KH Muhammad Yahya, Dari Angkat Senjata Sampai Perang Gerilya

Pesantren.id – Masa penjajahan adalah masa terpahit yang harus dialami oleh bangsa Indonesia. Berabad-abad dalam pusaran derita dan nestapa. Bekerja untuk penjajah tanpa upah, tanpa rasa manusiawi insaniyah.

Tidak dapat dipungkiri peran seorang ulama atau kyai dalam menjaga dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Namun masih sedikit literatur sejarah yang mengangkat ke publik. Hanya kalangan keluarga, santri maupun simpatisan mengetahui. Kharisma seorang ulama atau kyai mampu menggerakkan masyarakat sipil yang pada saat itu menjadi jujukan setiap permasalahan yang pelik.

Sebagai pribadi sekaligus pimpinan pesantren dan panutan masyarakat, Kiai Yahya terpanggil untuk mendarmabaktikan jiwa dan raga untuk membela kehormatan bangsa. Bersama para santri dan warga masyarakat Malang bagian barat beliau aktif berjuang. Yakni dengan membantu tentara republik mempertahankan dan merebut Kota Malang dari tentara Belanda setelah proklamasi kemerdekaan 1945.

Keikutsertaan beliau dalam fragmentasi revolusi itu menjadi menarik, karena Kiai Yahya harus memerankan diri secara multi dimesional (banyak peran). Selain harus terjun di sela-sela gelegar meriam dan letusan senapan, beliau masih tetap aktif mengajar di Pesantren Gading. Bukan hanya itu, posisi sebagai pimpinan moral masyarakat mengharuskan Kiai Yahya memerankan diri sebagai -pemerintah informal- yang ikut mengatur tatanan sosial politik masyarakat.

Sumbangsihnya dalam melawan penjajah, memotivasi masyarakat sipil maupun pasukan tentara patut diapresiasi, meskipun hanya melalui sebuah tulisan. Tidak hanya berjuang memperbaiki akhlak melalui agama, tapi juga aksi nyata terjun langsung mengatur strategi bahkan sampai angkat senjata. Sebagaimana yang dituturkan oleh para saksi sejarah, juga dalam berbagai sumber literatur dalam pustaka buku biografi beliau.

Awal Mula Sebelum Kemerdekaan

Ketika Jepang berkuasa sejak 1941, Kiai Yahya sudah diserahi mengasuh pesantren dengan beberapa puluh santri. Kondisi politik dan keamanan yang mencekam tidak menyurutkan niat Kiai Yahya untuk mengajar santri seperti yang diamanatkan.

Ketika Jepang berkuasa, Kiai Yahya tidak ikut langsung berperang di arena pertempuran. Beliau tetap saja melaksanakan rutinitasnya di Pesantren. Namun segenap santri diajak membaca Hizb Nashr dan manaqib Syaikh Abdul Qodir Al Jailani secara rutin. Buah dari bacaan para santri itu bisa dirasakan langsung baik oleh para santri sendiri maupun oleh para pejuang di medan pertempuran.

Pernah suatu saat ada bom Jepang yang nyasar di sekitar Pondok Gading, persis di sebelah barat masjid atau di rumah Pak Fatkhur. Namun berkat iradah Allah swt, bom tersebut tidak bisa meledak sehingga semua selamat.

Demikian pula, lumbung padi Kiai Yahya pernah dikuras habis oleh tentara dan antek-antek Jepang. Tapi entah kenapa tidak lama kemudian padi-padi itu dikembalikan lagi oleh mereka. Kesengsaraan masyarakat Indonesia atas kekejaman Jepang tidak berlangsung lama.

Tepat pukul 10.00 pagi, hari Jum’at Legi, tanggal 17 agustus1945, bertepatan 17 Ramadan 1364 H, Ir Soekarno dan Drs Moh Hatta mewakili bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Lewat pembacaan teks proklamasi yang disebarluaskan ke seluruh dunia melalui siaran Radio Republik Indonesia (RRI).

