhadap putra putrinya beliau perlakukan sama. Putri-putrinya bahkan bersekolah di SMP disamping mengaji kitab salaf yang diampunya sendiri. Sesuatu yang sangat tidak umum pada masa itu. Tapi yai Fattah bersiteguh bahwa pendidikan itu hal yang utama.
Kiai Fattah juga pernah berkecimpung dalam dunia politik saat bergabung di DPRGR kabupaten Nganjuk. Tidak semua sepakat dengan pilihan beliau ini. Tapi bagi Kiai Fatah, perjuangan tidak mengenal tempat. Di manapun dibutuhkan beliau mendarmabaktikan diri di sana.
Dalam ingatan keluarganya, Kiai Fattah tak pernah lepas berpuasa. Hidupnya senantiasa dalam kesederhanaan. Tubuhnya amat kurus dan digerogoti penyakit paru-paru. Penyakit yang mengantarkan beliau menemui Kekasihnya di tahun 1969. Hanya separuh perjalanan di DPR yang sempat beliau jalani sampai dengan wafatnya. Namun jejaknya tetap terpatri di benak para santri dan keluarganya dengan segala kesederhanaannya.
mantab شكرا على هذه المعلومات