Islam sebagai agama yang Tuhan katakan telah direstui-Nya dan telah disempurnakanNya menjadi satu-satunya agama yang diterima di sisi-Nya, hadir membawa rahmat dan kasih sayang bagi seluruh semesta. Islam yang juga sering diartikan keselamatan pun turut membawa visi dan misi demikian, dalam arti Islam tak hanya tentang dogma-dogma dan otoritas agama saja, namun lebih jauh dari itu adalah Islam hadir untuk membawa tatanan nilai yang bisa menyelamatkan para pemeluknya dari berbagai hal yang tidak diinginkan atau bisa dikatakan merugikan.
Dimandatkannya Islam secara legal formal kepada Nabi Muhammad tentu bukan hal remeh temeh, sebab beliau lah yang nama (nur) nya ada sebelum Nabi Adam ada, bahkan alam semesta itu sendiri.
Islam secara nilai memang sudah ada sejak Nabi Adam, kendati baru secara legal formal Tuhan tegaskan saat Nabi Muhammad diberikan mandataris. Nabi yang berjumlah 125.000 dan Rasul yang berjumlah 315 semuanya membawa nilai Islam yang nanti pada akhirnya nilai Islam disempurnakan oleh Allah kepada Rasulullah Muhammad SAW.
Islam sebagai tata moral etika memiliki nilai yang luhur, yang bila kita resapi lebih mendalam tentu manusia yang bersifat fana tak mampu memahami secara mutlak Islam yang Tuhan maksut. Namun bukan berarti manusia berhenti untuk mencari Islam yang Tuhan kehendaki.
Ketika kita merentangkan memori sejarah umat manusia 1.400 tahun ke belakang dimana kita menjumpai sosok manusia paripurna Rasulullah Muhammad SAW, rasa-rasanya kita tak sulit dan samar untuk memhami Islam yang Tuhan maksut.
Namun dalam kenyataan sejarah, kita adalah umat yang jauh terlempar dari muasal manusia paripurna tersebut, kita t’lah terbawa arus kemajuan dan perubahan zaman yang sama sekali tak bisa kita tolak.
Maka hal itu pun turut membawa Islam terseret arus perkembangan zaman yang tak mungkin Islam hanya mandek pada diri Rasulullah SAW.
Hal demikian lah yang membuat kita perlu bertanya kepada relung hati kita yang terdalam, apakah Islam yang kita pahami saat ini adalah Islam Tuhan atau Islam yang Tuhan kehendaki?
Bila kita meniliki adagium terkenal bahwa sebaik-baik golongan adalah satu golongan setelahku, kemudian satu golongan lagi dan kemudian satu golongan lagi, atau yang biasa kita sebut sebagai golongan salafus shalih.
Bila berbicara Nabi, sudah barang tentu Islam yang Nabi pahami adalah Islam yang Tuhan maksut, sebab Nabi adalah manusia yang selalu terkoneksi online dengan Tuhan. Atau meskipun bukan Nabi, rasa-rasanya orang-orang disekitar Nabi pun masih mampu menangkap secara jelas Islam yang Tuhan maksut.
Hal ini tentu sama sekali berbeda bila kita tanyakan pada diri kita yang hidup jauh dari Nabi, maka hadir perkataan bahwa generasi setelah ketiga golongan tersebut adalah generasi ulama khalaf.
Jangankan untuk di kita yang saat ini, kita tahu bahwa empat imam madzah semuanya hidup dalam generasi terbaik pun memiliki perbedaan pendapat yang sangat kentara. Padahal mereka adalah ulama yang sangat diagungkan di seluruh belahan bumi. Lalu siapakah kita yang bersifat pelupa dan penuh khilaf?
Dan amat begitu sombongnya kita bila mengklaim bahwa Islam yang kita anut sudah pasti Islam yang Tuhan maksut. Apalagi pernyataan ini sambil menyerang kelompok yang berbeda pendapat dan apalagi berbeda agama (intoleransi).
Maka sebaiknya kita merentangkan kembali hati dan pikiran kita untuk sekedar mawas diri bahwa kita adalah manusia biasa yang tak lupu dari salah dan dosa, sehingga dalam berislam kita tidak mendaku sebagai yang paling Islam.
Wallahu A’lam Bishawab