Dengan demikian, maka berakhirlah penjajahan Belanda selama 3,5 abad ditambah penjajahan Sang Saudara Tua Jepang selama 3,5 tahun. Dari sinilah awal mula Kiai Yahya ikut terlibat aktif dalam upaya heroik dalam membela bumi pertiwi bersama seorang sahabat beliau. Seorang komandan batalyon tentara BKR, bernama Mayor Sulam Syamsun.

Kiai Yahya bersama sahabatnya merancang, menyusun strategi dan menggerakkan rakyat dan santri untuk melakukan perang gerilya, menyerang pos, tangsi dan gudang senjata milik tentara Belanda. Hingga mereka mengakui kedaulatan Indonesia dan meninggalkan kota Malang, Pertemuan Kiai Yahya dengan Sulam Syamsun terjadi beberapa saat setelah pembentukan BKR di Malang.

Mayor Sulam Syamsun ditunjuk sebagai komandan kompi Garuda Merah, sebuah unit pasukan dari Batalyon I/Resimen 38 Divisi Untung Surapati dengan daerah operasi Malang kota bagian barat. Pada tahap awal, Sullam memiliki dua tugas penting yakni penyebaran berita proklamasi dan mengkoordinasi mantan tentara PETA (tentara bumi putera yang sebenarnya disiapkan oleh Jepang untuk melawan sekutu) agar ikut bergabung dengan pasukan (Badan Keamanan Rakyat) BKR.

Baca Juga:  Sopir Kiai (SK), Wujud Khidmat Kepada Juru Dakwah

Pembentukan BKR di Malang dilakukan oleh para mantan anggota PETA pada tanggal 24 agustus 1945 dan berhasil menyepakati Imam Soedja’i sebagai ketua dan Iskandar Soelaiman sebagai wakil ketua. Hadir dalam pembentukan itu beberapa nama seperti Svebiyanto, Hamid Rusydi, Muchlas Rowie, Sullam Syamsun, Abdul Manan, dan beberapa mantan anggota PETA yang lain.

Dalam rangka memobilisasi pemuda dan rakyat untuk mempertahankan negara, maka melalui Maklumat Pemerintah tanggal 5 oktober 1945, BKR diubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR).

Dengan mobilisasi ini, maka jumlah TKR lebih besar dibanding ketika masih BKR. Hal ini dikarenakan TKR menampung beberapa potensi kekuatan pemuda selain mantan anggota PETA, yakni mantan anggota Heiho, KNIL serta tidak ketinggalan kekuatan pemuda santri seperti Hizbullah dan Sabilillah.

Setelah sempat mengalami perubahan menjadi Tentara Keselamatan Rakyat melalui penetapan presiden pada tanggal 1 januari 1946, akhirnya nama kesatuan bela negara ini menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) pada 24 Januari 1946. Di tengah deru peperangan mempertahankan kemerdekaan, dilakukan upaya penyempurnaan organisasi tentara dengan menetapkan tujuh divisi komando di Jawa, melalui rapat komandan Resimen di Yogyakarta pada 23 Mei 1946.

Untuk wilayah Jawa Timur, khusus daerah Malang dan Besuki, disatukan dalam satuan komando Divisi VII (kemudian diberi nama Divisi Untung Surapati). Berkedudukan di Malang dengan panglima Mayor Jenderal Imam Soedjai dan kepala staf Kolonel Iskandar Sulaiman.

Menghadapi perang kemerdekaan 1, divisi ini dibagi dalam tiga resimen, yakni resimen 38 untuk daerah Malang (termasuk Pasuruan) Resimen 39 untuk aerah Probolinggo dan Lumajang, serta Resimen 40 untuk Jember, Bondowoso dan Banyuwangi.

Strategi Perang

Salah satu strategi pimpinan militer di pusat dalam menghadapi tentara asing yang bersenjata lengkap dan telah menguasai kota yang sempat diambil alih para pejuang dari kekuasaan tentara Jepang adalah dengan memberlakukan sistem perang gerilya.

