alumni

Menjadi alumni pesantren itu tidak mudah. Butuh menyesuaikan. Apalagi bagi orang kebanyakan yang berasal dari keluarga tanpa modal, seperti saya.

Sepuluh tahun pertama saya menjadi alumni, beragam pekerjaan tersandang silih berganti, mulai asisten tukang foto, pendekor manten, tukang ampelas mebel, bikin relief dan taman, kernet buruh bangunan, staf administrasi kantor, teknisi komputer, sampai ngumpulin barang bekas bareng para pemulung. Semua itu hanya modal niyat, semangat dan nekat saja.

Bukan maksud ingin gonta-ganti profesi seperti artis sinetron TV masa kini, tapi apa daya, hanya ijazah Pondok Tremas –”tanpa persamaan”- yang saya punya. Tidak laku sebagai syarat melamar kerja kemana-mana. Sementara ketrampilan juga tidak ada. Belum diajarkan di Tremas, waktu itu.

Dalam kegelapan masa lalu itu, saya sempat mikir, bahwa sebenernya alumni pesantren itu bisa bekerja apa saja. Asal diberi kesempatan. Semangat, kemampuan, ketrampilan, ketelatenan dan daya pikirnya tidak kalah dengan lulusan sekolah kejuruan. Tapi siapa yang percaya, jika dalam ijazah tidak tertulis ketrampilan apa yang kita kuasai.

Saya haqul yakin, hal ini terjadi juga pada ribuan alumni pesantren lain, diseluruh penjuru bumi. Ada yang hanya dalam hitungan bulan, 1 tahun, 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun -seperti saya, atau bahkan lebih lama lagi, hingga seakan tiada berujung, sampai tua.

Alhamdulillah banyak pesantren kini telah berbenah. Berderet kemajuan seperti standar pendidikan dan ijazah muadalah. Vokasional kejuruan pasca Aliyah. Sampai Ma’had Aly setara perguruan tinggi. Diatas kertas, ketiganya dapat menjadi modal besar untuk melangkah menjadi alumni baru. Lebih percaya diri.

Namun sudah cukupkah itu sebagai solusi. Mengingat bahwa perekrutan tenaga kerja di negeri ini, masih lebih memenangkan sistem koneksi?

Baca Juga:  Tiga Ulama Pentashih Kitab Nailul Masarrat Karya KH. Ahmad Basyir Kudus

Terlepas dari nasib, koneksi atau jaringan atau kekerabatan atau kenalan atau –istilahnya- orang dalam, masih memegang peranan yang sangat menentukan dalam sistem penerimaan tenaga kerja.

Sayangnya, jaringan kekerabatan antar alumni pesantren itu belum pernah terwujud secara resmi. Setidaknya sampai hari ini.

Hubungan, kekerabatan dan kerjasama antar alumni pesantren baru sebatas pribadi. Per-kelompok. Satu golongan. Sesuai kebutuhan atau karena bersaudara, kedekatan tempat tinggal serta tahun angkatan.

Berangkat dari situasi ini, saya kepikiran untuk menggunakan JIMAT sebagai solusi. Ini bukan jimat biasa seperti akik, kaling atau rompi. Tapi jimat khusus untuk menumbuhkan hubungan kekerabatan dan silaturahmi.

Ya, Jimat fi Sabilillah. “Jaringan Info Magang Alumni-pesantren Terpadu” fi Sabilillah.

Konsepnya sederhana. Setiap alumni pesantren yang sudah punya usaha, bersedia menjadi tempat magang bagi 1 alumni pesantrennya yang baru lulus, selama 6 bulan. Tidak harus semuanya, cukup yang membutuhkannya saja.

Ajari dan kenalkan alumni baru ini pada dunia nyata. Dunia kerja. Tularkan ilmunya. Asah ketrampilannya. Kasih kesempatan agar tumbuh semangat dan berkembang daya pikirnya.

Dan saat malam tiba, arahkan sang alumni baru untuk duduk bersila di masjid atau mushola terdekat. Berdayakan untuk mengajar ngaji anak-anak dan atau masyarakat sekitar.

Selesai 6 bulan, silakan kembali, atau teruskan kerjasamanya secara profesional. Sesuai dengan prosedur kaidah pelaku bisnis pada umumnya.

Dengan konsep jimat ini, dapat diperoleh ‘win-win solution’. Yang baru mendapatkan kesempatan, pengalaman dan pembelajaran sebagai bekal untuk berkiprah dalam kehidupan yang nyata. Siapa tahu dapat tersalurkan, langsung diterima bekerja.

Sementara yang lama, mendapatkan dukungan tenaga kerja -dengan biaya terjangkau- untuk pengembangan usahanya. Juga tak dapat dikesampingkan akan tambahan tenaga pendakwah untuk masyarakat sekitarnya.

Baca Juga:  Syair Kemerdekaan dari Pesantren Sarang

Untuk alumni yang bekerja tapi tidak punya usaha, dapat membantu menghubungkan ke tempatnya bekerja. Juga bisa merekomendasikan ke saudaranya yang punya usaha, tetangganya atau kenalannya.

Atau paling tidak menyediakan 1 kamar dirumahnya, sebagai tempat singgah alumni. Sehingga memudahkan ‘mobilitas’ para alumni daerah lain, untuk menggapai banyak kesempatan. Secara lebih luas.

Secara teknis, yang diperlukan dalam jimat ini tidaklah sulit. Juga tidak butuh biaya besar. Hanya informasi siapa alumni yang bersedia. Cukuplah beberapa orang saja. Lambat laun pasti akan berkembang dengan sendirinya.

Jika Jaringan Info Magang Alumni-pesantren Terpadu ini telah berjalan dan berkembang dengan baik, se -pesantren, selanjutnya dapatlah kita coba jajaki kerjasama dengan alumni pesantren lain. Hingga lebih luas, tersebar keseluruh penjuru negeri.

Bisa jadi konsep ini akan menjadi nilai tambah dari gerakan Ayo Mondok. Khususnya untuk membantu menjawab kekhawatiran orang tua tentang kelanjutan gerakan itu sendiri. Bahwa setelah mondok, anaknya bisa kerja apa?

Saya yakin juga, konsep ini akan mempertemukan banyak alumni dalam beragam kepentingan. Alumni pengusaha ketemu karyawan terbaik dan kemudian menjadi orang kepercayaannya. Alumni baru ketemu tempat paling pas untuk menunjukkan kemampuannya. Juga tidak menutup kemungkinan ketemu rekanan usaha, ketemu jodoh, dan lain sebagainya.

Saya menyadari sepenuhnya bahwa konsep ini masih jauh dari sempurna. Masih banyak detail teknis yang perlu dirumuskan. Tak lupa juga do’a dan dukungan. Untuk itu saya membutuhkan bantuan, saran dan masukan. Untuk kita wujudkan bersama.

Santri Londo
Alumni Pondok Tremas, Mukim di Belanda

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Berita