Dikenal juga dengan Doktrin Perang

Rakyat Semesta, rakyat ikut terlibat dalam upaya mempertahankan daerah dengan tentara sebagai kekuatan utama. Strategi ini di kemudian hari terbukti cukup mempersulit gerak pasukan lawan, karena tentara republik bisa menembus garis demarkasi kekuasaan Tentara Belanda. Serta dengan leluasa melakukan penyerangan ke pos tentara musuh di malam hari dan merebut senjata dari gudang senjata. Untuk merealisasikan perang gerilya ini, dibentuklah komando gerilya di daerah-daerah.

Disiapkanlah strategi perang gerilya dari Markas Sumber Bendo. Semua kekuatan dan potensi dikerahkan, termasuk potensi dan kharisma Kiai Yahya. Ada empat tugas khusus dari Mayor Sullam yang dimintakan saran dan bantuan kepada Kiai Yahya.

Pertama, tugas motivator, yakni memberi fatwa tentang kewajiban membela negara dan jihad fi Sabilillah. Jangan ada warga masyarakat – terutama yang terpengaruh politik dan hasutan Belanda.

Kedua, tugas intelijen dan pekabaran atau penghubung (PHB). Bertanggung jawab menyampaikan informasi militer dan menjamin kelancaran komunikasi antar pos-pos pasukan di setiap posisi dengan pos pusat markas Sumber Bendo.

Ketiga, tugas logistik dan amunisi, yaitu menampung dan mengumpulkan bahan-bahan yang dibutuhkan demi kelancaran operasi militer, terutama makanan dari masyarakat sekitar. Serta mensuplai dan mendistribusikan persenjataan dan peralatan perang lainnya.

Keempat, tugas teritorial, yakni yakni membantu mengendalikan keamanan dan ketertiban di wilayah yang sudah dikuasai oleh pasukan republik.

Keempat tugas tersebut dijalankan dengan penuh tanggung jawab dan ikhlas, meski tergolong berat. Dalam menjalankan tugas, Kiai Yahya melibatkan masyarakat sekitar dan para santri di Pesantren Gading.

Meski dalam keadaan perang, terdapat kurang lebih 35 santri yang tetap aktif mengaji di Pondok. Selain itu, Kiai Yahya dikenal seorang ahli strategi dan
mobilisasi, istiqomah, berani, tegas dan cerdas.

Baca Juga:  Finding Gus Dur (2) : Teladan yang Dirindukan

Untuk menghindari kecurigaan Belanda, tidak jarang Kiai Yahya merangkum surat dari pesan-pesan rahasia itu dan ditulis kembali di sebuah kertas dengan tulisan Arab pegon untuk kemudian dibawa oleh kurir ke Mayor Sullam.

Perjalanan Kiai Yahya dari Gading ke tempat pengajian rutin, juga digunakan untuk memberikan informasi. Meskipun dalam situasi perang, Kiai Yahya tidak menghentikan ta’lim kepada para santri di dusun-dusun.

Berangkat dari ndalem di Gading, Kiai Yahya biasa mampir terlebih dahulu ke desa Badut. Bertemu Pak Susidik untuk menanyakan informasi terbaru tentang situasi di kota dan sekitarnya. Pak Susidik merupakan sumber berita pasukan gerilya, khusus mengantisipasi pergerakan pasukan musuh lewat mata-matanya.

Informasi dari Pak Susidik inilah yang dibawa Kiai Yahya ke Sumberbendo. Tugas sebagai seksi logistik dan amunisi, juga dijalankan beliau dengan baik. Berbagai cara dilakukan untuk mengirimkan makanan dan senjata ke markas Sumberbendo. Ketika hendak diadakan penyerbuan ke kota Malang, dibutuhkan pengiriman senjata dari daerah barat sungai ke timur sungai yang melintasi kota Malang.

Padahal kota Malang dijaga ketat oleh pasukan Belanda. Untuk mengelabui tentara Belanda, Kiai Yahya memasukkan puluhan senjata dan amunisi ke dalam keranda mayat (kathil), dan ditutup kain keranda lengkap dengan payungnya, persis mayat yang akan dikuburkan. Beliau menyuruh santri dan para penduduk untuk memikul ‘mayat’ dan membuat iring-iringan sambil membaca tahlil melintas kota yang penuh tentara Belanda menuju ke timur. Taktik berjalan mulus tanpa ada kecurigaan sedikit pun dari tentara musuh.

Untuk mengirim makanan, Kiai Yahya menyuruh orang suruhan untuk berpura-pura menjadi pedagang yang menjajakan barang dagangan Barang dagangan tersebut kemudian diberikan secara gratis kepada para prajurit yang membutuhkan. Meskipun demikian, Kiai Yahya selalu mengantisipasi kecurigaan tentara Belanda terhadap para pedagang itu.

Untuk itu, beliau selalu mengontrol barang yang dibawa jangan sampai mencurigakan. Misalnya, membawa beras dari daerah yang dikenal penghasil beras dan sebagainya.

Sedangkan dalam menjalankan tugas teritorial, Kiai Yahya ikut mengatur dan menjaga stabilitas daerah yang berhasil direbut para pejuang. Antara lain, beliau bertugas membantu mengatur birokrasi pemerintahan di tingkat kecamatan dan desa.

Semasa perang gerilya berlangsung, Pondok Gading dijadikan sebagai pos atau markas Pasukan Republik dalam melakukan penyerangan ke jantung kota. Dikarenakan Letak Pondok Gading yang strategis dibagian barat kota tepatnya di Klampok, dan oleh IVG (Intelijen Belanda) dianggap sebagai Netral Zone (Daerah netral). Dengan begitu para pejuang merasa aman dan leluasa merancang dan merencanakan serangan ke kota.

Selain sebagai markas pertempuran, Pondok Gading juga masyhur di kalangan para pejuang sebagai tempat yang aman bagi berkumpulnya pimpinan untuk melakukan pertemuan dan briefing merencanakan strategi perang. Demikian pula ketika meletus pemberontakan DI/TII di Jawa Barat yang dilakukan oleh elemen tentara Indonesia dan dikhawatirkan meletus di daerah lain, maka KH. Wahid Hasyim sebagai wakil pemerintah sekaligus petinggi Nahdlatul Ulama melakukan perjalanan rahasia ke daerah-daerah tempat pejuang berkumpul.

Berperang dan Ngaji

Untuk daerah Malang, beliau memilih berkunjung ke markas pejuang di Pondok gading, dengan didampingi oleh Kolonel Iskandar Sulaiman, kepala staf Divisi VII Surapati. Di sinilah beliau mengadakan pembicaraan bersama Hamid Rusydi sebagai komandan batalyon dan beberapa pimpinan pasukan seperti Sullam Syamsun, Abdul Manan, Kapten Yusuf bin Abu Bakar yang juga santri Tebuireng, serta Kiai Yahya sebagai tuan rumah.

Dalam pertempuran pada maret 1949 itu, Kiai Wahab menekankan kepada segenap pejuang untuk tidak terpengaruh oleh provokasi DI/TII yang Beliau memberikan nasehat kepada para komandan dengan kalimat: “Ini Republik. Kita yang bikin. Jadi jangan dirusak, dan jangan aneh-aneh” (Jawa: Republik ini kita yang membentuk, jadi jangan dirusak dan jangan berulah macam-macam).

Baca Juga:  Mbah Ibrohim Brumbung Mursyid Thoriqoh, Santrinya Mbah Karim Banten

Seusai pertemuan, Kiai Wahid berkenan menginap semalam di ndalem Kiai Yahya. Baru keesokan hari, Kiai Wahid didampingi Kolonel Iskandar Sulaiman berpamitan kepada Kiai Yahya dan seluruh komandan untuk melanjutkan perjalanan rahasia ke markas pasukan gerilya lainnya. Kiai Yahya dan pertempuran garis depan Ada lagi peran Kiai Yahya dalam perjuangan membela negara ini yang masih menjadi polemik antara beberapa narasumber yang dihubungi.

Di satu sisi, para pejuang dan pelaku sejarah di garis depan menyebutkan bahwa Kiai Yahya ikut melakukan peperangan dengan sasaran serangan milik Belanda atau pun sekutu. Baik Mayor Sullam Syamsun, Mayor Dahlan (Almarhum) ataupun pejuang lain memastikan bahwa dalam beberapa pertempuran, Kiai Yahya ikut serta mengangkat senjata dan ikut menjelajah medan pertempuran sampai ke garis depan.

Menurut HM Dahlan, dalam peperangan senjata yang paling beliau sukai adalah jenis senjata serbu otomatis Water Mantell kaliber 7,62 mm yang tergolong senjata berat. Kiai Yahya disebutkan juga sering ikut melakukan aksi jebakan dan gangguan terhadap tentara musuh. Misalnya, beliau pernah ikut memasang ranjau anti kendaraan baja di daerah Dinoyo, mematikan gardu listrik di kota Malang langsung bersama Mayor Sullam, serta ikut aktif sebagai anggota regu pasukan penyerbu di bawah komandan Kapten Kasrum.

Tapi di sisi lain, pihak keluarga dan santri yang selalu dekat dengan Kiai Yahya menyatakan bahwa Kiai Yahya tidak pernah keluar dari lokasi pondok untuk ikut berperang ke garis depan. Almarhumah Nyai Khodijah Yahya menyebutkan bahwa Kiai Yahya selalu ada di ndalem atau mengajar para santri ketika perang terjadi.

Beberapa santri yang ditemui seperti H Kholil maupun H Ghozali juga menyebutkan bahwa Kiai Yahya selalu berada di pondok dan memimpin santri untuk membaca doa hizib dan doa-doa lain. Demi mendukung perjuangan tentara Indonesia di garis depan. Bahkan beliau bersama beberapa santri di siang hari melaksanakan puasa khusus demi mendukung perjuangan itu.

Namun kenyataan dan kesaksian bahwa Kiai Yahya seringkali hadir dalam pertempuran di garis depan dikuatkan oleh beberapa narasumber. Menurut H Ghozali, suatu ketika pernah datang utusan dari kesatuan militer angkatan laut untuk memberikan cindera mata atau tanda penghargaan perjuangan revolusi kepada Kiai Yahya. Menurut kesatuan itu, Kiai Yahya beserta beberapa santrinya dianggap berjasa besar dalam membantu pasukan tersebut secara langsung dalam beberapa pertempuran di lautan.

Padahal Kiai Yahya dan santri, pada saat yang sama hanya mengajar di pesantren. Ternyata benar, setiap ada tentara Hizbullah yang melewati Pondok Gading sepulang dari Surabaya, mereka bilang, “Kok santri-santri Gading ora nulungi melu perang ngono, embuh dadi opo awak-awakan iki” (Jawa: Kalau santri Gading tidak ikut membantu perang, entah jadi apa kita ini?). Bahkan salah seorang pejuang yang mengenali H. Kholil sempat menegurnya karena menurut sang tentara, H. Kholil begitu cepat tiba di Malang padahal sebelumnya bersama-sama bertempur di Surabaya.

Tidak dapat dipungkiri peran seorang ulama atau kyai dalam menjaga dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Termasuk KH. Muhammad Yahya, ikut berperan aktif dalam heroism melawan penjajah. Kekuatan spiritual, moril dan materil dikerahkan sebagai bentuk cinta terhadap tanah air.

Taktik yang digunakan dalam mengelabuhi penjajah sangatlah unik. Dengan membawa peti keranda mayat, yang isi didalamnya adalah bahan logistik dan persenjataan bagi tentara pejuang. Semoga kita dapat meneladani kegigihan dalam berjuang jihad fi sabilillah li i’laikalimatillah. Sesuai kondisi zaman sekarang. Wallahu a’lam bish-shawab. []

Sumber: Disarikan dalam buku “Lentera Kehidupan dan Perjuangan Kyai Yahya” disusun oleh Hakim Jayli, LP3MH: Malang 2012.

Madchan Jazuli
Santri PP Miftahul Huda Malang Jawa Timur, Ketua PR IPNU Karanganom dan diamanahi lembaga pers PAC IPNU Durenan Trenggalek

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Ulama